Berita Regional Terkini
Menjual Hiburan dengan Modal Kostum Badut Jalanan, Potret Keterpaksaan di Tengah Kota
Pemandangan siluet tubuh besar dengan kostum mencolok kini telah menjadi ornamen yang tak terpisahkan dari lanskap kota metropolitan
Ringkasan Berita:
- Badut, yang tadinya identik dengan perayaan ulang tahun dan kegembiraan, kini maknanya bergeser drastis menjadi alat komersil;
- Ada badut jalanan, esensi badut yang lucu hilang, karena mereka hanya sebatas mengenakan baju untuk mencari nafkah;
- Kala badut terlalu agresif mendekati kaca mobil, sebuah tindakan yang memaksa.
TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA – Pemandangan siluet tubuh besar dengan kostum mencolok kini telah menjadi ornamen yang tak terpisahkan dari lanskap kota metropolitan.
Dari hiruk pikuk persimpangan lampu merah hingga senyap gang perumahan, para badut jalanan hadir, bukan lagi sebagai penghibur pesta, melainkan sebagai potret hidup dari tekanan ekonomi yang tak terhindarkan. Keberadaan mereka adalah monumen bergerak tentang perjuangan menyambung hidup.
Respon warga terhadap tarian sunyi di tengah kemacetan ini bervariasi, menciptakan dilema moral di kaca jendela mobil.
Bagi Juli (25), seorang komuter harian, fenomena ini adalah dinamika kota yang terasa lumrah.
Baca juga: Dari Miras hingga Kostum Badut, Pemkot Samarinda Musnahkan Barang Bukti Pelanggaran Perda
“Biasa saja, kadang ada sisi lucunya kalau lihat mereka beraksi di tengah macet,” ujarnya. Namun, ia mengakui batas antara hiburan dan gangguan terasa sangat tipis.
Kala badut terlalu agresif mendekati kaca mobil, sebuah tindakan yang Juli sebut "memaksa" rasa apresiasi segera berganti menjadi kewaspadaan.
Perasaan campur aduk ini sering muncul, terutama ketika permintaan receh datang dengan tekanan.
Juli melihatnya secara realistis. "Ini karena tidak ada pilihan pekerjaan lain. Saya lihat ada yang masih muda, ada yang sudah tua. Ini adalah cara mereka bertahan."
Ia berharap pemerintah tidak sekadar menertibkan, tetapi menyediakan "ruang aman" dan mata pencaharian yang lebih manusiawi, alih-alih membatasi secara ketat.
Dari Ulang Tahun ke Perjuangan Harian
Erni (41), seorang ibu yang sering beraktivitas bersama anak-anaknya, memiliki pengalaman serupa. Kostum ceria itu sering memancing senyum di wajah buah hatinya, mendorongnya untuk sesekali memberikan sedekah.
"Kadang menghibur, yang penting mereka tidak mengganggu lalu lintas," ucap Erni. Namun, ia juga merasakan ketidaknyamanan ketika sosok badut berdiri terlalu dekat di tengah terik matahari.
Fenomena ini, menurut Rakhmat Hidayat, Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), adalah bentuk adaptasi ekstrem masyarakat terhadap tekanan sosial-ekonomi. Sosiolog tersebut melihat adanya pergeseran makna yang fundamental.
“Badut, yang tadinya identik dengan perayaan ulang tahun dan kegembiraan, kini maknanya bergeser drastis menjadi alat komersil. Esensi badut yang lucu itu hilang, karena mereka hanya sebatas mengenakan baju untuk mencari nafkah,” jelas Rakhmat, menggarisbawahi hilangnya nilai atraksi dan digantikan oleh kebutuhan pragmatis.
Baca juga: Satpol PP Samarinda Amankan 12 Kostum Badut dan 96 Botol Minuman Keras
Di balik lapisan busa dan kain lusuh yang menahan panas, terdapat kisah-kisah pribadi yang penuh keterpaksaan.
Bagi Soleh (41), seorang badut jalanan di Kota Bogor, profesi ini bukanlah impian, melainkan pelabuhan terakhir setelah badai kegagalan.
Soleh pernah menyerah sebagai satpam karena ritme kerja malam yang berat. Pekerjaan sebagai sopir pribadi pun tak bertahan lama, ambruk akibat tekanan dan "bentakan" berulang dari majikannya.
Dengan ijazah SD dan tanpa modal, jalanan berkostum akhirnya menjadi satu-satunya pilihan.
Keterdesakan ekonomi yang sama menyeret Irma (51), seorang ibu dua anak, ke profesi ini. PHK dari pabrik garmen dan ambruknya usaha kue saat pandemi membuatnya kehabisan daya.
"Suami kerjanya serabutan. Ada teman yang menawarkan jadi badut karena katanya lumayan buat makan harian," kisah Irma.
Irma, yang harus menghadapi panas terik dalam kostum seadanya, menceritakan penghasilannya jauh dari stabil, hanya berkisar antara Rp20.000 hingga Rp70.000 per hari, angka yang sangat minim untuk menghidupi keluarga dan biaya berobat anaknya.
Dalam kondisi terdesak, ketika dompetnya hanya menyisakan belasan ribu rupiah dan anak jatuh sakit, Irma akhirnya mengambil keputusan pahit.
Kisah Soleh dan Irma menegaskan bahwa kehadiran mereka di persimpangan kota adalah refleksi cermin, mereka bukan ingin mengganggu, melainkan sedang berjuang di garis depan ekonomi, berharap senyum anak-anak dan kedermawanan receh dapat menambal lubang kebutuhan harian. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.con dengan judul Fenomena Badut Jalanan Antara Hiburan, Desakan Ekonomi dan Sudut Ruang
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251117_Kostum-Badut-yang-Disita.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.