Pilkada Serentak

MK Legalkan Politik Dinasti, Demokrasi Sehat Berpotensi Terhambat

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

NET/GOOGLE
Miryam S Haryani 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah terkait larangan keluarga petahana mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Menanggapi hal tersebut, mantan anggota Pansus RUU Pilkada Fraksi Hanura, Miryam S Haryani memiliki catatan tersendiri. Menurutnya, saat ini MK telah kehilangan semangat progresifnya dalam membuat keputusan.

"Putusan MK yang menggugurkan aturan mengenai pembatasan politik dinasti menjadi catatan tersendiri khususnya dalam hal membangun demokrasi yang sehat dan berkemajuan," kata Miryam di Jakarta, Sabtu (11/7/2015).

Anggota Komisi V itu menilai, MK terlalu takut mengambil keputusan di luar frame hukum yang sudah menjadi kebiasaan, padahal pimpinan MK sebelumnya sudah sering mencontohkan hal tersebut namun tidak dijadikan pertimbangan dan pelajaran.

Baca: Menurut Wakil Ketua MPR Ini, MK Gagal Paham Soal Keadilan Jabatan

"Kami di DPR dan di Pansus Pilkada waktu itu menyusun pasal ini dengan pertimbangan yang sangat mendalam dan menyeluruh, bahkan kami harus siap diteror oleh pihak-pihak tertentu yang menginginkan pasal ini dihapuskan," ujarnya.

Dia menegaskan, pasal ini akhirnya menjadi sebuah keputusan yang diambil di Pansus dulu karena DPR ingin membangun demokrasi yang jauh lebih substansial serta menjadikan kontestasi dalam Pilkada lebih terbuka.

Miryam mengatakan, selama ini Pilkada cenderung hanya menjadi ruang segelintir orang yang punya akses kuat dalam dunia politik, termasuk petahana dalam rangka melanggengkan kekuasaan yang dimilikinya.

"Padahal jika kami mau egois maka partai politik tidak akan mau mengambil risiko ini, namun demi kepentingan bangsa yang lebih besar akhirnya kami bersepakat untuk membatasi adanya dinasti," tegasnya.

Sama halnya dengan pegawai negeri sipil harus mundur agar menjaga netralitas birokrasi dalam Pilkada jika ingin mencalonkan diri. Karena menurutnya, selama ini yang dikeluhkan banyak kalangan adalah ketidakmampuan birokrasi bersikap netral dalam setiap pelaksanaan Pilkada.

"Mimpi kami untuk membangun demokrasi yang lebih substansial dan berkualitas ini akhirnya harus dikubur dengan adanya putusan MK ini. Sudah tentu pihak yang sangat dirugikan dalam masalah ini adalah rakyat Indonesia, sebab mereka akan kembali kehilangan kesempatan dalam memunculkan alternatif pemimpin pilihan yang ideal dan sesuai harapan mereka dalam pilkada akibat adanya dinasti ini," ujarnya. (*)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved