Mahfud Sebut Putusan MK Kuatkan KPK untuk Tersangkakan Kembali Setya Novanto
"Jadi MK itu benar, memang harus begitu logikanya. Saya kira itu bukan hanya logika MK, itu logika ilmu hukum biasa.
TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait alat bukti untuk menjerat tersangka sudah tepat.
Hal ini disampaikan Mahfud menanggapi putusan nomor perkara 42/PUU-XV/2017.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, penyidik aparat penegak hukum bisa menggunakan alat bukti yang telah dipakai pada perkara sebelumnya untuk menjerat tersangka yang memenangkan praperadilan.
Namun, bukti tersebut harus disempurnakan.
"Jadi MK itu benar, memang harus begitu logikanya. Saya kira itu bukan hanya logika MK, itu logika ilmu hukum biasa. Kalau hakimnya benar pasti mengatakan begitu," kata Mahfud saat dihubungi, Rabu (11/10/2017).
Hal ini juga disampaikan Mahfud menanggapi Putusan Hakim Pengadilan Jakarta Selatan yang menangani Praperadilan Setya Novanto, Cepi Iskandar.
Dalam putusannya, Cepi menilai, alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 (Perma).
Menurut Mahfud, logika yang digunakan Cepi tidak tepat.

"Tidak masuk akal kalau alat bukti pada perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk orang lain. Itu kan tidak masuk akal kalau pidananya kolektif bagaimana?" kata Mahfud.
"Justru alat bukti sebelumnya yang sudah sah di pengadilan itu menjadi alat bukti bagi penyerta berikutnya. Kalau kolektif korupsinya 10 orang gitu satu sudah divonis dengan alat bukti A, maka alat bukti A terus berlaku bagi yang lain," tambah Mahfud.
Mahfud berpendapat, Perma memang menyebutkan bahwa alat bukti yang sudah dipakai tidak bisa digunakan kembali.
Namun, menurut Mahfud, bukan berarti alat bukti tersebut tidak bisa dipakai lagi untuk menjerat tersangka lain yang masih berkaitan dengan kasusnya.
Menurut Mahfud, aparat penegak hukum masih bisa menggunakan cara lainnya, yakni dengan membuat berita acara yang berbeda.
"Alat buktinya sama, tapi berita acaranya beda. Mungkin itu akan bisa dipahami kalau gitu," kata dia.
Dengan adanya putusan MK, Mahfud menilai, upaya KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka tidak menyalahi aturan.
"Menjadikan Setya tersangka lagi, ada atau enggak ada putusan MK itu memang menurut saya bisa (dilakukan). Apalagi sekarang ada putusan MK, itu akan makin kuat," kata dia.
Pertimbangan Hakim Cepi
Hakim Cepi Iskandar mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.
Hakim menyatakan, penetapan tersangka Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah. KPK pun diminta untuk menghentikan penyidikan terhadap Novanto.
Putusan tersebut dibacakan Hakim Cepi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2017) sore.

Ada sejumlah pertimbangan yang mendasari Hakim Cepi membuat putusan tersebut. Pertama, Cepi menilai penetapan tersangka Novanto oleh KPK sudah dilakukan di awal penyidikan.
Padahal, menurut Hakim, harusnya penetapan tersangka dilakukan di akhir tahap penyidikan suatu perkara. Hal itu harus dilakukan untuk menjaga harkat dan martabat seseorang.
"Menimbang bahwa dari hal-hal tersebut, hakim berpendapat bahwa proses penetapan tersangka di akhir penyidikan, maka hak-hak tersangka bisa dilindungi," ucap Cepi.
Selain itu, Cepi juga mempermasalahkan alat bukti yang digunakan KPK. Hakim menilai alat bukti yang diajukan berasal dari penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis bersalah melakukan korupsi E-KTP.
Hakim menilai, alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya.
"Menimbang setelah diperiksa bukti-bukti merupakan hasil pengembangan dari perkara orang lain, yaitu Irman dan Sugiharto," ucap Cepi.
Menanggapi putusan hakim, Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menyatakan bahwa pihaknya bisa menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru untuk mengusut kembali Setya Novanto.
"Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 yang mana di dalam aturan itu, bahwa apabila dalam penetapan tersangka itu dibatalkan, penyidik dibenarkan untuk mengeluarkan surat perintah baru," kata Setiadi usai sidang putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2017).
Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu. Ia lalu mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada 4 September 2017.
Gugatan terdaftar dalam nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel. Novanto keberatan atas status tersangka dari KPK. Ketua Umum Partai Golkar ini diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP. (Kompas.com)
Novanto sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.
Selain itu, Novanto diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
Pihak Novanto sebelumnya meminta KPK mengentikan sementara penyidikan hingga ada putusan praperadilan. Novanto dua kali tak memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai tersangka lantaran dirawat di rumah sakit. (*)