Sebagian Medsos Dibatasi, Pedagang Online dan Pengusaha Percetakan Mengaku Terganggu
Keluhan yang sama juga dilontarkan oleh Yova, pedagang kuliner yang mengandalkan media sosial sebagai ajang promosi.
TRIBUNKALTIM.CO, TANJUNG REDEB - Mengacu pada alasan mencegah informasi provokatif dan hoax, pemerintah membatasi sejumlah fasilitas pertukaran foto dan video di berbagai platform media sosial, seperti Facebook dan Instagram, juga aplikasi pesan WhatsApp.
Namun pemblokiran yang sudah berlangsung beberapa hari ini dianggap sangat menganggu.
Terutama para pengusaha yang sudah terbiasa menggunakan media sosial untuk mengirim file digital yang akan didesain ulang, maupun yang akan dicetak dalam bentuk undangan, spanduk, dan lain sebagainya.
Seperti yang dikemukakan oleh Jaka. Pengelola Radika Advertising ini mengaku pemblokiran ini cukup mengganggu.
"Yang kasihan itu pelanggan, yang biasanya tinggal mengirim file lewat WhatsApp, sekarang haru datang mengantar file, kemudian datang lagi untuk mengambil hasilnya. Jadi harus bolak-balik," ujarnya, Jumat (24/5/2019).
Meski ada berbagai cara untuk mengatasi pemblokiran ini, salah satunya dengan menggunakan Virtual Privare Network (VPN), namun kenyataan, tidak semua masyarakat memahami cara ini.
"Apalagi bapak-bapak atau ibu-ibu, mereka mana paham cara download dan menggunakan VPN. Banyak pelanggan saya yang mondar-mandir datang ke sini, kan kasihan," katanya lagi.
Meski demikian, Jaka mengaku, tidak ada satupun yang membatalkan pesanan karena masalah ini.
Keluhan yang sama juga dilontarkan oleh Yova, pedagang kuliner yang mengandalkan media sosial sebagai ajang promonya ini mengaku kesulitan menjual panganan olahannya.
"Saya memang pakai VPN, tapi pelanggan-pelanggan saya yang lain ada juga yang tidak tahu caranya menggunakan VPN. Mereka bilang (foto) postingan saya di Facebook, semua (foto grid) warna abu-abu (warna dasar kolom foto di facebook)," jelasnya.
Yova berharap, pembatasan transaksi data melalui dunia maya ini segera berakhir.
"Kalau begini terus, saya tidak bisa jualan," tandasnya.
Meski banyak yang menggunakan VPN untuk menyiasati pemblokiran ini, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi Informasi (Kominfo) mengimbau masyarakat agar tidak sembarangan menggunakan aplikasi VPN yang banyak beredar di internet.
Pasalnya, meski 'private', nyatanya arus data bisa dengan bebas diakses oleh pengguna internet tingkat lanjut.
Kapan Kembali Normal?
Pemerintah masih membatasi akses terhadap media sosial seperti Facebook dan Instagram, serta pesan instan Whatsapp.
Kondisi ini terjadi sejak Rabu 22 Mei hingga Kamis (23/5/2019).
Rangkaian kerusuhan pengumuman hasil rekapitulasi Pilpres 2019 merembet ke para pengguna media sosial.
Aksi ke facebook, Instagram hingga WhatsApp diblokir sementara.
Sebelumnya, langkah pemblokiran ini belum pernah diambil oleh pemerintah.
Kali ini keputusan itu ditempuh guna menghindari provokasi hingga penyebaran konten foto dan video hoax terkait aksi 22 Mei.
Lantas, sampai kapan pembatasan beberapa fitur media sosial dan Whatsapp ini berlangsung?
Menjawab itu Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara mengatakan blokir akan dibuka jika memang situasi sudah kondusif.
"Tunggu kondusif ya, yang bisa menyatakan suasana kondusif atau tidak tentu dari pihak keamanan.
Dari sisi intelijen dari sisi Polri dari sisi TNI, kalau kondusif kita akan buka akan fungsikan kembali fitur-fitur.
Karena saya sendiripun merasakan dampak yang saya buat sendiri," ungkap Rudiantara, Kamis (23/5/2019) di Kemenko Pohukam, Jakarta.
Terkait kondisi tanah air, khususnya ibu kota Jakarta yang sempat rusuh di beberapa lokasi, Rudiantara meminta masyarakat berdoa agar suasana berangsur kondusif.
"Kita semua berdoa supaya segera pulih semuanya. Saya juga belum tahu sampai kapan (blokir dibuka)," tambahnya.

Roy Suryo: Lebay!
Pembatasan sejumlah fitur pada pesan instan Whatsapp dan media sosial seperti Facebook dan Instagram mendapat respon banyak pihak.
Ada yang mendukung, tak sedikit pula yang mencibir kebijakan Pemerintah, ini.
Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kemenkominfo mengeluarkan kebijakan pembatasan sebagian fitur media sosial dan pesan instan di masyarakat.
Buntut dari kerusuhan aksi 22 Mei yang menolak hasil Pilpres 2019.
Kebijakan ini diterapkan sejak Rabu (22/5/2019) sore dengan alasan untuk membatasi penyebaran informasi hoaks yang berkaitan dengan aksi demonstrasi.
Menanggapi hal ini, anggota DPR-RI dari Komisi I, Roy Suryo, menyebut pemerintah berlebihan dengan membatasi fitur layanan di media sosial dan aplikasi perpesanan instan.
Beberapa alasan diungkapkan Roy Suryo atas pendapatnya ini.
Selain tidak efektif, karena Roy Suryo menilai para provokator yang menjadi sasaran kebijakan sudah memiliki cara lain,.
Kebijakan ini juga dinilai merugikan masyarakat secara luas.
"Harusnya Kominfo benar-benar bisa selektif hanya mengenai mereka-mereka (para provokator) saja, bukan seluruh pengguna medsos di Indonesia,” ujarnya.
Roy Suryo berpendapat, 150 juta pengguna internet di Indonesia menjadi korban atas kebijakan pemerintah ini.
"Kalaupun hanya ada 100-200 orang yang menggunakan medsos sebagai sarana untuk provokasi kemarin.
Mengapa kita-kita pengguna di Indonesia yang berjumlah 150 jutaan orang menjadi korbannya semua?" kata Roy.
Sebelumnya, Menteri Kominfo Rudiantara menyatakan pembatasan ini tidak diterapkan secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian fitur dan pemberlakuannya dilakukan bertahap.
Menurut Rudiantara, media sosial dan platform pesan instan banyak digunakan untuk menyebarkan informasi hoaks yang bersifat provokatif.
"Kita tahu modusnya dalam posting (konten negatif dan hoaks) di media sosial. Di Facebook, di Instagram dalam bentuk video, meme, atau gambar.
Kemudian di-screen capture dan diviralkan bukan di media sosial tapi di messaging system WhatsApp," kata Rudiantara melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com.

Dilaporkan media sosial seperti Instagram, WhatsApp dan Facebook mengalami gangguan teknis atau down, Rabu (22/5/2019).
Ternyata down-nya media sosial ini bukan dikarenakan gangguan teknis, melainkan pembatasan dari pemerintah.
Dari pantauan Tribunkaltim.co, WhatsApp tidak dapat mengakses foto dan video, begitu pula dengan Instagram dan Facebook.
Sementara dengan Twitter, tanda pagar (tagar) atau hashtag yang berbunyi provokasi perlahan hilang.

Pembatasan sementara akses di media sosial disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto.
Melansir Kompas.com, langkah pembatasan media sosial ini dilakukan untuk mencegah provokasi hingga penyebaran berita bohong kepada masyarakat.
"Akan kita adakan pembatasan akses di media sosial, fitur tertentu, untuk tidak diaktifkan untuk menjaga agar hal-hal negatif terus disebarkan ke masyarakat," kata Wiranto.
Wiranto didampingi Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Menkominfo Rudiantara dan pejabat lain.
Dalam jumpa pers tersebut, mereka menjelaskan kronologi kerusuhan, fakta-fakta yang ditemukan Kepolisian.
Setelah kerusuhan tersebut, beredar berbagai informasi hoaks di media sosial yang meresahkan masyarakat.
Pemerintah melihat, berdasarkan rangkaian peristiwa hingga kerusuhan pecah, terlihat ada upaya membuat kekacauan nasional.
Hal itu terlihat dari pernyataan tokoh-tokoh yang kemudian menyalahkan aparat keamanan atas jatuhnya korban jiwa.
Wiranto melihat ada upaya membangun kebencian hingga anti kepada pemerintah.
Padahal, kata dia, ada aksi brutal yang dilakukan kelompok lain selain pendemo.
Mereka menyerang petugas, merusak asrama Polri di Petamburan, membakar sejumlah kendaraan, dan aksi brutal lain. (*)
Subscribe official YouTube Channel
Pilot Jepang Ungkap Misteri Hilangnya Pesawat Malaysia Airlines MH-370, Ada Hal Yang Disembunyikan
BERITA terkini: Wapres Jusuf Kalla Buka Suara Terkait Demo 22 Mei 2019, 'Tak Mengubah Hasil Pemilu'
KABAR TERKINI Demonstran Tinggalkan Lokasi Perempatan Sarinah Jakarta, Beri Salam Polri dan TNI
Pemerintah Rilis Daftar Tiga Kelompok Dibalik Kerusuhan 22 Mei Jakarta, Incar Tembak Pejabat