Jadi Nelayan hingga Penambang Emas, Inilah Kisah Wanita-wanita Tangguh di Pedalaman Long Suluy Berau

Saat kondisi air sungai sedang jernih, maka warga Long Suluy, Berau akan menjadi nelayan atau pencari emas.

Editor: Doan Pardede
TRIBUNKALTIM/GEAFRY NECOLSEN
Non Ce menunjukan butiran emas yang didapatnya dari Sungai Long Suluy, sebagian lagi dia beli dari penambang emas di kampungnya. Mayoritas wanit-wanita di kampung ini menjadi penyelam untuk mencari emas di dasar sungai. 

TRIBUNKALTIM.CO, TANJUNG REDEB - Jika ingin melihat kesetaraan gender, datanglah ke Kampung Long Suluy.

Karena di kampung ini, semua pria dan wanita bekerja keras, saling membantu perekonomian keluarga.

Di Kampung Long Suluy, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur ini, tidak ada profesi yang khusus, karena semua pekerjaan tergantung musim.

Jika musim buah-buahan atau musim madu, hampir seluruh warganya meninggalkan kampung menuju hutan untuk mencari buah di hutan, seperti rambutan, maritam, durian, lahung dan sebagainya.

Jika musim panen padi, lada, atau pisang, mereka akan pergi ke ladang.

Saat kondisi air sungai sedang jernih, mereka akan menjadi nelayan atau pencari emas.

Kampung ini memang berada di bantaran Sungai Long Suluy, sama seperti nama kampungnya.

Non Ce menunjukan butiran emas yang didapatnya dari Sungai Long Suluy, sebagian lagi dia beli dari penambang emas di kampungnya. Mayoritas wanit-wanita di kampung ini menjadi penyelam untuk mencari emas di dasar sungai.
Non Ce menunjukan butiran emas yang didapatnya dari Sungai Long Suluy, sebagian lagi dia beli dari penambang emas di kampungnya. Mayoritas wanit-wanita di kampung ini menjadi penyelam untuk mencari emas di dasar sungai. (TRIBUNKALTIM/GEAFRY NECOLSEN)

Tidak hanya suami atau istri yang mencari nafkah, anak-anak pun di bawa ke tengah hutan atau mencebur ke sungai, memungut apapun yang diberikan alam kepada mereka.

Jika para pria mengangkut dan mengayak (menyaring untuk memisahkan antara emas dan pasir), para wanitanya akan menyelam ke dasar sungai.

Mengarahkan selang ke tumpukan pasir.

Selang itu terhubung langsung ke mesin pompa penyedot pasir.

Tubuh para wanita itu diikat dengan seutas tali yang membentang di kanan - kiri sungai, agar mereka tidak terseret arus.

Mereka harus menggigit selang dari karet, yang menjadi alat pernafasan mereka di dalam air.

Ya, alih-alih menggunakan alat selam, mereka menggunakan kompresor yang ditenagai bahan bakar minyak untuk membantu mereka bernafas lebih lama di dalam sungai, agar semakin banyak pasir yang mereka hasilkan.

Semakin banyak pasir, semakin besar peluang mendapat butiran-butiran emas.

Non Ce menunjukan butiran emas yang didapatnya dari Sungai Long Suluy, sebagian lagi dia beli dari penambang emas di kampungnya. Mayoritas wanit-wanita di kampung ini menjadi penyelam untuk mencari emas di dasar sungai.
Non Ce menunjukan butiran emas yang didapatnya dari Sungai Long Suluy, sebagian lagi dia beli dari penambang emas di kampungnya. Mayoritas wanit-wanita di kampung ini menjadi penyelam untuk mencari emas di dasar sungai. (TRIBUNKALTIM/GEAFRY NECOLSEN)

Yohanes, salah satu penambang emas menuturkan, dalam kultur masyarakat Dayak Punan, tidak ada perbedaan tugas dalam mencari nafkah.

"Kadang saya yang menyelam mencari pasir, kadang juga istri saya. Kebanyakan perempuan yang menyelam, karena badan mereka gemuk-gemuk," ujar Yohanes.

Baca juga :

Terpencil, Setelah 74 Tahun Merdeka, Baru Kali Ini Warga Kampung Long Suluy, Berau Peringati HUT RI

Dari 68 Titik Hotspot Karhutla di Kaltim, Kukar dan Berau Berpotensi Paling Besar.

Tubuh besar, menurut mereka lebih mudah menyelam dan tidak terseret arus dan yang pasti memiliki kapasitas paru-paru yang lebih besar.

Dia mengungkapkan, baru-baru ini warganya menggunakan kompresor sebagai alat pernafasan.

"Dulu kami tidak pakai kompresor, satu kali tarikan nafas untuk cari pasir. Kalau habis (nafas) naik lagi. Begitu terus," jelasnya.

Bakri, Ketua RT 1 Kampung Ling Suluy membenarkan, semua warganya menjadi pemburu emas.

"Termasuk istri saya. Dia juga menyelam. Pernah sekali waktu dia dapat emas sebesar ini," kata Bakri sambil menunjukan ujung ruas jari kelingkingnya.

Bahkan, istrinya tercatat sebagai pendulang emas terbanyak di kampungnya.

"Dia dapat sampai 1 ons emas," kata Bakri yang dibenarkan oleh warganya.

Sayangnya, kultur masyarakat Dayak Punan yang tidak banyak bicara kalau dianggap tak perlu, membuat Tribunkaltim.co kesulitan mewawancarai mereka.

"Ibu-ibu di sini pemalu," kata Bakri.

Namun tidak ada satu pun yang menyangkal ketangguhan para wanita di kampung ini.

Menurut Bakri, justru para wanitanya yang lebih tangguh mencari emas.

"Mungkin karena mereka perempuan, matanya lebih jeli melihat emas," selorohnya.

Baca juga :

Lebih Berharga dari Emas, Bekicot yang Dulu Dibuang karena Dianggap Hama Kini Ramai Diburu Petani

Bulog Divre Kaltimra Kenalkan Beras Etam, Beras Pulen dari Penajam Paser Utara, Kemasan mulai 5 Kg

Non Ce, wanita Dayak Punan, Kampung Long Suluy juga mengakui, tidak jarang dirinya turun menyelam mencari emas.

"Ganti-gantian saja dengan suami," ujarnya.

Tapi kini Non Ce sudah mulai jarang menyelam di sungai. Ia memilih menjadi pengepul emas.

"Ya sesekali kalau tidak ada kerjaan turun ke sungai," katanya lagi.

Emas-emas yang dihasilkan tidak disimpan di tempat khusus seperti lemari apalagi brankas.

Non Ce menunjukan butiran emas yang didapatnya dari Sungai Long Suluy
Non Ce menunjukan butiran emas yang didapatnya dari Sungai Long Suluy (TRIBUNKALTIM/GEAFRY NECOLSEN)

Butiran emas itu disimpan di atas piring begitu saja.

Karena kampung ini memang sangat aman, belum pernah ada kejadian kasus kriminal seperti pencurian.

Emas-emas itu akan dibawa ke Tanjung Redeb, Kabupaten Berau untuk dijual, ketika mereka kehabisan bahan pangan.

"Kalau hasil panen tidak bagus, beras tinggal sedikit, baru dijual ke Tanjung," kata Non Ce.

Di kota, emas yang masih berbentuk butiran pasir atau batu sungai ini dijual Rp 450 ribu per gram.

Biasanya, emas baru akan dijual jika sudah mencapai 150 atau 200 gram.

Tidak setiap hari mereka menjual emas, karena untuk menuju Tanjung Redeb dan kembali pulang, minimal menghabiskan biaya Rp 5 juta untuk biaya transportasi saja.

Belum lagi tantangan alam yang harus dilalui.

3 Jam perjalanan menggunakan kapal ketinting, melawan arus dan jeram-jeram sungai.

Ditambah perjalanan darat selama 4 jam.

Biaya transportasi darat juga tidak kalah mahalnya. Karena kendaraan-kendaraan yang digunakan memiliki sepesifikasi tangguh. Double gardan adalah spesifikasi wajib.

Karena selain naik-turun gunung di jalan tidak beraspal, kendaraan-kendaraan itu juga harus menerjang sungai.

(*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved