Lolos dari Maut di Lubang Buaya, Begini Kisah Sukitman, Polisi yang Sempat Ditawan saat G30S PKI

Begitu dari Cawang belok ke kanan, Sukitman mulai kehilangan orientasi. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya.

Editor: Amalia Husnul A
Intisari
Sukitman 

TRIBUNKALTIM.CO - Peristiwa kekejaman G30S/PKI meninggalkan coretan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia.

Seorang saksi sejarah peristiwa itu mengungkapkan pengalamannya kepada wartawan Intisari LR Supriyapto Yahya dan Anglingsari Saptono, ketika ia hampir ikut menjadi korban.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1992, dengan judul asli Yang Lolos dari Lubang Buaya.

--

Malam baru saja lewat, sementara  matahari pagi pun belum terjaga dari peraduannya, karena waktu itu memang baru pukul 03.00.

Tanggal terakhir pada bulan September baru berganti dengan tanggal 1 Oktober 1965. Jakarta dan penduduknya masih terhanyut dalam sepenggal mimpinya.

Baca: VIDEO - Merinding, Kesan Magis di Stadion Batakan saat Laga Persiba Balikpapan Vs Semen Padang FC

Baca: Cantik dan Body Keren, Ini Sheryltha Pratyscha, Puteri Jatim yang Jadi Miss Cosmopolitan World 2017

Namun, Sukitman (49) yang waktu itu berpangkat Agen Polisi Dua tidak ikut terhanyut dalam buaian mimpi.

la harus menjalankan tugasnya di Seksi Vm Kebayoran Baru (sekarang Kores 704) yang berlokasi di Wisma AURI di Jl. Iskandarsyah, Jakarta, bersama Sutarso yang berpangkat sama.

 “Angkat tangan”

"Waktu itu polisi naik sepeda. Sedangkan untuk melakukan patroli, kadang-kadang kami cukup dengan berjalan kaki saja, karena radius yang harus dikuasai adalah sekitar 200 m,” katanya mengengang masa awal tugasnya.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh bunyi rentetan tembakan, yang rasanya tidak jauh dari posnya.

Karena tembakan itu berasal dari bawah dan dekat situ ada Gedung MABAK yang tinggi, suara tembakan itu memantul.

Rasa tanggung jawab membuat Sukitman bergegas mengendarai sepedanya dengan cara melawan arah mencari sumber tembakan itu.

Baca: Duh, Mobil Putra Sulung Risma Kembali Dibobol Maling saat Isi Bensin

Baca: Gagal Tundukkan Bali United, Maung Bandung Pilih Fokus ke Hal Ini

Sementara rekannya tetap melakukan tugas jaga. Dalam benak pemuda yang terlintas mungkin terjadi perampokan.

Ternyata suara itu berasal dari rumah Jenderal D.I. Panjaitan yang terletak di Jln. Sultan Hasanudin. Di situ sudah banyak pasukan bergerombol.

Belum sempat tahu apa yang terjadi di situ, tiba-tiba ia dikejutkan oleh teriakan tentara berseragam loreng dan berbaret merah yang berusaha mencegatnya.

"Turun! Lempar senjata dan angkat tangan!"

Sukitman, yang waktu itu baru berusia 22 tahun, kaget dan lemas. la segera melakukan apa yang diperintahkan tanpa bisa menolak.

Di bawah ancaman senjata di kiri-kanan, Sukitman kemudian diseret dan dilemparkan ke dalam truk dalam keadaan tangan terikat dan mata tertutup.

"Tapi saya tetap masih belum bisa menduga apa yang terjadi," katanya mengenang peristiwa menakutkan itu.

Baca: Ribuan Pelamar CPNS Antre Verifikasi Berkas, BKD Pastikan Semua Berkas Diakomodir

Baca: Stadion Batakan Gemuruh, Gol Lopicik Menangkan Persiba Atas Semen Padang

Menurut perasaannya, dalam truk itu Sukitman ditempatkan di samping sopir.

Dengan mengandalkan daya ingatannya, Sukitman berusaha mencari tahu ke mana ia akan dibawa.

Begitu dari Cawang belok ke kanan, Sukitman mulai kehilangan orientasi. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya.

"Pokoknya, saya pasrah kepada Tuhan sambil berdoa," katanya.

 Saksi pembantaian

Entah di mana, akhirnya kendaraan yang membawa Sukitman berhenti. Ia segera diturunkan dan tutup matanya dibuka.

Baca: Chief Medical Officer Aragon Ungkap Kondisi Terkini Valentino Rossi

Baca: Ribuan Pelamar Antre sejak Subuh di Kantor BKD, Hasilnya Ternyata

"Tentu saja saya jalangjang-jalongjong, karena dari keadaan gelap saya langsung dihadapkan kepada terang."

Pada waktu itulah ia mendengar orang bicara, "Yani wis dipateni."

Tak lama kemudian seorang tentara yang menghampiri Sukitman dan tahu bahwa sanderanya itu seorang polisi, segera menyeret Sukitman ke dalam tenda.

Tentara tersebut segera melapor kepada atasannya, "Pengawal Jenderal Panjaitan ditawan."

Meskipun waktu itu masih remang-remang, di dalam tenda Sukitman sempat mengamati keadaan sekelilingnya.

Ia melihat orang yang telentang mandi darah, ada juga yang duduk di kursi sambil bersimbah darah segar.

Seseorang memerintahkan si tentara tadi, yang kemudian diketahui namanya Lettu Dul Arief, agar Sukitman ditawan di depan rumah.

Begitu hari terang, dari jarak sekitar 10 m Sukitman bisa melihat dengan jelas sekelompok orang mengerumuni sebuah sumur sambil berteriak, "Ganyang kabir, ganyang kabir!"

Baca: Penari Kuda Lumping Ini Rela Dibayar Rp 35 Ribu demi Melestarikan Budaya dan Dakwah

Baca: Peringati Tahun Baru Islam, 12.000 Pegawai Pajak Kompak Bertilawah

Ke dalam sumur itu dimasukkan tubuh manusia - entah dari mana – yang langsung disusul oleh berondongan peluru.

Baca: Inilah Beberapa Peristiwa Tak Terduga yang Terjadi Saat Pencarian Jasad Rimba

Baca: Menang Tipis 1-0 atas Semen Padang FC, Persiba Tetap di Zona Degradasi

Sukitman sempat melihat seorang tawanan dalam keadaan masih hidup dengan pangkat bintang dua di pundaknya, mampir sejenak di tempatnya ditawan.

"Setelah tutup matanya dibuka dan ikatannya dibebaskan, di bawah todongan senjata, sandera itu dipaksa untuk menandatangani sesuatu.

Tapi, kelihatannya ia menolak dan memberontak. Orang itu diikat kembali, matanya ditutup lagi, dan diseret dan langsung dilemparkan ke dalam sumur yang dikelilingi manusia haus darah itu dalam posisi kepala di bawah," kenangnya.

Dengan perasaan tak keruan, Sukitman menyaksikan kekejaman demi kekejaman berlangsung di depan matanya, sampai ketika orang-orang buas itu mengangkuti sampah untuk menutupi sumur tempat memendam para korbannya.

Dengan cara itu diharapkan perbuatan kejam mereka sulit dilacak. Di atas sumur itu kemudian ditancapkan pohon pisang.

Baca: KPU Kaltim Mulai Rekrut PPK dan PPS, Simak Jadwalnya

Baca: Enam Pemain Ini Disebut Titisan Lionel Messi, Tiga Diantaranya Malah Tak Bersinar

"Setiap habis memberondongkan pelurunya, jika akan membersihkan senjatanya, para pembunuh yang menamakan  dirinya sukarelawan dan sukarelawati itu pasti melewati tempat saya ditawan," tambahnya.

Dengan demikian Sukitman bisa melihat dengan jelas siapa-siapa saja yang terlibat peristiwa yang meminta korban nyawa 7 Pahlawan Revolusi.

Ia pun sempat melihat Letkol Untung, yang mengepalai kejadiah kelam dalam sejarah militer di Indonesia itu.

Untung tertidur

Kemudian salah seorang anggota Cakrabirawa menghampiri Sukitman yang masih diliputi rasa takut.

"Kamu tidak usah takut. Kita sama-sama prajurit. Beli kaus singlet pun kita sudah tidak bisa.

Sementara para jenderal yang menamakan diri Dewan Jenderal, jam dinding di rumahnya saja terbuat dari emas dan mereka akan membunuh Presiden pada tanggal 5 Oktober.

Kamu 'kan tahu Cakrabirawa tugasnya adalah sebagai pengawal dan penjaga Presiden," kata Sukitman mengulangi apa yang diucapkan si anggota Cakra tersebut.

Waktu itulah Sukitman baru merasa agak tenang, meskipun ia masih tetap diawasi.

Baca: Perundingan Alot, Chelsea dan Atletico Madrid Akhirnya Sepakati Banderol Diego Costa

Baca: Gila, dengan Bangga Pria 65 Tahun Ini Pamer Istri yang Masih 12 Tahun di Depan Umum, Warga Protes

Ternyata anggota Cakra itu sudah di-drill, karena langsung berada di bawah komando Letkol Untung.

Sekitar satu dua jam kemudian melalui radio disiarkan, siapa yang mendukung G30S itu akan dinaikkan pangkatnya.

Satu tingkat untuk prajurit, sementara yang aktif akan memperoleh kenaikan dua tingkat.

Mendengar pengumuman itu semua yang merasa terlibat bersalam-salaman, karena merasa gerakan mereka sukses.

Setelah suasana agak tenang, Sukitman dipanggil oleh Lettu Dul Arief yang menanyakan di mana senjata Sukitman.

Sukitman menjelaskan apa yang terjadi ketika ia berada di daerah Kebayoran. Akhirnya senjata itu bisa ditemukan, walaupun dalam keadaan patah.

Mengira Sukitman bukan musuh, bahkan teman senasib, Jumat sore itu Sukitman diajak menuju Halim bersama iring-iringan pasukan.

Sesampai di Gedung Penas (daerah Bypass, sekarang Jl. Jend. A. Yani) pasukan itu diturunkan di lapangan, sementara Sukitman masih bersama Dul Arief.

Pada malam harinya, entah mengapa, orang yang mengawasi tawanannya malah mengajak Sukitman untuk mengambil nasi.

"Ke mana?" tanya Sukitman.

Baca: VIDEO - Awalnya PD Tantang dan Ngamuk ke Penumpang, Pengamen Langsung Ciut Nyali saat Diginiin

Baca: VIDEO - Bocah Ini Pertahankan Jilbabnya Saat Diminta Dokter untuk Melepas, Ini Alasannya

"Ke Lubang Buaya, tempat para jenderal dibunuh," jawab Kopral Iskak, orang yang mengajaknya tersebut.

"Pada waktu itulah saya baru tahu bahwa yang dikatakan 'Ganyang kabir, ganyang kabir!' itu para jenderal," ungkap Sukitman.

Jalan yang diambil melewati Cililitan, Kramat Jati, Pasar Hek bukan sesuatu yang asing bagi Sukitman, karena dulu ia pernah mengikuti latihan di daerah itu.

Keadaan masyarakat masih tenang, karena belum menyadari apa yang terjadi. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Manusia-manusia haus darah itu masih diliputi suasana "kemenangan".

Selesai mengambil nasi mereka segera kembali ke Gedung Penas untuk membagikannya kepada para pasukan.

"Ketika kembali menuju Gedung Penas itu saya sempat turun untuk membeli rokok. Saya pikir mendingan saya terus pulang saja," kata Sukitman.

"Jangan," kata Kopral Iskak yang menjadi sopir. "Saya juga pulangnya ke Tanah Abang." Ternyata Iskak adalah sopir Letkol Untung, yang mengotaki pemberontakan berdarah ini.

Karena kelelahan, akhirnya Sukitman tertidur. Hari Sabtu pagi Sukitman mulai pasang mata lagi.

Hari itu semakin siang, anggota pasukan semakin banyak dan mereka sudah berganti pakaian.

"Rupanya mereka sudah mempersiapkan segalanya," komentar ayah tiga anak ini.

Baca: Driver Ojek Online Jadi Tersangka Pembunuh Perempuan di Apartemen

Baca: Panwaslu Kota Samarinda Rekrut 30 Orang Calon Panwascam

Dalam suasana yang kurang menguntungkan itu Sukitman masih sempat jajan untuk mengganjal perutnya. "Tapi kesempatan untuk melarikan diri sama sekali tidak mungkin."

Kira-kira pukul 14.00, karena merasa kepalanya pusing, Sukitman masuk ke kolong truk untuk berbaring.

la menggunakan helmnya untuk ganjal kepala, senjatanya yang patah pun ia simpan di dekatnya, sementara kepalanya yang pusing diikatnya dengan scarf yang sebelumnya digunakan oleh para pemberontak itu.

Rupanya Sukitman benar-benar jatuh tertidur. "Meskipun saya mendengar bunyi tembakan gencar, entah mengapa mata saya tidak mau diajak kompromi untuk melek," katanya.

Ketika terbangun sore harinya, sekitar pukul 16.00, ia mendapati dirinya hanya sendirian di situ.

Sementara anggota pasukan yang demikian banyak siang itu, tak satu pun kelihatan batang hidungnya, sedangkan truk masih berjejer.

Sukitman menganggap hal itu suatu keberuntungan dan juga lindungan Tuhan.

Baca: Begini Jawaban Generasi Milenial Mengenai Film G30S PKI

Baca: Ini Tempat Nonton Bareng Film G30SPKI di Balikpapan

Menghadap Mayjen Soeharto

Tiba-tiba datanglah pasukan tentara yang kemudian diketahui sedang mencari jejak anggota yang terlibat G30S/PKI. Pasukan itu mengenakan tanda pita putih.

"Prinsip saya, kalau pakai pita putih itu PMI. Jadi tidak mungkin menangkap tawanan dan dibunuh."

Karena tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya, Sukitman pun diperiksa.

Begitu pasukan itu tahu bahwa yang diperiksa seorang polisi, mereka pun kaget.

"Tanpa banyak tanya saya segera diberi pita putih dan langsung dibawa ke markas Cakrabirawa yang terletak di belakang Istana Negara, yang sekarang menjadi Gedung Binagraha."

Saat itulah ia menjelaskan segamblang-gamblangnya apa yang dialaminya dan kemudian dibuatkan proses verbal.

Baca: Ryamizard: Film G30S/PKI Sesuai Kenyataan, Tak Apa-apa Diputar, Pelajaran Bagi Kita Semua

Baca: Berpikir Positif, Christine Hakim Dukung Ide Jokowi Bikin Film G30S PKI Versi Kekinian

Hal itu baru selesai pukul 03.00. Setelah selesai, segeralah hal itu disebarkan ke berbagai pihak yang dianggap perlu mengetahuinya.

Minggu pagi Sukitman dijemput dan segera dihadapkan kepada Pangdam V Jaya yang waktu itu dijabat oleh Mayjen Umar Wirahadikusumah.

Kemudian Sukitman dibawa oleh Mayor Mubardi, ajudan Jenderal A. Yani, ke Jl. Lembang, Jl. Saharjo, dan ke Cijantung.

Di sana Sukitman menghadap Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Sementara laporan Sukitman pun sudah ada di sana.

Bersama pasukan RPKAD Sukitman segera menuju ke lokasi pembantaian.

"Dari Pasar Hek kami harus jalan kaki dan langsung menyebar," kenangnya.

Di lokasi pasukan pemberontak masih banyak berkeliaran. Mereka segera diberi ultimatum, jika tidak menyerah akan segera dihancurkan.

Akhirnya RPKAD dapat menguasai keadaan dan bisa menemukan sumur yang digunakan untuk menyembunyikan jenazah para Pahlawan Revolusi itu.

Baca: Tak Perlu Ada Sinisme, Romahurmuziy Setuju Film G30S/PKI Disempurnakan

Baca: Kodim Ajak Nonton Film G30S/PKI di Tugu Dwi Kora

Sejak hari Minggu, pukul 22.00, Sukitman sudah diambil lagi dan berada di bawah pengawasan Sarwo Edhie.

Sukitman dilarang untuk berbicara apa pun kepada orang lain.

"Karena kelelahan saya tertidur dan tidak tahu dibawa ke mana. Tahu-tahu saya sudah sampai di Jl. Merdeka Timur, melapor, dan menghadap Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.

Kemudian saya dibawa kembali ke Cijantung," kenang Sukitman.

Hari Senin jenazah para Pahlawan Revolusi berhasil diangkat dari sumur dan segera dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (kini RS Gatot Subroto).

Ternyata tugas Sukitman masih belum selesai sampai di situ, ia dijemput lagi oleh pasukan dari Kodam.

Namun, atas perintah Pangdam V Jaya ia diambil lagi dari Cijantung.

Kemudian ia masih harus dibawa ke Kodam, Jl. Guntur, untuk diperiksa, setelah itu ke markas Cakra.

Baru pada hari Rabu Sukitman dikembalikan.

Tentu saja rekan Sukitman serasa mimpi melihat temannya kembali tanpa kurang suatu apa pun, meskipun sepedanya penuh darah.

Sejarah kadang memang sulit diduga. Sukitman yang sedang menjalankan tugasnya ternyata terseret ke dalam peristiwa besar di republik ini.

Baca: Jokowi Ingin Ada Film G30SPKI Versi Kekinian

Baca: Siapa Sosok Dibalik Penghentian Tayang Film G30S/PKI? Netizen Tanya ke Akun Twitter TNI AU

Maka jadilah ia seorang saksi sejarah.

Tentu saja Sukitman menerima penghargaan berupa kenaikan pangkat menjadi Agen Polisi Satu.

Bintang Satria Tamtama diperolehnya bertepatan dengan Hari Kepolisian, 1 Juli 1966, dan Bintang Satya Penegak diberikan oleh Presiden Soeharto, tepat pada Hari ABRI, 5 Oktober 1966.

Setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober, di Lubang Buaya, Sukitman merupakan salah satu undangan yang tak terlupakan.

Hal ini sangat membanggakan hatinya, karena ia merasa dihargai oleh pemerintah.

Sukitman, yang kini berpangkat kapten, tidak pernah menganggap dirinya sangat berjasa.

Ia lebih mensyukuri rahmat Tuhan yang dilimpahkan pada dirinya, karena bisa terhindar dari renggutan maut 27 tahun yang lalu. (*)

Sumber: Intisari
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved