Edisi Cetak Tribun Kaltim
Sumber Makanan di Laut Tercemar, Dugong dan Pesut Terancam Punah
Terlebih di perairan itu menjadi habitat dua mamalia laut yang dilindungi, yakni Dugong (Dugong Dugon) dan Lumba-lumba atau Pesut Irrawaddy.
Laporan wartawan Tribun Kaltim, Nalendro Priambodo
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Peneliti sekaligus Co-Founder Yayasan Rare Aquatic Spesies of Indonesia (RASI) Daniele Kreb mengkhawatirkan tumpahan minyak di perairan Teluk Balikpapan merusak biota laut dan rantai makanan di sana.
Terlebih di perairan itu menjadi habitat dua mamalia laut yang dilindungi, yakni Dugong (Dugong Dugon) dan Lumba-lumba atau Pesut Irrawaddy (Orcaella brevirostris).
Kekhawatiran Daniele makin menguat, selang beberapa hari usai tragedi Teluk Balikpapan, ia bersama beberapa peneliti RASI mengecek sejauh mana tumpahan minyak mentah itu menyebar di Teluk Balikpapan.
Hasilnya cukup mencengangkan, tumpahan minyak, yang salah satunya dipicu pasang surut air laut mencemari padang lamun di perairan Kariangau.
Baca: Tragedi Tumpahan Minyak di Balikpapan, Menteri Susi Ungkap Butuh Waktu 6 Bulan untuk Bersihkan
Lamun adalah tanaman yang hidup di laut dan tidak memiliki klorofil.
Lamun merupakan kompetitor bagi rumput laut, dan biasanya tumbuh di daerah dekat pantai.
Lamun inilah yang menjadi makanan Dugong.
"Kami sudah cek positif terpapar minyak. Itu berarti minyak tidak hanya dipermukaan, tapi menembus kolom air,"ujar Daniele dihubungi Sabtu (7/4/2018).
Baca: Ditemukan Ribuan Lubang Hitam di Pusat Galaksi Bima Sakti, Melahap Seluruh Planet di Sekitarnya
Kalau sudah begini, lanjut peneliti yang sudah puluhan tahun meneliti spesies akuitik langka di Teluk Balikpapan ini, mamalia laut yang sering disebut warga lokal dengan sebutan sapi laut ini, bakal mencari lamun di tempat lebih jauh, seperti di pulau dekat Jenebora, Penajam Paser Utara, yang diprediksi bisa terpapar juga.
"Saya rasa mereka tidak mau makan (lamun yang tercemar minyak), mereka (mamalia laut) cari makan di tempat lain, mereka akan melewati tempat kotor,"ujarnya.
Dibutuhkan penelitian dan penanganan cepat untuk mengatasi kerusakan padang lamun ini, guna menyelamatkan Dugong yang jumlahnya tinggal belasan ekor saja ini.
Baca: Demi Gajah Berbelalai Buntung, Chicco Jerikho Rela Marathon 42 Km!
"Dugong ini reproduksinya lambat, 7 tahun sekali baru melahirkan, itupun hanya satu ekor (sekali melahirkan,"ujarnya.
Sementara, matinya Pesut Irrawaddy (Orcaella brevirostris), sepekan lalu di Pantai Balikpapan yang diduga terpapar tumpahan minyak mentah, bisa jadi pelajaran.
Mamalia laut endemik Teluk Balikpapan yang oleh IUCN (The International Union for Conservation of Nature) dikategorikan endangered ini, populasinya tersisa 60-70 ekor.
Baca: Lembur Kerja sampai Begadang? Jangan Diteruskan, Fatal Akibatnya
Berkaca dari observasi langsung cemaran minyak ke biota dan ekosistem teluk, ditambah beberapa jurnal penelitian yang ia baca, Daniela meyakini, minyak dan sisa pembersihan entah itu lewat pembersihan kimia dan alami, sedikit banyak akan mengontaminasi rantai makanan.
Terlebih, paparan minyak, dari laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mencemari 14 ribu hektare mangrove yang jadi tempat perkembangbiakan ikan dan satwa air lainya sebagai penyokong rantai makanan.
"Memang nanti ada natural proses, ada bakteri pengurai di ekosistem, nanti akan bakteri dimakan plankton, plankton dimakan ikan, dan akhirnya semua ekosistem rantai makanan akan terpapar dari kimia dari minyak tadi,"katanya.
Hal inilah yang ia khawatirkan akan menurunkan metabolisme dan sistem kekebalan tubuh pesut, karena mengonsumsi ikan yang tercemar.
"Karena meraka top predator, mereka makan apa saja, ikan yang terpapar ya mereka juga makan, mereka tak bisa keluarkan isi perut (tercemar yang mereka makan). Ini yang jadi kekhawatiran, anak mereka juga bisa kena,"ujar Daniele.
Ke depannya, ia berharap dan akan terus terlibat mengawal upaya pemulihan ekosistem teluk.
Ia berharap, langkah ada penelitian lanjutan soal dampak cemaran bagi ekosistem dan keberlangsungan populasi yang kini diperkirakan hanya 60-70 ekor ini.
"Mereka lambat reproduksi. Dan ini bencana, bisa akibatkan populasi kolaps,"ujarnya. (*)