KPUD Nilai Anggaran Telat juga Bagian Kerawanan dalam Pilgub Kaltim

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilgub yang akan diselenggarakan serentak di 17 provinsi.

Editor: Adhinata Kusuma
zoom-inlihat foto KPUD Nilai Anggaran Telat juga Bagian Kerawanan dalam Pilgub Kaltim
Ilustrasi
Pilgub Kaltim

BALIKPAPAN, TRIBUN - Putaran Pilgub Kaltim 2018 terus berjalan. Di atas kertas, diprediksi ada empat pasang bakal calon dengan kekuatan partai pendukung yang hampir sama rata kekuatannya. Pertarungan sengit memperebutkan suara demi kursi KT 1 dan KT 2 diprediksi banyak pihak, turut menumbang tingkat kerawanan dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah lima tahunan ini.

Terbaru, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilgub yang akan diselenggarakan serentak di 17 provinsi. Dalam laporan, berupa skor akhir provinsi yang mencakup tiga dimensi yakni, penyelenggaraan, kontestasi dan partisipasi.

Sebagaimana Tribunkaltim kutip dalam laporan resmi itu, dari 17 provinsi, tiga provinsi memiliki tingkat kerawanan tinggi dengan skor (3,00-5,00), sedangkan 14 provinsi termasuk masuk di kategori kerawanan sedang, dengan prosentase rentang antara (2.00-2,99). Kaltim sendiri, masuk dalam kategori kerawanan sedang dengan skor (2.76).

Noor Thoha, Ketua KPU Balikpapan
Noor Thoha, Ketua KPU Balikpapan (TRIBUN KALTIM/SYAIFUL SYAFAR)

"Satu hal yang perlu dicermati adalah, tidak ada provinsi yang masuk kategori kerawanan rendah,"tulis laporan yang dirilis Januari 2018 ini.

Kerawanan itu, juga diwaspadai oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Balikpapan, Diutarakan Noor Thoha, Ketua KPUD Balikpapan, sebenaranya, hampir semua, tahapan dalam pemilu memiliki tingkat kerawanan. Semisal dari sisi keterlambatan pengucuran dana ke KPU Provinsi dan tingkat Kota/Kabupaten.

Baca: Ayah jadi Cagub, Ini Pendapat Putera-putera Sofyan Hasdam

Baca: Setelah Menggunakan Dana APBD Baru Tiga Parpol Serahkan LPJ

Baca: KPU Kaltim Bentuk Gerakan Coklit ‎Daftar Pemilih Pilgub 2018

"Kerawanan, ketika pemda terlambat mengucurkan anggaran, itu bagian dari kerawanan. Itu pasti kacau balau, tahapan tidak berjalan,"ujar Thoha ditemui di kantornya, Senin sore (15/1)
Kerawanan selanjutnya yakni persoalan, rekruitmen petugas adhoc PPK dan PPS yang disinyalir bagian atau anggota parpol. Ketiga, lanjut Thoha, soal pemutakhiran data pemilih yang tidak akurat yang bisa rawan penggelembungan dan manipulasi suara yang rentan konflik.

"Maka tahapan ini harus dikawal, masyarakat harus rajin mengontrol apakah sanak famili masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT,"lanjutnya.

Keempat, masa pencalonan pasangan Cagub dan Cawagub di tingkat KPU Provinsi, yang sejauh ini aman. Pun begitu, ada potensi kerawanan lain yakni soal verifikasi dokumen kelengkapan calon.

Kerawanan ke-lima yakni di masa kampanye, dimana akan ada banyak potensi kampanye hitam yang berbau fitnah. "Masa kampanye yang dilarang itu, black campaign/kampanye hitam,"jelasnya.

Kampanye hitam, lanjut Thoha, berbeda dengan Negative Campaigning/kampanye negatif yang mencoba mengungkap keburukan pasangan calon lain. "Itu (negative campaigning) ga masalah, itu dibolehkan, agar masyarakat tahu calon ini banyak keburukananya, kalau semua calon itu itu buruk, kita cari pasangan yang keburukan paling sedikit,"ucap Thoha.

Ilustrasi money politics.
Ilustrasi money politics. (ANTARA)

Ke-enam soal money politics/politik uang yang menurutnya menjadi sumber biang kerok segala macam korupsi. "Karena korupsi yang gede, berangkat dari money politic. Ketika (pasangan yang bertarung di) pilkada mengeluarkan uang banyak, maka tidak ada orang bodoh, ibaratnya mau maunya keluarkan uang puluhan miliar ternyata gajinya (sebagai kepala daerah) tidak nyampe. Itu kan orang pada akhirnya mau ga mau, suka ga suka haru di tutupi, itu potensi orang buat korup dalam pilkada ini karena menggunakan money politic,"paparnya.

Ke-tujuh, pengerahan masa besar-besaran saat pencoblosan, disusul dengan menggunakan hak pilih lebih dari satu kali dalam pilgub mendatang. Hal itu, kata Thoha, sangat dimungkinkan, semisal ada pemilih yang terdaftar di Kelurahan A mencoblos di Kelurahan B, karena data belum termutahirkan dengan baik.

"Bisa jadi, dia beretika jahat, dengan bawa KTP, dia (pemilih) coblos. Pengamanan di tinta tanda pencoblosan, makanya celup tinta harus sampai kuku kena,"katanya.

Para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). (TRIBUNKALTIM.CO/FACHMI RACHMAN)

Oleh karena itu, lanjut Thoha, mengapa petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) direkruit dari penduduk asli dekat lokasi pemilihan, agar segera bisa mengenali siapa-siapa penduduk sekitar yang memilih yang mencoblos bermodal KTP saja.

"Terutama orang (pencoblos) yang bawa KTP, harus diwaspadai, cek betul, siapa yang kenal orang ini. Kalau sampai terjadi pemilih dua kali, pemilihan bisa diulang. Itu kan berresiko, biaya tinggi dan tenaga banyak yang keluar,"jelasnya.

Terakhir, di tahap rekapitulasi suara tingkat Kabupaten/Kota. "Kalau disparitas (perbedaan/selisih) suara tinggi, aman. Kalau sedikit ini (yang bisa memicu kerawanan)," tandasnya. (m02)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved