Citizen Journalism

Urgensi Pembentukan Komisi Kerukunan Umat Beragama

Jika dilihat dari berbagai sudut pandang, maka hampir seluruh dimensi kehidupan demografi kependudukan Indonesia memiliki kompleksitas yang tinggi.

Editor: Amalia Husnul A
tribunnews/fx ismanto
Ilustrasi. Sambut pekan kerukunan antar umat beragama sedunia. Tokoh Agama dan Politisi, resmikan Taman Perdamaian, di halaman gedung MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (10/2/2012) lalu. 

Oleh: Isman Saleh, SH., SHI
Imam Masjid Tarbiyah Muhammadiyah, Balikpapan

PERISTIWA kerusuhan bernuansa SARA di Singkil, Aceh memaksa kita membuka kembali file sejarah penyebaran agama-agama di Indonesia. Dalam sejarahnya penduduk Nusantara selalu membuka diri dengan pemikiran-pemikiran keagamaan yang berasal dari luar. Realitas demikian menjadikan Indonesia sebagai negeri yang memiliki keanekaragaman bahasa, adat, suku, kondisi alam, maupun agama.

Jika dilihat dari berbagai sudut pandang, maka hampir seluruh dimensi kehidupan demografi kependudukan Indonesia memiliki kompleksitas yang tinggi, terutama dalam kaitannya dengan penyebaran Agama dan pelaksanaan peribadatan. Kenyataan itu memiliki dua dampak, positif dan negatif. Sisi positifnya, semua agama yang ada di negeri ini akan berkontribusi aktif memberikan pelayanan sosial dan kemanusiaan, serta mengarahkan umatnya meraih kualitas hidup yang terbaik. Yakni bentuk kehidupan yang berkualitas dari sudut pandang spiritual-etis dan eskatologis (baca: ukhrawi) berdasarkan paham dan keyakinan masing-masing agama. Kualitas hidup itulah yang akan menopang dan mengokohkan semangat kebhinekaan di Indonesia

BACA JUGA: Organisasi Kemasyarakatan Berkontribusi Positif Terhadap Pembangunan

Adapun sisi negatifnya kompleksitas keberagamaan itu secara alamiah akan mendorong masing-masing umat beragama berkompetisi memperjuangkan keyakinan dan peribadatannya agar dijamin dan dilindungi Negara. Apabila kompleksitas ini tidak dikelola dan didayagunakan secara cermat dan "ekstra hati-hati", akan menjadi jalan terjal terwujudnya kerukunan umat bergama yang harmonis dan berkeadilan di Negeri ini.

Disadari bahwa prinsip ketauhidan Islam berbeda dengan prinsip ketuhanan di luar Islam. Perbedaan ini bukan hanya melahirkan perbedaan ideologi ketuhanan antar umat beragama, akan tetapi berdampak pula pada perbedaan mentalitas, kondisi alam pikiran, dan pola perilaku umat beragama. Artinya, muatan keyakinan masing-masing agama di negeri ini telah mengandung potensi konfrontasi. Terutama jika perbedaan prinsip tersebut bersinggungan dengan isu politik (pilkada), kesenjangan infrastruktur, ekonomi, dan akses pelayanan publik yang sampai saat ini memang masih sangat mudah ditemukan di setiap pelosok negeri ini.

BACA JUGA: Kapolda Berujar Kalau di Pulau Ini tak Aman, Keterlaluan

Sepertinya kita harus berterus terang bahwa citra keberagamaan dan kebangsaan kita saat ini telah memasuki masa-masa degradasi dalam rentang waktu yang sangat lama. Betapa tidak, pertemuan tokoh-tokoh agama tahun 1967 yang difasilitasi Presiden Soeharto pada masa itu dengan tujuan agar prinsip saling menghargai dan menghormati antar umat beragama diwujudkan dengan suatu kesamaan pandangan bahwa corong penyiaran agama tidak diarahkan kepada mereka yang telah menjadi pemeluk agama, berakhir tanpa kepastian.

Pemerintah kemudian berinisiatif mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 1 Tahun 1969 tentang Tata Cara Pendirian Rumah Ibadah disusul SK Menteri Agama No 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama. Dianggap diskriminatif, sebagian Tokoh Agama menyerukan agar kedua produk hukum di atas direvisi sebab tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan menjalankan keyakinan dan peribadatan.

BACA JUGA: Kabupaten Nunukan Raih Dua Penghargaan

Selama ini ada dua pandangan yang berbeda secara dikotomis ketika mengemuka di ranah publik. Pertama mereka yang menyatakan bahwa penyiaran agama dan pendirian rumah ibadah adalah hak privat yang secara konstitusional dilindungi UUD 1945 dan konvensi internasional. Untuk itu pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama adalah kebutuhan yang tidak boleh dibatasi negara termasuk penyiaran agama kepada mereka yang telah memeluk keyakinan tertentu.

Kedua, mereka yang menyatakan bahwa hak untuk menyiarkan agama dan mendirikan rumah ibadah wajib memerhatikan hak asasi pemeluk agama lainnya. Untuk itu, penyiaran agama dan pendirian rumah ibadah harus diatur untuk menciptakan jaminan perlindungan dan keberlangsungan aktivitas umat beragama secara menyeluruh.

Setiap kali terjadi peristiwa kerusuhan yang dilatarbelakangi isu SARA, kedua kelompok ini saling berhadap-hadapan mempertahankan pendiriannya masing-masing. Perbedaan pandangan ini terjadi karena peta kerawanan itu terlampau jauh bergeser kepada wilayah normatif masing-masing keyakinan. Kita bisa memidanakan aktor intelektual kerusuhan di Singkil Aceh, kita pun tidak sulit menjerat pelaku rusuh yang lain dengan hukuman pidana sesuai KUHP kita. Namun hukum negara tidak bisa menjangkau doktrin penyebaran masing-masing agama, karena hal tersebut sudah termasuk wilayah keyakinan.

Oleh karena itu, demi keutuhan NKRI harus ada konsensus nasional antara perwakilan tokoh-tokoh agama bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan kepada penduduk yang telah memeluk agama tertentu. Keutuhan NKRI nyaris layu sebelum berkembang ketika Ki Bagus Hadikusumo (perwakilan BPUPKI dari Unsur Muhammadiyah) bersikeras tetap mengusulkan kalimat "syariat Islam" dalam piagam Jakarta. Namun atas lobi Prof. Kasman Singodimejo, akhirnya Ki Bagus Hadikusumo mengikhlaskan kalimat tersebut dihapuskan dari piagam Jakarta. Peristiwa ini kemudian membuat Bung Karno menangis dan mencium tangan Ki Bagus Hadikusumo seraya berterima kasih atas kebesaran hatinya. Penghapusan tersebut kemudian disebut Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara sebagai "kado terbaik umat Islam untuk keutuhan NKRI".

Urgensi Komisi KUB

Mencermati penjelasan di atas, diketahui peta kerawanan kerukunan umat beragama sesungguhnya terletak pada persinggungan antara doktrin satu agama dengan agama yang lain. Persinggungan doktrin agama tersebut tinggal menunggu momentum kerawanan sosial lainnya, sehingga dalam waktu singkat akan muncul lagi kerusuhan-kerusuhan berbau SARA lainnya di negeri ini.

BACA JUGA:  Pengusaha Ini Ajak Ratusan Tamu yang Hadir Pekikkan Aku Cinta Indonesia

Kondisi semacam ini tidak cukup hanya dengan menggunakan pendekatan hukum saja, lebih dari itu perlu dibentuk sebuah institusi atau lembaga yang secara permanen berwenang melakukan langkah pemetaan terhadap wilayah-wilayan rawan konfrontasi. Sehingga tidak ada sejengkal pun tanah dan rumah ibadah di negeri ini yang luput dari pantauan institusi ini.

Kalau boleh mengusulkan institusi atau lembaga yang dimaksud kita beri nama Komisi Kerukunan Umat Beragama. Komisi ini harus diberi kewenangan "super body" seperti komisi-komisi Negara lainnya seperti KPK, Komnas HAM, dan KY. Tugasnya tidak hanya menyangkut monitoring dan evaluasi terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama, akan tetapi lebih luas lagi sampai kepada investigasi dan rekomendasi kepada pemerintah mengenai langkah-langkah konkret yang harus diambil.

BACA JUGA: Lestarikan Budaya, Pemkab Agendakan Festival Tahunan

Selama ini, tanggung jawab kerukunan umat beragama merupakan salah satu tugas dan kewenangan Kementerian Agama, di tingkat pusat isu-isu tentang kerukunan umat beragama berada di struktur kementerian setingkat kepala bidang. Sementara di tingkat daerah ditunjuk dan diangkat Kepala Daerah berdasarkan SKB Nomor 8 Tahun 2006 dalam bentuk forum komunikasi antar umat beragama (FKUB).

Dalam pandangan penulis, peta kerawanan yang jauh memasuki wilayah normatif masing-masing keyakinan ditambah adanya heterogenitas kondisi sosial dan demografi kependudukan, menempatkan persoalan kerukunan umat beragama tidak dapat lagi diselesaikan oleh satu kementerian saja, melainkan lintas sektoral, atau lintas kementerian. Seringkali kerusuhan itu diawali dari masalah sepele dan sama sekali tidak berkaitan keyakinan agama tertentu. Namun karena komunikasi yang tersumbat dan kepercayaan antara sesama pemeluk agama berada pada titik terendah, maka terjadilah konflik yang mengakibatkan munculnya korban jiwa dan kerugian materi.

Gagasan pembentukan Komisi Kerukunan Umat Beragama (KKUB) perlu dan mendesak, terutama jika mengutip laporan Lemhanas, Maret 2015 yang lalu menyebutkan bahwa ketahanan nasional Indonesia saat ini sudah berstatus lampu kuning. Artinya ketahanan nasional Indonesia saat ini sudah berstatus membahayakan. Jika kita semua komitmen pada NKRI mestinya kerukunan antara dan intra umat beragama harus diletakkan sebagai modal dasar dalam menciptakan kerukunan Bangsa Indonesia.

Dalam masalah pendirian rumah ibadah misalnya, komisi ini secara permanen akan mengidentifikasi dan memetakan bagaimana penerimaan masyarakat setempat terhadap rencana pembangunan rumah ibadah, berapa besar persentasi resistensi dan penerimaannya. Komisi ini juga akan melakukan koordinasi dengan lintas departemen, Pemerintah Daerah, dan Kementerian, jika memang tingkat resistensi rencana pembangunan rumah ibadah tersebut sangat tinggi. Dengan kewenangan yang luas, maka para komisioner dapat merespon dengan cepat tanpa harus terhambat sekat-sekat birokrasi dan prosedur lainnya.

Akhirnya, kita dihadapkan pada masa-masa sulit menyongsong kehidupan keberagamaan yang semakin mengglobal. Citra keberagamaan kita akan ditentukan oleh sikap kita sendiri. Apakah kita memilih untuk berkompetisi di ranah kemanusiaan atau menyibukkan diri dengan konfrontasi ideologis yang justru akan menjerumuskan kita pada keruntuhan dan kerugian.
Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, menghalangi kalian berbuat adil, maka berlaku adillah, karena sesungguhnya itu lebih dekat kepada takwa (Q.S Al Maidah: 8). Wallahu a'lam bishawab. (*)

***

  Follow  @tribunkaltim Tonton Video Youtube TribunKaltim

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Semua Orang adalah Pahlawan

 

Setahun Visi Antikorupsi Jokowi

 

Pahlawan Orang-Orang Kecil

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved