RUU KUHAP

BEM Undip Tuntut DPR Minta Maaf 3x24 Jam Usai Nama Organisasi Dicatut Ikut Bahas RUU KUHAP

RUU KUHAP yang baru disahkan DPR kembali menyulut polemik, kali ini bukan soal isinya saja, tetapi juga terkait dugaan pencatutan nama BEM Undip

Instagram @aufaariqq
SOMASI DPR RI - BEM Undip saat melakukan unjuk rasa, diambil dari Instagram Ketua BEM Undip Aufa Ariq pada Rabu (19/11/2025). BEM Undip layangkan somasi 3x24 jam agar DPR RI minta maaf buntut dugaan pencatutan nama lembaga sebagai pihak yang terlibat dalam pembahasan penyempurnaan RUU KUHAP. (Instagram @aufaariqq0 
Ringkasan Berita:
  • Kisruh pecah setelah BEM Undip dan Koalisi Masyarakat Sipil menuduh DPR mencatut nama mereka dalam proses penyempurnaan RUU KUHAP
  • BEM Undip melayangkan somasi 3x24 jam, sementara koalisi sipil menuding DPR memanipulasi partisipasi publik dalam pembahasan
  • DPR klaim 99 persen KUHAP berasal dari publik, di tengah kontroversi akademisi dan lembaga yang ikut dicantumkan.

TRIBUNKALTIM.CO - RUU KUHAP yang baru disahkan DPR kembali menyulut polemik, kali ini bukan soal isinya saja, tetapi juga terkait dugaan pencatutan nama BEM Undip dan sejumlah organisasi masyarakat sipil ke dalam daftar pihak yang disebut turut terlibat dalam penyusunan regulasi tersebut.

BEM Undip menganggap tindakan DPR itu sebagai pelanggaran serius atas integritas lembaga dan bentuk manipulasi informasi yang tidak dapat diterima.

Karena itu, BEM Undip melayangkan somasi kepada DPR dan memberi tenggat 3x24 jam untuk meminta maaf secara terbuka.

Kontroversi ini bermula dari unggahan Instagram resmi DPR yang menampilkan daftar pihak yang disebut ikut berkontribusi dalam penyempurnaan RUU KUHAP—sebuah rancangan undang-undang yang mengatur proses peradilan pidana, mulai dari penyidikan, penahanan, hingga penyadapan.

Di antara daftar itu terdapat nama BEM Undip, yang langsung dibantah oleh ketua lembaga tersebut.

Persoalan menjadi lebih besar setelah diketahui bukan hanya BEM Undip yang dicatut, melainkan juga Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, sebuah jaringan besar LSM dan lembaga bantuan hukum.

Baca juga: RKUHAP Disahkan DPR, Alasan Publik Resah dan Koalisi Masyarakat Sipil Menolak

Kisruh ini muncul di tengah momentum penting: RUU KUHAP baru disahkan oleh DPR pada 18 November 2025 dalam Rapat Paripurna.

Regulasi tersebut menggantikan KUHAP lama dan akan berlaku mulai Januari 2026.

Namun sebelum sempat berjalan, muncul gelombang protes mengenai proses penyusunannya, terutama soal klaim DPR yang menampilkan proses legislasi seolah-olah sangat partisipatif.

Di tengah gelombang kritik itu, BEM Undip menjadi salah satu pihak paling vokal dengan mendesak DPR meminta maaf, sembari membuka kemungkinan eskalasi gerakan jika tuntutan tidak dipenuhi.

 Persoalan pencatutan nama bukan hanya dianggap menyesatkan publik, tetapi juga mencoreng prinsip partisipasi bermakna yang seharusnya menjadi fondasi penyusunan sebuah undang-undang besar seperti KUHAP.

Somasi BEM Undip dan Tuntutan Permintaan Maaf

Pernyataan sikap BEM Undip dirilis pada Rabu dini hari (19/11/2025) melalui akun resmi @bemundip.

Mereka menegaskan bahwa lembaga tersebut “tidak pernah sekalipun” hadir atau diundang dalam forum formal seperti RDP (Rapat Dengar Pendapat) ataupun RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum), dua mekanisme resmi partisipasi publik dalam pembahasan undang-undang.

Somasi itu memberi DPR waktu maksimal 3x24 jam untuk menyampaikan permintaan maaf terbuka.

Jika tidak direspons, BEM Undip menyatakan siap mengeskalasi kasus tersebut dalam skala lebih luas—mengindikasikan kemungkinan aksi massa atau langkah hukum.

Ketua BEM Undip, Aufa Atha Ariq, bahkan langsung menegur DPR melalui kolom komentar di akun @dpr_ri.

Dalam komentarnya, Ariq menandai dua pimpinan DPR—Habiburokhman dan Sufmi Dasco—seraya menegaskan bahwa lembaganya “tidak pernah bersurat, tidak pernah audiensi, dan tidak pernah dilibatkan” dalam pembahasan RKUHAP.

Ariq, mahasiswa Fakultas Hukum Undip dan Ketua BEM 2025, selama ini dikenal aktif dalam advokasi kebijakan kampus dan aksi solidaritas.

Aktivitasnya, termasuk mengawal kasus hukum rekan mahasiswa hingga memimpin dialog dengan rektorat, menjadikannya figur penting dalam gerakan mahasiswa Undip.

Somasi Lengkap BEM Undip ke DPR RI

[ PERNYATAAN SIKAP BEM UNDIP ]

Halo, Masyarakat Undip!

PERNYATAAN SIKAP

Menanggapi postingan terbaru dari instagram @dpr_ri yang mengatasnamakan BEM Universitas Diponegoro menjadi bagian dalam proses penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-Undang Acara Pidana (RKUHAP) melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), kami BEM Universitas Diponegoro secara kelembagaan menyatakan bahwa “tidak pernah” sekalipun ikut dalam proses tersebut dengan DPR RI yang membahas soal RKUHAP.

Melihat bahwa pencatutan nama lembaga dalam postingan tersebut terjadi bukan hanya satu atau dua lembaga saja, maka dari itu kami pun mempertanyakan apakah benar dalam merancang RUU KUHAP lembaga DPR RI benar-benar melibatkan seluruh elemen masyarakat atau hanya “kosmetik” semata untuk memenuhi meaningfull participation.

Berangkat dari adanya hal tersebut, kami BEM Universitas Diponegoro memberikan peringatan kepada pimpinan Komisi 3 DPR RI dalam jangka waktu 3 x 24 Jam untuk memberikan pernyataan maaf ke publik atas pencatutan nama-nama lembaga, jikalau tidak direspon maka kami akan mengeskalasikan kasus ini secara lebih besar.

 

#DPRRITukangClaim
#TolakRKUHAP
#KabinetGardaRestorasi
#BEMUndip2025

Bidang Sosial dan Politik
BEM Undip 2025
Kabinet Garda Restorasi
“Gelorakan Perjuangan, Wujudkan Perbaikan”

Koalisi Masyarakat Sipil: Ada Manipulasi Partisipasi

Protes bukan hanya datang dari kalangan mahasiswa. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP—terdiri dari YLBHI, LBHM, IJRS, LBH APIK, Lokataru, Koalisi Disabilitas, AJI, dan lainnya—juga menyatakan keberatan keras.

Mereka merilis siaran pers berjudul “Manipulasi Partisipasi Bermakna”, menuding DPR telah memasukkan nama koalisi tanpa persetujuan ke dalam daftar pihak yang disebut memberi masukan.

Koalisi memaparkan sejumlah contoh pasal yang diklaim DPR sebagai rekomendasi mereka—di antaranya Pasal 222 soal alat bukti melalui pengamatan hakim serta penjelasan Pasal 33 ayat (2) terkait definisi intimidasi.

Menurut koalisi, mereka tidak pernah mengusulkan ketentuan tersebut dalam bentuk apa pun, termasuk melalui draf tandingan atau dokumen masukan resmi.

Mereka menilai DPR mencoba menciptakan ilusi bahwa RUU tersebut telah melewati partisipasi publik yang luas—padahal, menurut koalisi, pembahasan justru berlangsung sangat cepat dan banyak masukan penting masyarakat sipil diabaikan. Koalisi menyebut tindakan DPR sebagai “orkestrasi kebohongan” dan “meaningful manipulation”.

Pencatutan Lembaga Akademis dan Akademisi

Tidak hanya organisasi sipil dan BEM yang merasa dicatut. DPR juga mencantumkan nama 5 profesor dan 2 doktor, serta beberapa fakultas hukum, sebagai pihak yang disebut ikut berpartisipasi.

 Nama-nama itu ditampilkan dalam poster “DPR RI Sempurnakan RUU KUHAP Bersama Masyarakat”.

Sebagian akademisi yang disebut belum memberikan pernyataan resmi, namun pencantuman masif tanpa klarifikasi memunculkan pertanyaan: sejauh mana DPR benar-benar melibatkan akademisi tersebut?

DPR: 99 Persen Isi KUHAP dari Publik

Menanggapi kritik luas, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyampaikan klarifikasi dalam konferensi pers di Senayan.

Ia menegaskan bahwa “99 persen substansi KUHAP berasal dari masukan publik”, termasuk dari kampus, LSM, hingga praktisi hukum

. Menurutnya, pembahasan dilakukan terbuka dan panjang, termasuk melalui uji publik serta berbagai forum ahli.

Ia menyebut narasi bahwa DPR tidak mendengarkan masyarakat sebagai “salah besar” dan meminta publik menilai berdasarkan naskah resmi undang-undang, bukan potongan poster viral.

Habiburokhman juga menekankan bahwa KUHAP baru sebenarnya memperketat sejumlah kewenangan aparat, seperti penyadapan yang kini wajib izin hakim dan penahanan dengan batas waktu lebih terukur.

Menurutnya, tuduhan bahwa KUHAP melonggarkan kewenangan aparat adalah informasi menyesatkan yang tidak berdasarkan teks undang-undang.

RUU KUHAP Disahkan, Akan Berlaku 2026

RUU KUHAP resmi disahkan dalam Rapat Paripurna DPR ke-8 masa persidangan II pada 18 November 2025.

Undang-undang ini akan mulai berlaku Januari 2026 dan menjadi pendamping dari KUHP baru. KUHAP merupakan hukum acara pidana, yaitu aturan prosedur dalam proses hukum, sehingga pembaruannya sangat krusial.

Poin-poin penting KUHAP baru mencakup:

penyesuaian dengan perkembangan hukum nasional dan internasional
penguatan hak tersangka dan terdakwa
prosedur penyadapan yang lebih ketat
aturan baru tentang penahanan dan penggeledahan
penguatan peran hakim pengawas
Penyesuaian ini menjadi inti reformasi peradilan pidana Indonesia.

Konflik ini menciptakan dua narasi besar:

1. Narasi DPR: Pembahasan KUHAP dilakukan secara partisipatif, mengakomodasi hampir seluruh aspirasi publik.
2. Narasi BEM Undip & Koalisi Sipil: Penyebutan nama mereka adalah bentuk pencatutan, dan proses partisipasi publik hanya kosmetik.

Persoalan partisipasi publik dalam penyusunan undang-undang memiliki konteks hukum penting. Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan menekankan prinsip meaningful participation—partisipasi yang bermakna, bukan seremonial.

Kisruh ini memperlihatkan bahwa perdebatan tentang kualitas legislasi belum selesai. DPR bersikukuh telah mendengarkan masyarakat, sementara koalisi sipil merasa aspirasinya justru tidak diakomodasi dan malah dicatut namanya.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul DPR Harus Minta Maaf, BEM Undip Layangkan Somasi 3x24 Jam Imbas Pencatutan Dukung RUU KUHAP

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved