Wacana Pemkot Pangkas Tunjangan di Luar Gaji, Ribuan PNS Terancam tak Bisa Bayar Utang
Sudah jadi rahasia umum, kalau mayoritas PNS itu menggadaikan SK-nya untuk beli rumah atau mobil.
TRIBUNKALTIM.CO, BONTANG - Ribuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) baik struktural maupun fungsional di lingkungan Pemerintah Kota Bontang, dihantui utang yang tak terbayar alias macet.
Ancaman ini bakal terjadi jika pemerintah menghapus atau memangkas sumber pendapatan PNS di luar gaji pokok, yakni Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) dan Performance, sebagai dampak merosotnya proyeksi pendapatan APBD 2017, pada kisaran Rp 796 miliar.
Ketua Forum Diskusi PNS Bontang, Tyo Senyoto mengungkapkan rencana pemerintah memangkas anggaran TTP dan tunjangan Performance akan berdampak nyata bagi perekonomian Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bontang.
Sebab dari sekitar 3.900 PNS di Bontang, hampir 75 persen diantaranya sudah menggadaikan SK (Surat Keputusan) pengangkatan mereka ke bank untuk membangun atau beli rumah.
Dengan demikian, praktis biaya kebutuhan hidup sehari-hari pegawai, sepenuhnya bergantung pada pendapatan TTP dan Performance.
Baca: TPP Dialokasikan Rp 400 M, PAD Kaltim Harus Bertambah Dua Kali Lipat
Ancaman kredit ini, lanjut Tyo semakin jadi momok karena tidak sedikit PNS yang juga melipatgandakan pinjamannya ke bank dengan jaminan pendapatan dari TPP.
"Sudah jadi rahasia umum, kalau mayoritas PNS itu menggadaikan SK-nya untuk beli rumah atau mobil. Terus, TTP dan Performance juga dijadikan agunan misal untuk biaya kuliah anak atau investasi lain. Jadi kalau sampai TTP dikurangi apalagi dihapus pasti akan banyak PNS terlilit kredit macet," ungkap Tyo saat ditemui, Sabtu (19/11/2016).
Tyo yang juga staf di Kecamatan Bontang Utara mencontohkan dirinya. Sebagai pegawai biasa SK PNS-nya ia gadaikan di bank untuk membeli lahan di Bontang Kuala dengan potongan gaji pokok sebesar Rp 2,7 juta.
Sehingga praktis Ia hanya menerima sisa gaji pokok Rp 500.000. Sementara penghasilan dari TTP sebesar Rp 2,7 juta per bulan, ia gunakan membayar cicilan motor matic sebesar Rp 700.000 per bulan.
Dengan demikian hanya tersisa Rp 2 juta pendapatan dari TTP plus Rp 500 ribu sisa gaji pokok untuk biaya hidup.
"Kalau misal TPP dikurangi 50 persen saja, berarti pendapatan sebulan sisa Rp 1,5 juta. Dikurangi pengeluaran, listrik, telp, air, sudah pasti tidak cukup buat makan," tuturnya.
Amin Yudi, Kasi Pemerintahan Kecamatan Bontang Utara, mengatakan jika pemerintah menghapus TPP, maka aset rumah yang ia kredit di salah satu perumahan terpaksa dijual kembali.
Pasalnya, dalam sebulan cicilan rumah tersebut mencapai Rp 4 juta.
"Jangankan dihapus, TTP dikurangi 50 persen saja sudah pasti tidak sanggup bayar. Solusinya, ya pasti dijual aja daripada jadi kredit macet," ungkap Amir.
Senada, salah seorang guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Bontang yang enggan disebutkan namanya, mengatakan gaji pokok yang diterimanya tiap bulan habis terpotong untuk membayar cicilan rumah selama 15 tahun.
Baca: Tenggat Pembahasan APBD 2017 Tersisa Dua Pekan, Anggota Dewan Terancam Tak Gajian Enam Bulan
Setiap bulannya gajinya secara otomatis dipotong Rp 3 juta oleh bank tempat meminjam.
Ditambah beban biaya listrik sebesar Rp 500 ribu, air Rp 100 ribu, gas Rp 50 ribu sebulan, maka total gaji pokok sudah terserap habis.
Dengan demikian, biaya hidup bulanan murni bergantung pada TTP yang besarannya kisaran Rp 2,9 juta per bulan.
Tambahan penghasilan ini antara lain digunakan untuk, biaya makan Rp 1,5 juta, biaya pendidikan anak Rp 800 ribu, dan sisanya untuk asuransi keluarga.
"Intinya kalau TPP dihapus atau dikurangi persentasenya secara signifikan, sudah pasti guru yang paling terdampak," katanya.
Baca: Siap-siap, Pemkot Akan Lelang Mobdin, Ini Kriterianya
Dinilai tak Populis
Ketua Forum Diskusi Pegawai, Tyo Senyoto meminta agar pemerintah meninjau ulang rencana pemangkasan belanja pegawai yang tidak dinilai tidak populis.
Sebab, jika dipaksakan akan berdampak bagi kinerja para Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kota Bontang.
Tyo mengatakan sejak wacana itu digulirkan banyak rekannya yang mulai malas-malasan dalam bekerja. Imbasnya pelayanan ke masyarakat akan tidak maksimal.
"Sudah mulai kelihatan teman-teman, ini sangat membahayakan bagi Pemerintan. Semoga ada solusi yang bisa ditawarkan ibu Wali dan pak Wakil (Neni Moerniaeni-Basri Rase)," ungkapanya.
Tyo berharap, Pemkot dapat mencari solusi dengan memaksimal lobi ke pemerintah pusat agar dana perimbangan yang dianggap kurang adil diberikan terhadap Bontang yang notabene sebagai daerah pengola Migas.
Baca: Jangan Lagi Berharap Dana Perimbangan, Datangkan Investor!
Menurutnya, keberadaan sejumlah perusahaan raksasa yang juga Objek Vital Nasional (Obvitnas) penghasil devisa negara di Bontang, harusnya bisa jadi pertimbangan.
Hal ini mengingat, industri semisal Badak LNG dan PT Pupuk Kaltim, mengandung risiko kecelakaan industri.
"Coba kita lihat masyarakat buffer zone perusahaan, banyak masyarakatnya yang kena ISPA (Inspeksi Saluran Pernapasan, Red) dan terkena flek, ini yang harus di perjuangkan dengan Pemerintah juga sebagai bahan acuan agar Pemerintah Pusat mendengar aspirasi masyakat Bontang. Janganlah dipangkas dana perimbangan mana asal keadilannya," tutur Tyo.
Walikota Bontang Neni Moerniaeni mengaku sepenuhnya paham dengan aspirasi dari kalangan PNS, khususnya guru yang meminta agar pemerintah tidak memangkas TPP.
Namun dalam kondisi APBD yang diproyeksikan Rp 796 miliar tahun depan, Pemerintah tidak mungkin mempertahankan belanja pegawai yang sudah mencapai 620 miliar atau setara 77 persen APBD.

Neni Moerniaeni
Jika keinginan tersebut dipenuhi, maka hampir dapat dipastikan pembangunan Bontang akan terhenti.
"Tidak ada uangnya, saya sudah coba utak-atik tapi sulit, biar kita jungkir balik pun memang tidak gampang , saya juga tidak mau mengambil kebijakan seperti ini, tapi kalau kondisinya seperti ini mau gimana lagi. Tidak mungkin saya mengenyampingkan kepentingan orang banyak," kata Neni.
Menurut Walikota, besaran belanja pegawai Rp 620 miliar dirancang dalam kondisi APBD yang surplus yakni kisaran pendapatan Rp 1,9 triliun tahun 2015-2016.
Sementara saat ini, prediksi pendapatan susut 60 persen akibat berkurang transfer dana perimbangan dari pusat.
Untuk itu, Neni menegaskan, bahwa solusi terbaik yang mesti ditempuh PNS di lingkungan Pemkot Bontang saat ini adalah, mengubah pola hidup konsumtif dan lebih berhemat membedakan mana kebutuhan dan keinginan.
Terkait ancaman kredit macet, Walikota mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa berbuat banyak.
"Pesan saya dengan kondisi APBD terkini bisa jadi bahan pelajaran bagi pegawai menghindari pola hidup yang konsumtif," tandasnya. (*)