Pengungsi Rohingya ke Banglades
Beginilah 4 Kesaksian Wartawan BBC Terhadap Etnis Rohingya, Desa-desa Dibumihanguskan
Dari pemberitaan terakhir sebanyak 313.000 orang dari warga etnis minoritas Rohingya di Rakhine, Myanmar telah melarikan diri ke Banglades
TRIBUNKALTIM.CO - Krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar, terhadap muslim Rohingya masih terus terjadi.
Bahkan, aksi keji dilakukan oleh tentara Myanmar, guna mengusir kaum minoritas tersebut.
Berbagai lini masa pun mengecam keras aksi keji di Myanmar tersebut. Mulai dari gerakan mahasiswa, tokoh masyarakat, tokoh kenegaraan, hingga tokoh dunia menyuarakan aspirasinya.
Dari pemberitaan terakhir sebanyak 313.000 orang dari warga etnis minoritas Rohingya di Rakhine, Myanmar telah melarikan diri ke Banglades.
Dilansir dari BBC.com, seorang wartawan BBC untuk Asia Tenggara, Jonathan Head memberikan kesaksiaannya saat menelusuri sebuah desa di negara bagian Rakhine.
Baca: PM Hasina Wajed Minta Myanmar Ambil Lagi Warga Rohingya yang Lari ke Perbatasan Banglades
Selama dua minggu terakhir, lebih dari 300 ribu orang dari distrik Maungdaw, Buthidaung dan Rathedaung yang mengungsi ke Bangladesh. Tiga distrik itu adalah wilayah terakhir di Myanmar dengan populasi Rohingya yang belum terusir ke kamp-kamp pengungsian.
Daerah-daerah ini sulit dijangkau. Jalannya buruk, dan siapa pun yang mau ke sana harus meminta izin khusus, yang jarang diperoleh wartawan.

Jonathan Head langsung mengambil kesempatan untuk bergabung dalam perjalanan kunjungan yang diselenggarakan oleh pemerintah ke Maungdaw, yang dijatah untuk 18 wartawan lokal dan asing.
Perjalanan ini akan berarti jika bisa melihat tempat dan menemui orang-orang di lapangan. Meskpun ada pembatasan, setidaknya ada wawasan yang akan didapatkan.
Setibanya di Sittwe, ibu kota negara bagian Rakhine, para wartawan diberi instruksi. Tidak ada yang boleh meninggalkan kelompok atau mencoba bekerja secara mandiri.
Baca: Ayatollah Ali Khamenei Sebut Suu Kyi Wanita yang Kejam dan Setuju Penyiksaan Etnis Rohingya
Mulai pukul 6 sore, sudah diberlakukan jam malam, sehingga tidak ada yang boleh berkeliaran setelah gelap dengan alasan apapun demi keamanan dan keselamatan.
Perjalanan panjang dan sulit ditempuh oleh Jonathan bersama rekan-rekannya. Dari Sittwe menuju Buthidaung memakan waktu enam jam melalui jalur kali dan sungai di atas perahu yang penuh sesak.
Dilanjutkan perjalanan selama satu jam di jalur sulit menuju Bukit Mayu ke Maungdaw. Perjalanan menuju kota itu terlihat pemandangan yang tak elok.
Para wartawan melewati desa terbakar pertama bernama Myo Thu Gyi, bahkan pohon-pohon palem pun ikut hangus.
Berdasarkan penjelasan Jonathan Head yang dikutip dari BBC.com, tujuan pemerintah membawa wartawan ialah untuk menyeimbangkan rumor yang beredar mengenai warga etnis Rohingya.
Baca: Myanmar Kecam Klaim UNHCR Bahwa Mereka Lakukan Pembersihan Etnis Minuritas Muslim Rohingya
"Tujuan pemerintah membawa kami adalah untuk menyeimbangkan narasi yang sangat negatif yang bersumber dari pengungsi Rohingya yang tiba di Bangladesh, yang hampir semua berbicara mengenai sebuah rencana penghancuran yang disengaja oleh militer Myanmar dan kelompok massa Rakhine, dan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan", tulis Jonathan Head di laman BBC.com, Rabu (13/9/2017).
Yang mencengangkan adalah wartawan BBC untuk Asia Tenggara ini mendapati fakta menarik dari kunjungannya di Myanmar.
1. Di sekolah kecil di Maungdaw
Di sekolah itu para wartawan didampingi polisi bersenjata dan beberapa pejabat. Bisakah orang-orang di situ berbicara secara bebas?
Di sekolah itu juga ditempati oleh keluarga Hindu yang mengungsi. Mereka semua memiliki cerita yang sama untuk diceritakan yaitu serangan orang-orang Muslim, atau melarikan diri dari ketakutan.
Seorang perempuan dengan blus berenda oranye dan longyi (kain tradisional Burma) berwarna abu-abu dan ungu muda yang ketara, sangat bersemangat menceritakan kekerasan yang dilakukan orang-orang Muslim.

Kemudian para wartawan dibawa ke sebuah kuil Buddha, tempat seorang biksu menggambarkan orang-orang Muslim membakar rumah mereka sendiri, di dekat tempat itu. Kemudian memberi foto-foto yang menggambarkan mereka tertangkap basah melakukan aksi itiu. Semuanya tampak aneh.
Di foto itu tampak sejumlah pria dengan topi haji putih berpose saat mereka membakar atap rumah yang terbuat dari rumbia. Beberapa perempuan mengenakan sesuatu yang tampak seperti taplak meja berenda di atas kepala mereka melambaikan pedang dan parang dengan melodramatis.
Baca: Pengungsi Rohingya Yang Melarikan Diri ke Banglades Capai 313.000 Orang
Kemudian Jonathan menyadari bahwa salah satu perempuan itu sebenarnya adalah perempuan Hindu dari sekolah sekolah kecil di Maungdaw yang tampak bersemangat, dan ia pun melihat bahwa salah satu dari pria yang tampak di foto itu juga ada di antara orang-orang Hindu yang mengungsi.

Mereka membuat foto-foto palsu agar terlihat seolah-olah kelompok Muslimlah yang melakukan pembakaran.
2. Takut dengan Pemerintah
Pewarta berkesempatan temu wicara dengan Kolonel Phone Tint, pejabat keamanan perbatasan setempat.
Dia menggambarkan bagaimana teroris Bengali, demikian mereka menyebut kaum militan Tentara Penyelamatan Rohingya Arakan (Arakan Rohingya Salvation Army, ARSA) telah menguasai desa-desa Rohingya, dan memaksa mereka untuk menyediakan satu orang per rumah tangga sebagai militan.
Yang tak mematuhi, rumahnya akan dibakar, katanya. Dia menuduh militan ARSA menanam ranjau darat dan menghancurkan tiga jembatan.
Menanggapi sebuah pertanyaan tentang kekejaman militer, dia menepiskannya. "Mana buktinya?" tanyanya.
"Lihatlah perempuan-perempuan itu," yang dimaksudnya adalah perempuan pengungsi Rohingya: "siapa yang membuat klaim ini - siapa memangnya yang mau memperkosa mereka?"

Namun, pewarta ini bisa lebih gesit. Saat bisa lolos dari para petugas yang menguntit, mereka berhasil berbicara dengan beberapa orang yang mengatakan betapa beratnya hidup mereka:
tidak diizinkan meninggalkan lingkungan mereka oleh pasukan keamanan, betapa mereka kekurangan pangan, dan betapa mereka dicekam ketakutan.
Seorang pemuda mengatakan bahwa mereka ingin melarikan diri ke Bangladesh, namun para pemimpin mereka telah menandatangani sebuah kesepakatan dengan pihak berwenang untuk tetap tinggal.

Di pasar Bengali yang sekarang sepi, Jonathan bertanya kepada seorang pria apa yang dia takutkan. Pemerintah, katanya.
3. Desa-desa Dibumi-hanguskan
Tujuan utama perjalanan Jonathan dan rekan wartawan di luar Maungdaw adalah kota pesisir Alel Than Kyaw. Yakni sebuah kota yang diserang oleh militan ARSA pada 25 Agustus dini hari.
Saat mereka mendekati kota itu melalui desa demi desa, semuanya benar-benar kosong. Hanya ada kapal-kapal yang ditinggalkan, kambing dan sapi. Tidak ada orang.
Alel Than Kyaw telah rata dengan tanah. Bahkan sebuah klinik, dengan plang yang menunjukkan bahwa klinik itu dikelola oleh badan amal Medecins Sans Frontieres (Dokter Lintas Batas), telah hancur.

Yang tak masuk akal adalah dua minggu setelah serangan tersebut, di musim hujan pula sebagian kota masih terbakar. Letnan Polisi Aung Kyaw Moe sulit menjelaskan hal tersebut.
Mungkin sejumlah Muslim tetap tinggal, dan kemudian membakar rumah mereka sebelum pergi baru-baru ini, jawabnya kurang meyakinkan.
4. Kejadian tak Terduga Terjadi
Dalam perjalanan pulang dari Alel Than Kyaw, sesuatu yang sama sekali tidak direncanakan terjadi.
Di sebuah desa yang letaknya tepat di pinggir jalan, asap hitam membumbung dari balik pepohonan, di tepi sawah. Kebakaran itu baru saja dimulai.
Jonathan dan rekan-rekannya berteriak kepada polisi pengawal untuk menghentikan mobil dan langsung berlari menuju desa itu.
Pengawas kebingungan dan menyatakan tidak aman masuk ke desa, tetapi Jonthan dan rekan-rekannya tak peduli dan pergi mendahului mereka.
Terdengar suara benda terbakar dan gemeretak di mana-mana. Pakaian perempuan, yang jelas-jelas Muslim, bertebaran di jalan berlumpur.
Ada pemuda-pemuda berbadan kekar, memegang pedang dan parang, berdiri di jalan setapak, bingung melihat 18 wartawan berkeringat bergegas menuju mereka.
Mereka mencoba menghindar dari kamera, dan dua dari mereka berlari memasuki desa, menginstruksikan orang-orang trakhir mereka untuk segera keluar dengan tergesa-gesa.
Salah satu rekan Jonathan berhasil melakukan percakapan singkat. Betapa terkejut mendengar pengakuan pemuda tersebut.
Mereka mengaku bahwa mereka adalah kelompok Buddha Rakhine.

Saat pewarta masuk, jelas terlihat atap sebuah madrasah yang baru saja dibakar. Buku sekolah dengan aksara Arab dikeluarkan. Jeriken plastik kosong, berbau bensin, tertinggal di jalan setapak.
Desa itu bernama Gawdu Thar Ya. Itu adalah desa Muslim. Tidak ada tanda-tanda penghuninya. Pemuda-pemuda Rakhine yang telah membakar desa itu bergegas keluar, melewati para polisi yang mengawal Jonathan dan rekan-rekannya, beberapa membawa barang-barang rumah tangga yang telah dijarah.
Pembakaran itu terjadi di dekat sejumlah barak polisi yang besar. Tidak ada yang melakukan tindakan apa pun untuk menghentikan semua itu.
Tentu saja kesaksian Jonathan ini merupakan sebuah bukti bahwa krisis kemanusiaan terhadap warga etnis Rohingya benar-benar mengerikan.(*)