Derita Warga Pegat Batumbuk, Punya Hunian tanpa Kuburan hingga Melahirkan di Atas Speed Boat
Pun demikian halnya dengan persoalan listrik. Selama puluhan tahun warga di kampung ini merasakan hidup gelap gulita.
Penulis: Syaiful Syafar | Editor: Syaiful Syafar
TRIBUNKALTIM.CO - Apa jadinya jika daerah yang anda tempati tak punya pemakaman umum?
Itulah yang dirasakan warga kampung Pegat Batumbuk di Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Selama puluhan tahun, warga di kampung itu tak bisa menguburkan jenazah anggota keluarganya dekat dari rumah.
Mereka terpaksa harus membawa jenazah ke dataran kota atau kampung terdekat, melintasi perairan selama berjam-jam.
Seperti yang dialami jenazah Hernawati (21), yang tutup usia pada 17 Juli 2017.
Lantaran di kampungnya tak ada pemakaman umum, jenazah Hernawati akhirnya dikuburkan di kampung Merancang Ulu, Gunung Tabur, Kabupaten Berau.
Jaraknya cukup jauh dari kampung Pegat Batumbuk.
Untuk sampai ke sana jasadnya terpaksa diangkut ke speed boat, melintasi belasan gugusan delta sungai selama 2-3 jam.
Foto-foto tentang pegantaran jenazah ini diunggah di Facebook oleh salah seorang pegiat lingkungan bernama Achmad Fachri.

Kepada TribunKaltim.co, Fachri menceritakan sekilas penderitaan warga Pegat Batumbuk.
"Tidak ada transportasi darat di lokasi ini. Jadi, jenazah yang mau dimakamkan harus dibawa menggunakan speed boat atau perahu Ketinting," ungkap Fachri melalui sambungan telepon.



Kendaraan tersebut, kata Fachri, biasanya sudah disediakan oleh kepala kampung. Warga tinggal mengongkosi bahan bakar bila ingin memakainya.
Apabila kendaraan tersebut tak berada di tempat, warga pun terpaksa harus menyewa transport lain.
Baca: Tewas Diterkam saat Mandi di Sungai, Diteriaki Warga, Buaya Muncul Antar Jasad Syarifuddin
Achmad Fachri mengaku sudah berada di Pegat Batumbuk sejak dua tahun terakhir.
Ia bersama rekan-rekannya di Forum Lingkungan Mulawarman (FLIM) melakukan pendampingan terhadap warga setempat pada Program Karbon Hutan Berau (PKHB).
Selama dua tahun berinteraksi dengan warga kampung, banyak hal menarik yang ia temukan di lapangan.
Rekan Fachri, Supriadi Syam, turut menceritakan bahwa persoalan kematian sama repotnya dengan kelahiran.
Ibu-ibu yang hendak melahirkan harus berjuang sekuat tenaga untuk bisa sampai ke Puskesmas atau Rumah Sakit yang berada di kota Tanjung Redeb.
Di kampung Pegat tidak ada bidan yang stand by, hanya ada seorang mantri yang kerap mengurusi kesehatan warga.
Bidan terdekat berada di permukiman Batumbuk, lokasinya terpisah oleh gugusan delta. Butuh waktu 1-2 jam untuk bisa sampai ke kampung Pegat.
"Kalau bidan itu dipanggil, tak ada pilihan lain dia juga harus naik transportasi air agar bisa sampai ke Pegat. Nah, ini butuh waktu lumayan lama," ungkap Supriadi.
Mirisnya lagi, tahun lalu ada seorang ibu yang melahirkan di atas speed boat saat menempuh perjalanan menuju rumah sakit.
"Bayinya lahir kembar. Syukurnya ibu dan anak selamat. Dia hanya didampingi seorang mantri saat di atas speed boat," tutur Supriadi.
Baca: Teripang Seukuran Mobil Innova Ditemukan di Biduk-biduk
Tak hanya soal kematian dan kelahiran, warga di kampung Pegat Batumbuk bertahun-tahun juga merasakan krisis air bersih dan listrik.
"Untuk mendapatkan air bersih, masyarakat harus berebut pada saat musim penghujan. Kalau kemarau tiba, masyarakat terpaksa mengambil air di gunung Padai yang terletak di Desa Pelinjau, juga menggunakan transportasi air jenis Ketinting, menyusuri sungai dan hutan mangrove dengan jarak tempuh 1-2 jam," beber Achmad Fachri.

Bahkan pernah satu waktu, warga harus merogoh kocek Rp 10.000 untuk mendapatkan 20 liter air bersih dari gunung Padai. Meski ekonomi sulit, mereka tetap membelinya demi bertahan hidup.
Pun demikian halnya dengan persoalan listrik. Selama puluhan tahun warga di kampung ini merasakan hidup gelap gulita.
Barulah beberapa tahun terakhir, masalah ini sedikit terpecahkan.
Kini warga sudah bisa merasakan listrik dari pukul 18.00 - 01.00 dini hari.
Listrik ini bersumber dari genset yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Tiap bulan warga mengumpulkan iuran yang disetor ke BUMDes untuk mengongkosi bahan bakar dan operasional listrik.
Setidaknya lewat gagasan ini, warga sedikit bernafas lega melihat rumah-rumahnya terang benderang di malam hari.
Terisolir karena Dikepung Air
Tak banyak yang tahu letak kampung Pegat Batumbuk, juga tak banyak informasi tentang kondisi daerah ini.
Sebab, tempat ini memang jauh dari berbagai akses, tak ada fasilitas listrik PLN, transportasi darat, jaringan telepon dan internet, dll. Singkatnya, kampung ini masuk dalam kategori terpencil.
Secara geografi, kampung Pegat Batumbuk terletak pada 1170 48' 26,85" sampai 117049' 53,1" BT dan antara 20 6' 40,62" sampai 2 5' 50,91" LU.
Kampung ini memiliki luas wilayah 547,18 kilometer persegi. Berjarak lebih dari 20 km dari ibu kota kecamatan, dan sekitar 35 km dari Tanjung Redeb ibu kota Kabupaten Berau.
Kampung ini merupakan kawasan pantai yang terdiri dari tiga belas gugusan delta di Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau.
Baca: Rombongan Manusia Perahu Datang Lagi, Sebenarnya Siapa dan Dari Mana Mereka?
Saat ini tercatat ada 236 Kepala Keluarga (KK) dan 858 jiwa yang menghuni kampung ini.
Semua warga mendirikan rumah di atas air karena di kampung ini tidak ditemukan daratan.


Pekerjaan warga di kampung ini rata-rata adalah nelayan.
Pada awalnya warga Pegat mayoritas pendatang dari daerah luar Kabupaten Berau di antaranya dari Sulawesi (suku Bugis) dan Nusa Tengara Timur (suku Sasak).
Akses menuju kampung Pegat Batumbuk hanya dapat dilalui melaui jalur transportasi air sungai dari kota Tanjung Redeb.
Berdasarkan cerita masyarakat kampung Pegat Batumbuk, untuk mencapai kota Tanjung Redeb menggunakan perahu mereka membutuhkan biaya sekitar Rp 400.000 pulang-pergi, untuk biaya bahan bakar.
Namun di balik segala kekurangan itu, Pegat Batumbuk adalah 'surga' bagi para nelayan.
Kekayaan perairan muara membuat warga di sini bisa bertahan hidup.
Mereka bahkan sukses membuat produksi unggulan, salah satunya berupa terasi.

Terasi hasil olahan kampung Pegat Batumbuk sudah dikenal miliki rasa yang sangat enak.
Bahan bakunya udang segar. Warga Pegat Batumbuk menyebutnya dengan istilah udang Bapay.
Produksi terasi ini telah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu.
Karena sudah merupakan kegiatan produksi secara turun temurun, maka kegiatan pembuatan terasi sudah merupakan keterampilan umum masyarakat kampung Pegat Batumbuk.
Permasalahan yang dihadapi terkait produk unggulan ini adalah jaringan pemasaran yang masih terbatas, yaitu sebagian besar masih dipasarkan di Tanjung Redeb. (*)