Kisah Preman di Era Soeharto, Wajib Lapor dan Diberi Kartu Khusus atau Ditembak Mati 'petrus'
Aksi para preman di Ibu Kota maupun kota-kota di Indonesia sebenarnya sudah marak sejak zaman dulu.
Para gali yang tidak melapor kemudian diburu oleh tim OPK Kodim untuk ditangkap dan bagi yang lari atau melawan akan langsung ditembak mati.
Preman Tanah Abang Susupi Aksi 22 Mei 2019, Karopenmas Divisi Humas Polri: Sehari Rp 300 Ribu
Mantan Preman dan Pemabuk Ini Akhirnya jadi Petani Sukses, Berubah saat Ingat Uang Sekolah Anak

Mayat para gali yang ditembak mati dibiarkan tergeletak di mana saja dengan tujuan membuat jera (shock therapy).
OPK yang digelar aparat keamanan di Yogyakarta sudah diketahui oleh masyarakat.
Setiap ada mayat yang ditemukan di pinggir jalan, tepi hutan, bawah jembatan, dan lainnya, mayat dengan luka tembak itu kerap dinamai sebagai korban penembakan misterius (petrus).
Istilah ‘petrus’ kemudian menjadi sangat populer sekaligus menakutkan.
Kinerja OPK yang dilaksanakan di Yogyakarta ternyata mendapat perhatian khusus dari Kepala Intelijen RI LB Moerdani dan diapresiasi sebagai ‘kerja bagus dan lanjutkan!’.
Cara penanganan gali dengan cara OPK pun diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia dan korban ‘petrus’ pun bertumbangan di mana-mana.
Yang pasti OPK memang terbukti efektif menumpas para gali dan sebenarnya juga mendapat dukungan dari masyarakat luas.
Hingga kini masyarakat kadang masih mengharapkan munculnya ‘petrus’ untuk menangani aksi kejahatan yang makin marak dan brutal.
Terkait OPK yang sukses di era Orde Baru, Presiden Soeharto dalam buku otobiografinya bertajuk Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, keberadaan ‘petrus’ memang ditujukan untuk menimbulkan efek jera kepada para penjahat.
"Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu itu bukan lantas dengan tembakan, begitu saja.
Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak," ujarnya dalam buku yang terbit pada 1989 itu.
Pada 2012, Komnas HAM pernah mengumpulkan fakta-fakta tentang petrus.