Tamu Lokalisasi Semakin Sepi, Mucikari Ini Bingung Nafkahi Keluarga
Warga yang bermukim di lokalisasi hampir tidak terlihat di luar. Hanya ada beberapa anak-anak yang hilir mudik bermain sepeda.
Penulis: Cornel Dimas Satrio Kusbiananto |
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Alunan musik dangdut terdengar nyaring dari dalam wisma yang terletak di lokalisasi Bandang Raya Solong, Samarinda.
Warga yang bermukim di lokalisasi hampir tidak terlihat di luar. Hanya ada beberapa anak-anak yang hilir mudik bermain sepeda.
Kondisi tersebut umum terjadi pada siang hari dalam kurun waktu setahun belakangan. Hal itu dikemukakan Supri, pedagang bakso keliling, yang kebetulan sedang berdagang di area lokalisasi Bandang Raya.
Supri (45) mengaku yang sudah sekitar 5 tahun berjualan di Solong. Menurutnya, saat ini pengunjung lokalisasi Bandang Raya Solong jauh sepi dibandingkan dua tahun lalu. Biasanya siang hari, sudah ada saja pelanggan yang berbincang dengan para pekerja seks komersial (PSK).
"Dulu ramai, siang sudah ada tamu yang mampir minum bir. Sekarang sudah susah, mungkin karena banyak karyawan perusahaan yang di PHK jadi berkurang tamunya," ucapnya Minggu (15/5/2016) lalu.
Baca: Nina Bingung Cari Kerja Pasca Penutupan Lokalisasi, Ia Berharap Bisa Punya Uang untuk Beli Sawah
Bahkan ia mengakui sepinya tamu turut berdampak pada penghasilan jualan baksonya. Sebelumnya ia bisa menghasilkan omset hingga Rp 200 ribu per hari. Sekarang, untuk mendapatkan Rp 100 ribu saja setengah mati susahnya. Ia pun memutuskan mencari tempat lain setelah mangkal di lokalisasi.
"Susah kalau dapat Rp 200 ribu. Kadang-kadang cuma Rp 80 ribu. Paling yang beli cuma perempuan (WTS) di sini. Kalau dulu kan masih ada tamu yang beli," ujar pedagang bakso yang mulai mangkal di lokalisasi Solong pukul 15.00 Wita.
Terkait rencana penutupan lokalisasi, Supri sama sekali tak mengetahui kabar tersebut akan cepat dieksekusi. Ia menyayangkan hal itu, lantaran warga setempat menggantungkan hidup di lokalisasi.
Ia sendiri termasuk salah satu yang mencari keuntungan di kawasan rumah bordil itu.
Supri khawatir suatu saat ia terpaksa mencari tempat mangkal yang jauh dari rumahnya. Pasalnya biaya operasional akan semakin tinggi dan pembeli belum tentu sebanyak di lokalisasi.
Baca: Satu per Satu Lokalisasi Ditutup, Para PSK pun Pulang Kampung
Nasib sama dirasakan Apri, seorang mucikari di Lokalisasi Bayur, Sempaja Samarinda. Ia menggelengkan kepala sembari duduk di atas motor.
"Aduuuh bingung aku, sepi sekarang," ucapnya sembari mengobrol dengan Tribun.
Apri menjalani profesi sebagai mucikari sejak 5 tahun lalu. Ia pusing lantaran tamu lokalisasi kian hari makin sepi. Hal itu sudah mulai terasa sejak Desember 2015 lalu, terutama saat industri tambang batu bara lesu.
Menurutnya pelanggan lokalisasi Bayur paling banyak pekerja tambang batu bara. Saat itu sehari ia bisa meraup untung Rp 300 ribu - Rp 700 ribu per malam. Namun saat ini ia hanya mendapatkan paling besar Rp 200 ribu per malam.
Ia merasa kondisi tersebut diperparah dengan rencana penutupan lokalisasi serentak di Kaltim 1 Juni mendatang.
Pusing seribu keliling dirasakannya, sebab masih banyak tanggungan dan utang yang belum dilunasi.
Baca: Lokalisasi Akan Ditutup, Ini Ungkapan Pengelola Rumah Bordil: Kami seperti Dibuang ke Laut. . .
Apri takut, apabila lokalisasi ditutup, 'piring nasi' miliknya tak ada lagi. Ia pun tak bisa menafkahi istri dan empat anaknya.
Satu-satunya harapan ekonominya yakni di bisnis prostitusi. Apalagi Apri berasal dari pendidikan yang rendah dan tidak memiliki keterampilan khusus untuk menggeluti pekerjaan lain.
Apri juga berat mengurusi anak asuhnya yang harus pulang kampung saat Ramadhan nanti.
Anak asuhnya kurang lebih berjumlah 20 orang yang usianya 20-30 tahun dan mendiami tiga wisma di lokalisasi Bayur. Rata-rata mereka berasal dari Jawa dari jawa yang datang sendiri menghadap Apri karena desakan ekonomi.
Ia berharap pemerintah bijak dan mau memberikan solusi bagi mucikari. Ia mengakui pekerjaan yang ditekuninya itu haram, namun ini harus dilakukan lantaran desakan ekonomi untuk menafkahi keluarga. (*)
***