Hari Guru Nasional
Mengabdi di Pedalaman, Para Guru Ini Terkejut Melihat Kondisi Anak-anak
Pria berusia 51 tahun ini tergelak tatkala mengisahkan saat pertama kali menginjakkan kaki di Papua untuk menjadi guru di sekolah dasar.
Jumlah guru yang dikirim tinggal 715 orang. Kecemasan berkurang ketika di atas pesawat mereka diberi surat keputusan calon PNS.
Gegar budaya
Meskipun begitu, setiba di Jayapura mereka kaget melihat ibu kota provinsi yang sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan. Khusus untuk kelompok terbang Sugeng dan Kuncahyo, beranggotakan 60 orang, dikirim ke Kabupaten Paniai.
Sugeng bersama Sutiharsih, yang kelak dinikahinya, ditempatkan di Kecamatan Ilaga di lereng Gunung Cartenz. Kuncahyo dikirim ke Puncak Jaya untuk mengajar di SD Purbalok. Rekan mereka, Endang Sumiartini dan Jasmadi, ke Moanemani.
Senja hari, pada 19 November 2015, Kuncahyo, Sugeng, Endang, Jasmadi, dan 12 rekan sesama guru menggelar pembubaran panitia reuni 30 Tahun Paguyuban Guru-guru Jatim Pagujati di kediaman Sugeng.
Mereka ingat, mereka terkejut melihat keadaan Papua yang amat berbeda dari Pulau Jawa saat itu.
Baca: Di Kaltim, Guru IIIA Bergaji Rp 15 Juta per Bulan
”Saya sampai pingsan saking kelelahan. Berangkat naik pesawat dari Surabaya ke Jayapura, dilanjutkan dengan penerbangan dengan pesawat kecil ke Moanemani,” ucap Endang. Hal itu belum ditambah kekagetannya melihat penampilan masyarakat setempat dengan busana khas.
Endang mengajar di SD Maua dan menangani 25 siswa dari kelas I hingga III. Beberapa dari siswa itu bertubuh lebih tinggi daripada Endang. Maklum, mereka terlambat sekolah, bahkan ada yang masuk SD ketika sudah berumur 12 tahun.
Kekagetan itu berubah menjadi semangat karena ada begitu banyak hal yang harus dilakoni. Dia harus mengajak anak-anak bersekolah.
”Yang penting datang dulu ke sekolah. Soal belajar membaca dan menulis, itu urusan belakangan,” ujarnya.
Untuk itu, guru pun belajar bahasa setempat. Endang, misalnya, belajar bahasa Ekare, sementara Kuncahyo belajar bahasa Dani. Proses perkenalan membutuhkan waktu enam bulan agar anak-anak merasa nyaman dengan guru baru.
Metode yang dilakukan beragam. Kuncahyo, contohnya, memanfaatkan keahliannya bermain gitar dan sepak bola untuk menarik minat anak-anak.
Pendekatan personal ditempuh demi mendekatkan siswa dekat dengan guru. Cara mengajar pun dimodifikasi dengan menggunakan lagu untuk memperkenalkan abjad dan angka.
Endang mengenang, masa itu keadaan sulit. Jika kapur tulis habis, ia harus menulis di tanah dengan batang kayu. Untunglah, para siswa tetap bersemangat.