Tak Kuasa Dilibas Zaman Satu per Satu Peritel Hengkang, Bagaimana Mal Bisa Bertahan?
Tak hanya di Indonesia, negara adikuasa macam Amerika Serikat tak luput dari fenomena sepinya pusat perbelanjaan.
Jika tidak, senja kala bukanlah isapan jempol.
Layaknya teori Darwin, dibutuhkan cara baru untuk bertahan dan mengisi ruang ritel di Amerika Serikat.
Ada dua tantangan yang saat ini mencuat. Pertama, peritel berusaha mempertahankan merek mereka agar tetap eksis. Kedua, peritel mulai mengurangi ketergantungan mereka terhadap toko fisik.

Ilustrasi mal
Sejumlah peritel telah mengajukan proses bangkrut pada tahun ini. Sebut saja, Toys R Us dan Charming Charlie.
Selain itu, merek seperti Nike dan Michael Kors mulai melepaskan diri dari konsep department store.
Pada bulan Oktober, Chief Executive Officer Nike Mark Parker mengumumkan, dari 30.000 mitra ritel di seluruh dunia, Nike kini hanya akan berfokus pada 40 “mitra grosir strategis”.
Berubah haluan
Dewasa ini, pemilik mal mulai menyadari mereka terlalu bergantung pada gerai pakaian.
Menurut Louis Conforti, Chief Executive operator mal Washington Prime, lebih dari 40 persen peritel di pusat belanjanya menjual fesyen dan aksesori.
Operator mal, lanjut dia, mulai agresif dalam menyajikan lebih banyak gerai makanan dan minuman.
Selain itu, gerai perabotan rumah tangga juga mulai mendapat perhatian spesial.
Upaya lain menolak senja kala mal dilakukan dengan menggelar acara seperti pergelaran busana (fashion show).

"Kami (pengelola mal) perlu membuat instalasi area umum yang menguntungkan peritel. Banyak pengunjung tentunya semakin baik. Gagasan bahwa area umum mendegradasi toko sudah berakhir,” papar Conforti, seperti dilansir The Guardian, Sabtu (16/12/2017).
Bagian lain dari revolusi mal adalah menggandeng situs belanja daring (e-commerce). Contohnya, Amazon.
Sebagai raksasa belanja daring yang mulai mengembangkan toko fisik sendiri, operator mal optimistis kemitraan dengan Amazon bersifat menguntungkan.