Erau Adat Kutai 2025

400 Penari Hidupkan Kisah Sultan Aji Muhammad Idris di Pembukaan Erau Adat Kutai 2025

400 penari bersama puluhan tim produksi tampil memukau di lapangan Stadion Rondong Demang, Tenggarong

|
TRIBUNKALTIM.CO/PATRICK VALLERY SIANTURI
ERAU ADAT KUTAI - Drama kolosal menjadi salah satu suguhan utama dalam pembukaan Erau Adat Kutai 2025. Tahun ini, sebanyak 400 penari bersama puluhan tim produksi tampil memukau di lapangan Stadion Rondong Demang, Tenggarong, Minggu (21/9/2025). Tema besar Erau tahun ini, ‘Menjaga Marwah Peradaban Nusantara’, juga menjadi inspirasi dalam penyusunan drama kolosal. Kisah yang diangkat adalah perjuangan Sultan Aji Muhammad Idris bersama istrinya, Aji Putri Doya, melawan ketidakadilan VOC. (TRIBUNKALTIM.CO/PATRICK VALLERY SIANTURI) 

TRIBUNKALTIM.CO, TENGGARONG - Drama kolosal menjadi salah satu suguhan utama dalam pembukaan Erau Adat Kutai 2025.

Tahun ini, sebanyak 400 penari bersama puluhan tim produksi tampil memukau di lapangan Stadion Rondong Demang, Tenggarong, Minggu (21/9/2025).

Pimpinan Tim Produksi sekaligus Ketua Yayasan Terminal Olah Seni (TOS), Deprianur, mengaku lega sekaligus bersyukur karena rangkaian acara berjalan lancar.

Baca juga: Erau Adat Kutai 2025 Resmi Dibuka, Simbol Pelestarian Budaya Nusantara

“Alhamdulillah hari ini berjalan dengan baik, lancar, kekhawatiran-kekhawatiran kami sebagai tim produksi Alhamdulillah hari ini sudah terselesaikan, kami bisa menjaga semua situasi di dalam dan di luar lapangan sesuai harapan,” ujarnya.

Ia menambahkan, persiapan tahun ini cukup singkat karena hanya dilakukan 28 kali pertemuan latihan.

Meski begitu, para penari tetap tampil penuh semangat.

“Anak-anak hari ini sangat sesuai dengan cuaca hari ini, semangat dan panas. Mereka selalu digenjot untuk berlatih dan mengingat fokus dalam setiap gerakan, dialog, dan adegan. Tahun ini penari tidak hanya soal menari, mereka juga diminta berekspresi dengan mimik wajah yang unik,” jelasnya.

Keterbatasan anggaran membuat jumlah penari berkurang dibandingkan tahun lalu. Jika pada 2024 ada 800 penari, tahun ini hanya separuhnya.

Begitu pula tim produksi yang sebelumnya sekitar 100 orang, kini hanya sekitar 40-50 orang.

“Tapi namanya kami bekerja sepenuh hati. Momen Erau inilah ajang silaturahmi bagi kawan-kawan seniman, seniwati, dan pencinta kesenian. Jadi, soal jumlah dan seleri lain sebagainya, tidak terlalu dipedulikan. Bisa berbagi saja sudah cukup,” ungkapnya.

Tema besar Erau tahun ini, ‘Menjaga Marwah Peradaban Nusantara’, juga menjadi inspirasi dalam penyusunan drama kolosal.

Kisah yang diangkat adalah perjuangan Sultan Aji Muhammad Idris bersama istrinya, Aji Putri Doya, melawan ketidakadilan VOC.

Sultan Idris merupakan Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke-14 yang memerintah pada abad ke-18. Ia dikenal sebagai sultan pertama yang menggunakan nama Islam penuh dan teguh menolak campur tangan Belanda. 

Dalam perjuangannya, Sultan Idris bersama pasukan Kutai bahkan membantu pasukan dari Tanah Wajo kampung halaman leluhur Putri Doya untuk melawan VOC. 

Perlawanan tersebut membuatnya gugur di medan perang pada 1739, namun namanya dikenang hingga kini dan telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2021.

Sementara itu, Aji Putri Doya adalah permaisuri Sultan Idris yang berdarah Bugis dari Kesultanan Pasir.

Pernikahannya dengan Sultan Idris tidak hanya memperkuat ikatan kekeluargaan antara Kutai dan Bugis, tetapi juga melahirkan semangat persaudaraan dalam melawan penjajahan.

Sosoknya dikenang masyarakat Kutai sebagai permaisuri yang lemah lembut namun tegar mendampingi perjuangan suaminya.

Para penari yang terlibat dalam pertunjukan ini berasal dari berbagai daerah di Kutai Kartanegara. Mayoritas berasal dari Tenggarong, namun ada juga yang datang dari Loa Tebu, Loa Kulu, Jembayan, hingga Tenggarong Seberang.

Drama kolosal ini menjadi pembuka meriah rangkaian Erau Adat Kutai 2025, sekaligus menegaskan bahwa meski dengan keterbatasan, semangat melestarikan budaya dan mengenang sejarah leluhur tetap menyala di hati masyarakat Kukar.

“Meski dengan segala keterbatasan, kami tetap tampil dengan sepenuh hati. Karena yang terpenting bukan hanya tariannya, tapi bagaimana rasa cinta kita pada budaya bisa tersampaikan,” pungkas Deprianur. (*)

 

 

 

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved