Kolom Rehat
Kebebasan Pers dan Hoax
Posisi negara kita pun dalam Indeks Kebebasan Pers Sedunia meningkat 6 peringkat. Dari posisi 130 pada 2016 menjadi 124 pada 2017.
Editor:
Syaiful Syafar
oleh: ARIF ER RACHMAN
PADA 1-4 Mei 2017 lalu, Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah perayaan Hari Kebebasan Pers Sedunia dengan mengangkat tema, "Berpikir Kritis di Masa Kritis: Peran Media Mempromosikan Kedamaian dengan Masyarakat yang Aktif dan Terbuka".
PADA 1-4 Mei 2017 lalu, Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah perayaan Hari Kebebasan Pers Sedunia dengan mengangkat tema, "Berpikir Kritis di Masa Kritis: Peran Media Mempromosikan Kedamaian dengan Masyarakat yang Aktif dan Terbuka".
Posisi negara kita pun dalam Indeks Kebebasan Pers Sedunia meningkat 6 peringkat. Dari posisi 130 pada 2016 menjadi 124 pada 2017. Ini sebuah kabar baik untuk memperinghati World Press Freedom Day (Hari Kebebasan Pers Dunia) yang diperingati setiap 3 Mei sejak 1993.
Tapi -- memang selalu ada tapinya -- di samping sejumlah media dan wartawan yang masih diperlakukan tidak adil di Papua, kita menghadapi sesuatu yang lebih besar saat ini: berita hoax dan ujaran kebencian. Mulut mungkin sudah tidak lagi dibungkam, tapi malah 'bocor' kemana- mana.

Persolaan hoax dan ujaran kebencian lebih merisaukan karena itu bisa dibuat oleh siapa saja, tidak harus wartawan dan tidak di media konvensional saja. Biang keroknya adalah media sosial yang bisa dengan mudah mewadahi berita hoax dan ujaran kebencian itu. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, bahkan meminta media massa juga berperan memerangi berita hoax.
Faktor pendorong hoax antara lain perkembangan internet 132,7 juta jiwa juta jiwa menurut data Asosiasi Penyelenggra Jasa Internet Indonesia (APJII), perubahan perilaku pembaca digital native khususnya kelahiran 1980-an dan ketidakpercayaan lagi pada media mainstream karena media arus utama sering berkepentingan dalam politik dan bisnis (uang/laba).

Berita hoax sebenarnya bukan hanya isu lokal Indonesia saja tapi juga menjadi perhatian internasional karena media sosial cakupannya global. Rusia bahkan meminta PBB untuk membuat strategi melawan hoax.
Facebook (FB) sebagai media terbesar saat ini juga dibuat sibuk untuk mengatasi permasalahan yang mereka anggap sebagai 'the worst bug' ini. Kita tahu, saat ini hampir dua miliar orang mengunakan FB tiap tahun dan sekitar 1,2 miliarnya menggunakan FB setiap hari.
Jejaring sosial sosial yang dibuat Mark Zuckerberg 13 tahun lalu di kamar asramamya di Harvard itu sudah menjelma menjadi entitas terbesar dan paling berpengaruh dalam urusan berita, bisa merangkul audiens jaih lebih besar dari yang bisa diraih oleh jaringan tv berita manapun di AS dan Eropa, bisa meraih lebih banyak pembaca dari majalah, surat kabar, dan media online apapun.
Dengan begitu, FB bisa digunakan sebagai kekuatan terbesar untuk mobilisasi dalam politik. Jaringan televisi sudah tergantikan karena mulai tertingal. Sejak sahamnya dilepas ke pasar sekitar 5 tahun lalu, FB telah menjadi salah satu dari 10 perusahaan publik dengan kapital terbesar.

Lalu apa? Well.. FB memang tidak bisa dibendung, tapi berhenti menggunakan FB karena takut terpapar dengan berita hoax dan ujaran kebencian juga suatu tindakan yang kurang bijaksanana. Biar bagaimana pun FB tetap banyak manfaatnya. Kalau tidak bisa memerangi hoax, setidaknya kita tidak memercayai atau bahkan ikut menyebarkannya. Ciri-ciri berita hoax bisa Anda cari sendiri di Internet.
Sedangkan untuk menjaga kebebasan pers, media tidak bisa tidak untuk terus meningkatkan profesionalisme dengan berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik, check and recheck, dan cover both/all sides.

Dan, semua insan media, termasuk saya, harus tetap menjaga agar marwah jurnalisme tetap menjadi acuan publik dalam mencari informasi valid di tengah tsunami informasi saat ini.
Begitulah. Selamat berakhir pekan dan coba untuk tidak mudah percaya atau membagi informasi yang Anda belum tahu kebenaranya di media sosial. Hindari hoax sebelum Anda jadi koban hoax. (*)
Berita Terkait