Pembunuhan Orangutan
Sudah Vonis, Kasus Pembunuhan Orangutan Tak Berarti Finish
Pemerhati sosial dan lingkungan hidup Kaltim, Niel Makinuddin, menegaskan bahwa vonis bukan berarti permasalahan sudah selesai.
SANGATTA, tribunkaltim.co.id - Dua kasus pembunuhan orangutan di area perusahaan perkebunan kelapa sawit, yakni di Kecamatan Telen dan Kecamatan Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur, telah berakhir dengan vonis Pengadilan Negeri Sangatta.
Keempat terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga telah menerima vonis, setelah sebelumnya sempat menyatakan pikir-pikir pasca sidang putusan 21 Mei 2012 lalu. Keempat terdakwa kini telah menjalani masa hukuman di rutan Polres Kutim.
Untuk terdakwa Tajar dan Tulil (kasus di Muara Ancalong), majelis hakim memutuskan menghukum terdakwa dengan pidana penjara 10 bulan dan denda Rp 50 juta subsider pidana kurungan 2 bulan.
Baca juga: Terdakwa Pembunuhan Orangutan di Kutim Divonis 10 Bulan dan 8 Bulan
Sedangkan untuk kasus di Telen, majelis hakim, memutuskan kedua terdakwa, Leswin dan Tadeus, terbukti bersalah dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara 8 bulan dan denda Rp 25 juta subsider pidana kurungan 2 bulan.
Terkait vonis tersebut, pemerhati sosial dan lingkungan hidup Kaltim, Niel Makinuddin, Selasa (29/5/2012), menegaskan bahwa vonis bukan berarti permasalahan sudah selesai. Bisa jadi kasus akan berulang, baik dengan pola yang sama maupun berbeda.
Ia pun menganalisa kedudukan kasus pasca vonis oleh Pengadilan Negeri Sangatta dan Pengadilan Negeri Tenggarong atas tindakan pembantaian terhadap satwa yang dilindungi negara, yakni orangutan.
"Vonis yang dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan jaksa. Padahal, harapan publik begitu besar terhadap proses peradilan ini. Karena ia merupakan benteng terakhir untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku pembantaian orangutan di Kalimantan Timur," katanya. Secara retoris, ia mempertanyakan apakah dengan hukuman yang kurang dari satu tahun akan menimbulkan efek jera.
Lalu, apakah dengan vonis seperti ini, tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap orangutan -yang jelas-jelas dilindungi Undang Undang RI - akan finish (berakhir)? Karena itu ia menyampaikan beberapa point pencermatan yang bisa membantu memahami duduk perkara dan bigger picture persoalan Orangutan di Kalimantan Timur.
Pertama, meski vonisnya belum memenuhi harapan publik dan pegiat konservasi, namun vonis yang telah dijatuhkan oleh PN Sangatta maupun Tenggarong patut diberikan apresiasi.
"Mengapa demikian? Dalam catatan saya, inilah kasus penganiayaan dan pembunuhan orangutan yang pertama sampai di peradilan dan ada vonis bersalah. Sebelumnya sudah ada beberapa kejadian pembunuhan dan penyiksaan orangutan, yang kasusnya menguap entah kemana. Ada sedikit langkah maju dalam upaya penegakan hukum," katanya.
Kedua, sangat jelas sekali bahwa vonis ini hanya menyentuh karyawan atau operator lapangan, namun belum menyentuh penentu kebijakan di perusahaan. Seharusnya proses hukum yang terjadi betul-betul maksimal, sehingga bisa menghukum aktor intelektual dan penentu kebijakan (petinggi) dari perusahaan yang terbukti melakukan tindakan kejahatan terhadap orangutan.
Dengan menyeret petinggi perusahaan, maka dampak politisnya akan lebih kuat, sehingga efek jeranya (deterrent effect) lebih terasa. Namun, dalam konteks kekinian Indonesia, hal ini agak sulit dilakukan karena petinggi perusahaan biasanya memiliki hubungan "istimewa" dengan penguasa daerah dan dukungan finansial untuk mempengaruhi proses hukum dan menggiring opini publik.
"Sehingga tidak mengherankan bila dalam beberapa kasus pembantaian orangutan, penguasa daerah enggan memberikan sanksi terhadap perusahaan dengan alasan klasik "khawatir investor akan kabur"," katanya.
Padahaal alasan tersebut dinilainya kurang tepat. Sebab, ketika hukum tegak, maka dunia usaha yang serius dan patuh hukum justru akan terlindungi citranya. Sehingga dunia luar (pesaing Indonesia) akan sulit mencari celah untuk menyerang produk Indonesia.
"Namun, bila proses hukum terkesan bisa dikendalikan oleh yang punya duit (investor), maka kita akan sering menjadi bulan-bulanan kampanye negatif dan ini ongkosnya mahal sekali. Situasi seperti ini justru melemahkan posisi tawar kita di arena internasional," katanya.
Ketiga, kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap orangutan diprediksi masih akan terus berlangsung, meski dalam skala yang tidak massif dan terang-terangan seperti yang pernah terjadi. Sebab, kasus pembantaian orangutan telah mendapat sorotan tajam dari media baik lokal, nasional, maupun internasional.
"Saya menduga modusnya akan mengalami pergeseran yakni dengan melakukan pengusiran dari kawasan konsesi suatu unit usaha dan/atau dengan menggunakan masyarakat sekitar perusahaan. Cara-cara seperti ini dianggap efektif untuk menghindarkan perusahaan dari jeratan hukum," katanya.