Berita Video
Video Bayi Lahir di Atas Speedboat Saat Menyeberangi Perairan Kalimantan, Dramatis!
tempat ini memang jauh dari berbagai akses, tak ada fasilitas listrik PLN, transportasi darat, jaringan telepon dan internet, dll.
Penulis: Syaiful Syafar | Editor: Syaiful Syafar
Tak hanya soal kematian dan kelahiran, warga di kampung Pegat Batumbuk bertahun-tahun juga merasakan krisis air bersih dan listrik.
"Untuk mendapatkan air bersih, masyarakat harus berebut pada saat musim penghujan. Kalau kemarau tiba, masyarakat terpaksa mengambil air di gunung Padai yang terletak di Desa Pelinjau, juga menggunakan transportasi air jenis Ketinting, menyusuri sungai dan hutan mangrove dengan jarak tempuh 1-2 jam," beber Achmad Fachri.
Bahkan pernah satu waktu, warga harus merogoh kocek Rp 10.000 untuk mendapatkan 20 liter air bersih dari gunung Padai.
Meski ekonomi sulit, mereka tetap membelinya demi bertahan hidup.
Pun demikian halnya dengan persoalan listrik. Selama puluhan tahun warga di kampung ini merasakan hidup gelap gulita.
Barulah beberapa tahun terakhir, masalah ini terpecahkan.
Kini warga sudah bisa merasakan listrik dari pukul 18.00 - 01.00 dini hari.
Listrik ini bersumber dari genset yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Tiap bulan warga mengumpulkan iuran yang disetor ke BUMDes untuk mengongkosi bahan bakar dan operasional listrik.
Setidaknya lewat gagasan ini, warga sedikit bernafas lega melihat rumah-rumahnya terang benderang di malam hari.
Terisolir karena Dikepung Air
Secara geografi, kampung Pegat Batumbuk terletak pada 1170 48' 26,85" sampai 117049' 53,1" BT dan antara 20 6' 40,62" sampai 2 5' 50,91" LU.
Kampung ini memiliki luas wilayah 547,18 kilometer persegi.
Berjarak lebih dari 20 km dari ibu kota kecamatan, dan sekitar 35 km dari Tanjung Redeb ibu kota Kabupaten Berau.
Kampung ini merupakan kawasan pantai yang terdiri dari tiga belas gugusan delta di Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau.
Saat ini tercatat ada 236 Kepala Keluarga (KK) dan 858 jiwa yang menghuni kampung ini.
Semua warga mendirikan rumah di atas air karena di kampung ini tidak ditemukan daratan.
Pada awalnya warga Pegat mayoritas pendatang dari daerah luar Kabupaten Berau di antaranya dari Sulawesi (suku Bugis) dan Nusa Tengara Timur (suku Sasak).
Akses menuju kampung Pegat Batumbuk hanya dapat dilalui melaui jalur transportasi air sungai dari kota Tanjung Redeb.
Berdasarkan cerita masyarakat kampung Pegat Batumbuk, untuk mencapai kota Tanjung Redeb menggunakan perahu mereka membutuhkan biaya sekitar Rp 400.000 pulang-pergi, untuk biaya bahan bakar.
Namun di balik segala kekurangan itu, Pegat Batumbuk adalah 'surga' bagi para nelayan.
Kekayaan perairan muara membuat warga di sini bisa bertahan hidup.
Mereka bahkan sukses membuat produksi unggulan, salah satunya berupa terasi.

Terasi hasil olahan kampung Pegat Batumbuk sudah dikenal miliki rasa yang sangat enak.
Bahan bakunya udang segar. Warga Pegat Batumbuk menyebutnya dengan istilah udang Bapay.
Produksi terasi ini telah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu.
Karena sudah merupakan kegiatan produksi secara turun temurun, maka kegiatan pembuatan terasi sudah merupakan keterampilan umum masyarakat kampung Pegat Batumbuk.
Permasalahan yang dihadapi terkait produk unggulan ini adalah jaringan pemasaran yang masih terbatas, yaitu sebagian besar masih dipasarkan di Tanjung Redeb. (*)