Demo di Kalimantan Timur
Anggota DPRD Kaltim Ragukan Mahasiswa Unmul Rakit Molotov, Demmu: Jangan Sampai Mereka Jadi Korban
Anggota DPRD Kaltim ragukan mahasiswa Unmul inisiasi dalam perakitan bom molotov jelang aksi 1 September. Demmu: jangan sampai mereka jadi korban
TRIBUNKALTIM.CO - Anggota DPRD Kaltim ragukan mahasiswa Unmul inisiasi dalam perakitan bom molotov jelang aksi 1 September.
Adalah Baharuddin Demmu berkeyakinan bukan mahasiswa yang menginisiasi merakit bom molotov.
Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu berharap jangan sampai mahasiswa yang ditetapkan jadi tersanga jadi korban oknum-oknum tak bertanggungjawab.
Diketahui, temuan bom molotov di kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mulawarman (Unmul) berujung penangkapan 22 mahasiswa Unmul, Senin (01/09/2025) dini hari.
Baca juga: Akademisi Unmul Sesalkan Framing PKI dalam Konferensi Pers Polisi, Castro: Perburuk Citra Mahasiswa
Selasa (02/09/2025) empat dari 22 mahasiswa Unmul kini terancam jadi tersangka bom molotov.
Sementara 18 orang dilepaskan polisi di Polresta Samarinda dan hanya berstatus sebagai saksi.
Kapolresta Samarinda Kombes Pol Hendri Umar menjelaskan bahwa dari 22 mahasiswa yang teridentifikasi, 4 terduga pelaku utama yang berinisial MZ alias F, WH alias R, MAG alias A, dan AF alias F akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
“Saya tidak yakin kalau anak-anak itu merakit bom molotov. Sehingga perlu dilihat betul, jangan sampai mereka jadi korban,” katanya selepas mengikuti rapat Badan Anggaran (banggar) bersama tim TAPD Kaltim kepada Tribun Kaltim.co.
Menurut Bahar, ada skenario lain terkait proses penangkapan tersebut.
Ia mendorong agar pihak kepolisian agar mengusut secara detail, dan mendalami berbagai informasi yang ada di publik.
"Saya tidak yakin (mahasiswa menginisiasi perakitan),” sebutnya.
Anggota Komisi I DPRD Kaltim yang membidangi Hukum, Bidang Pemerintahan, Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) ini meminta agar kepolisian perlu menyelidiki dugaan adanya aktor lain.
"Saya minta kepolisian betul-betul melihat itu (kemungkinan aktor lain), kalau memang bisa, dibebaskan (4 mahasiswa yang menjadi tersangka)," tandas politisi PAN.
Baca juga: 3 Sikap Rektorat Unmul Soal Aparat Ciduk Mahasiswa Racik Molotov di Kampus, Bahzar: Mungkin Darurat
Akademisi Sesalkan Framing PKI
Akademisi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah sesalkan framing PKI dalam konferensi pers Polresta Samarinda, usai menangkap 22 mahasiswa jelang aksi 1 September 2025.
Castro sapaan akrab, pengamat hukum Unmul itu menyebut penggiringan opini yang dilakukan kepolisian diduga mau memperburuk citra mahasiswa.
Lantaran, lukisan bergambar PKI tersebut merupakan produk akademis alias tugas pembelajaran sejarah di kampus FKIP Unmul, Samarinda, Kalimantan Timur.
Bahkan banyak pihak yang mempertanyakan, kenapa lukisan bendera PKI turut disita, sementara lukisan beberapa partai lainnya yang ada di kampus tak dibawa polisi.
Baca juga: 3 Sikap Rektorat Unmul Soal Aparat Ciduk Mahasiswa Racik Molotov di Kampus, Bahzar: Mungkin Darurat
Seolah-olah, menurut Castro ada indikasi polisi menggiring opini menyesatkan kepada publik berkaitan dengan partai terlarang tersebut.
“Terlebih lagi, saat konferensi pers, proses pemeriksaan juga belum selesai, tapi dilangsungkan. Justru yang di framing logo soal logo PKI,” ujarnya.
Terlebih lagi adanya gambar PKI yang dibeber kepolisian, sudah dijawab sebagai bahan properti belajar oleh mahasiswa sejarah, malah bukan ada logo palu arit saja, tetapi ada partai lain seperti PNI, Masyumi, partai–partai lainnya.
Sehingga, tak elok jika kepolisian lebih menonjolkan logo PKI sementara fokus perkara karena temuannya terkait bom molotov yang diduga akan dipakai massa aksi di DPRD Kaltim.
“Murni properti untuk konteks pembelajaran sejarah. Saya menilai ini framing memperburuk citra teman–teman di jurusan ilmu sejarah, bahkan tidak ada relevansinya dengan proses perkara yang dinaikkan pihak kepolisian. Kalau kaitannya dengan molotov, ya sudah fokus molotov saja, kenapa justru memframing seolah–olah terhubung dengan PKI,” kata Castro.
Baca juga: LBH Samarinda Soroti Polisi Masuk Kampus Unmul, 4 Mahasiswa Terancam Tersangka Bom Molotov
Apa Dasar Penangkapan 22 Mahasiswa di Kampus?
Sementara Pengamat Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, angkat suara terkait penangkapan 22 mahasiswa oleh Polresta Samarinda di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Minggu (31/8/2025) malam.
Dimana aksi jajaran Polresta menjelang aksi aliansi masyarakat Kaltim menggugat (Mahakam) Senin 1 September 2025, telah mengamankan 22 mahasiswa di kampus yang terletak di Jalan Banggeris, Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Sungai Kunjang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur sekitar pukul 23.30 Wita dan menemukan sejumlah barang bukti.
Kabar terbaru, 18 orang mahasiswa yang diamankan kepolisian sudah dipulangkan, sisanya 4 orang ditetapkan menjadi tersangka.
Disana ditemukan 27 bom molotov beserta bahan bakunya seperti jeriken berisi BBM jenis pertalite dan potongan kain, serta polisi menyita lukisan bergambar Partai Komunis Indonesia (PKI) yang notabene merupakan bahan pembelajaran bagi mahasiswa ilmu sejarah.
Kampus sendiri merupakan status zona netral sebagai ruang akademik yang dilindungi undang-undang.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28 menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat.
Serta UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi, termasuk dalam menjaga ruang akademik dari intervensi eksternal.
Baca juga: LBH Samarinda Sebut Penangkapan 22 Mahasiswa Unmul Sebagai Pembunuhan Karakter
Dilakukannya penangkapan oleh kepolisian diduga adanya tindak pidana atau terjadi kondisi darurat yang mengancam keamanan dan ketertiban umum.
Tetapi, jika tidak ada ancaman kriminal maupun demonstrasi anarkis, maka masuknya aparat ke kampus tanpa izin jelas melanggar prinsip otonomi akademik.
Menurut Castro sapaan akrabnya, mesti ada penjelasan pihak kepolisian secara detail diuraikan terkait penangkapan ini, tanpa membuat janggal sebuah penanganan sebuah perkara atau kasus yang diduga melanggar hukum.
“Silahkan saja, pihak kepolisian mengamankan. Tetapi proses mulai dari prosedur dan substansi pengamanan bisa diuraikan dengan baik. Yang belum terjawab, ada beberapa pihak yang dianggap menyuplai bahan, yang sampai sekarang belum diminta keterangan, jadi tidak bisa disimpulkan pada 4 orang yang sudah menjadi tersangka ini,” kata Castro, Selasa (2/9/2025).
Lebih lanjut, kronologis secara utuh perlu diperjelas kepolisian, terkait motif penyuplai bahan bom molotov ini.
Karena jika diuraikan dengan baik, sehingga publik tidak melihatnya sebagai kesimpulan yang prematur.
Baca juga: Demo Hari Ini 3 September 2025: Massa Berpakaian Pink-Hitam Bawa Sapu Lidi, Simbol Lawan Kekerasan
Polisi Masuk Kampus Disorot
Penangkapan mahasiswa Unmul dalam temuan bom molotov ini menjadi sorotan juga lantaran polisi masuk ke kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bebas dari aparat sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Jelang aksi demo 1 September, polisi mengamankan 22 mahasiswa di kampus FKIP Unmul di Jalan Banggeris Nomor 89, Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Sungai Kunjang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Pengungkapan dilakukan oleh Unit Reskrim dalam operasi senyap pada Senin (1/9/2025) dini hari sekitar pukul 01.00 WITA.
Masuknya polisi ke kampus Unmul ini menjadi sorotan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda yang mendampingi mahasiswa dan pengamat hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah.
Irfan Ghazy, pendamping hukum dari LBH Samarinda, mengatakan tindak sweeping Polresta Samarinda untuk menertibkan mahasiswa yang anarkis saat melakukan aksi dan dilakukan di lingkungan kampus perlu dikaji lebih mendalam.
"Makanya ini yang harus kita uji, apakah benar.
Bagaimana sih proses polisi memang bisa sampai ke tempat (FKIP UNMUL) itu yang harus kita uji seperti itu," katanya.
Irfan juga mengatakan polisi yang masuk di lingkungan kampus dan melakukan penangkapan terhadap mahasiswa sebagi bentuk pembunuhan karakter terhadap masa yang hendak melakukan demonstrasi.
"Kalau menurut saya ini sebuah character assassination terhadap massa atau mahasiswa yang sedang melakukan pergerakan demonstrasi," ucapnya.
UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan perguruan tinggi memiliki otonomi, termasuk dalam menjaga ruang akademik dari intervensi eksternal.
Dilakukannya penangkapan oleh kepolisian diduga adanya tindak pidana atau terjadi kondisi darurat yang mengancam keamanan dan ketertiban umum.
Tetapi, jika tidak ada ancaman kriminal maupun demonstrasi anarkis, maka masuknya aparat ke kampus tanpa izin jelas melanggar prinsip otonomi akademik.
Menurut Herdiansyah Hamzah, pengamat hukum Unmul, mesti ada penjelasan pihak kepolisian secara detail diuraikan terkait penangkapan ini, tanpa membuat janggal sebuah penanganan sebuah perkara atau kasus yang diduga melanggar hukum.
“Silahkan saja, pihak kepolisian mengamankan. Tetapi proses mulai dari prosedur dan substansi pengamanan bisa diuraikan dengan baik," katanya.
"Yang belum terjawab, ada beberapa pihak yang dianggap menyuplai bahan, yang sampai sekarang belum diminta keterangan, jadi tidak bisa disimpulkan pada 4 orang yang sudah menjadi tersangka ini,” kata pria yang biasa disapa Castro, Selasa (2/9/2025).
Lebih lanjut, kronologis secara utuh perlu diperjelas kepolisian, terkait motif penyuplai bahan bom molotov ini.
Karena jika diuraikan dengan baik, sehingga publik tidak melihatnya sebagai kesimpulan yang prematur.
Sikap Rektorat
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Mulawarman (Unmul), Prof. Moh Bahzar mengatakan menghargai proses hukum yang tengah berjalan di Polresta Samarinda.
“Iya, yang pertama tentu kami sangat prihatin. Karena ditetapkan sebagai tersangka, tentu kita harus hormati asas praduga tak bersalah,” ucapnya, Selasa (2/9/2025).
Melihat perkembangan terbaru, Prof. Bahzar mengatakan tentu pihaknya juga akan menyiapkan pendampingan hukum dari Fakultas Hukum dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda.
“Kalau memang secara hukum itu berat, kita tentu akan bicarakan dengan Dekan, dengan Wakil Rektor (WR) I, bagaimana tindak lanjut dari Unmul.
Kita tidak bisa terburu-buru, ya. Kita pelajari dulu,” tegasnya.
Terkait sorotan dari LBH soal bagaimana proses pengamanan yang dilakukan pihak kepolisian, turut dijawab Prof. Bahzar.
Ia memaklumi karena kejadiannya di dalam kampus, sehingga terpaksa, mau tidak mau polisi harus masuk.
“Artinya memang itu hak polisi ketika ada temuan. Mungkin polisi melalui intel mendapatkan informasi, kita juga tidak tahu seperti apa.
Tentu untuk mendapatkan sesuatu memang ada pantauan, kita tidak tahu seperti apa,” tukasnya.
Menyinggung sikap kepolisian yang semestinya masuk ke dalam kampus dengan sepengetahuan atau izin terlebih dahulu, Prof. Bahzar menanggapi secara bijak, karena kemungkinan dalam kondisi darurat.
“Iya, seharusnya memang begitu (ada sepengetahuan pihak kampus). Tapi kan begini, karena ini darurat, ketika mau ada demo, mungkin saja ada indikasi yang membahayakan daerah, dan bisa memicu bahaya.
Jadi artinya, sesuai protokol, hal itu perlu. Kalau itu lepas, ketika ditemukan lalu berdampak ke gedung DPRD, ke masyarakat, itu membahayakan sekali,” ucapnya. (TribunKaltim.co/Mohammad Fairoussaniy/Gregorius Agung Salmon/Raynaldi Paskalis)
Ikuti berita populer lainnya di saluran berikut: Channel WA, Facebook, X (Twitter), YouTube, Threads, Telegram
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.