10 Tahun Bekerja di Malaysia, Pria Ini Sebut Uang Ringgit Lebih Menguntungkan Dibanding Rupiah

Usai 10 tahun bekerja di Malaysia, Abdurrahman memutuskan kembali di Indonesia sebagai petani sawit.

TRIBUN KALTIM / AHMAD BAYASUT
Warga perbatasan desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik, Nunukan, Abdurrahman, menunjukkan dua mata uang yakni Ringgit dan Ringgit. 

TRIBUNKALTIM.CO, NUNUKAN - Cerita mengenai perbatasan Republik Indonesia dan Malaysia memang tidak pernah habis dibahas. Masalah sosial, ekonomi, politik menjadi isu seksi nasional.

Kisah-kisah warga Negara Indonesia lebih dominan mengkonsumsi produk-produk Malaysia, penggunaan mata uang Ringgit, hingga mencari kerja di negeri Jiran masih tercermin hingga saat ini.

Abdurrahman warga desa Aji Kuning Kecamatan Sebatik Nunukan salah satunya.

Pria asal Sulawesi ini sudah 10 tahun bekerja di salah perusahaan kilang di Malaysia.

Selama bekerja, dirinya bisa membiayai 5 anak dan seorang istri. Hingga dirinya memiliki rumah sendiri di desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik.

Usai 10 tahun bekerja di Malaysia, Abdurrahman memutuskan kembali di Indonesia sebagai petani sawit.

Walau pendapatannya kini lebih sedikit dibandingkan bekerja selama di Malaysia, Abdurrahman fokus untuk lebih dekat bersama keluarga.

"Sekarang jadi petani sawit saja, lebih dekat dengan keluarga, memang gaji di Malaysia lebih banyak dibanding sekarang jadi petani sawit," katanya.

Selama menetap di Indonesia bukan berarti segala kebutuhan hidup mudah. Dengan penghasilan pas-pasan, pria berusia 35 tahun itu tetap bersyukur.

Menurutnya, tinggal di perbatasan Indonesia masih tergantung pada pemenuhan kebutuhan hidup dengan sembako Malaysia.

Harga sembako Malaysia lebih murah dibanding sembako Indonesia. Termasuk membeli elpiji milik Malaysia lebih murah dibanding elpiji Indonesia.

Elpiji My Gaz dari Malaysia ukuran 14 kg dibeli dengan harga Rp 220 ribu sementara elpiji 12 dari Indonesia jarang ditemukan.

Bahkan elpiji 3 kg subsidi alias elpiji melon di Sebatik Rp 25 ribu dari tangan pengecer. Padahal bila dari agen harga eceran tertingginya Rp 16.500/3 kg.

Kesulitan lain dialami warga desa Aji Kuning, Sebatik adalah kebutuhan air.

Untuk kebutuhan 3 hari digunakan 7 orang, ia harus merogoh kocek Rp 70 ribu/tangki.

"Air ini menunggu hujan, kalau tidak ada hujan terpaksa beli air tangki," ucapnya.

Keunikan dari kebiasaan warga Sebatik yakni lebih senang menggunakan ringgit dibanding mengunakan mata uang rupiah.

Menurutnya nilai tukar ringgit lebih tinggi dibandingkan rupiah.

"Jelas lebih untung pegang uang ringgit, kalau ditukarkan uang rupiah jadi lebih banyak dan kalau beli sembako lebih baik pakai uang ringgit, " katanya.

Beda kisah dengan Abdul Hamid menyambut kedatangan Menteri Pembangunan Desa, Desa Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo.

Dalam kesempatan itu, pria berusia 80-an itu menyerahkan sebidang tanah 20 x 25 meter untuk kepentingan warga setempat.

Sebidang tanah itu dihibahkannya untuk pembangunan gudang pengolahan kakao.

"Ini untuk kepentingan warga disni (Sebatik), karena biar warga disini ada pekerjaan," ucapnya. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved