Dituntut Penjara Seumur Hidup, Prada DP Langsung Menangis di Ruang Sidang dan Ucapkan Kalimat Ini

Oditur menuntut Prada DP dengan hukuman penjara seumur hidup lantaran terbukti membunuh serta mutilasi terhadap pacar sendiri Fera Oktaria

Editor: Doan Pardede
(KOMPAS.COM/AJI YK PUTRA)
Prada DP dintutut dengan hukuman seumur hidup serta dipecat dari satuan lantarab telah terbukti melakukan pembunuhan serta mutilasi terhadap pacarnya sendiri Fera Oktaria (21). 

Berkas pemeriksaan Dodi kepada penyidik, Kamis 20 Juni 2019 lalu, menyebutkan bahwa saksi telah mengetahui Prada DP membunuh Fera pada Rabu 8 Mei 2019.

Saat itu, Prada DP datang ke rumahnya di Kabupaten Musi Banyuasin dengan mengendarai sepeda motor korban.

Dodi lalu menanyakan perihal kedatangan keponakannya tersebut.

Prada DP pelaku pembunuhan Vera Oktaria ketika berada di Denpom II Sriwijaya, Palembang, Jumat (14/6/2019).
Prada DP pelaku pembunuhan Vera Oktaria ketika berada di Denpom II Sriwijaya, Palembang, Jumat (14/6/2019). ((KOMPAS.com/AJI YK PUTRA))

Prada DP mengaku telah kabur dari lokasi pendidikan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) di Baturaja dan tak sengaja membunuh Fera di kamar penginapan Sahabat Mulya yang hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari tempat tinggal saksi.

Sontak pengakuan itu membuatnya terkejut.

Ia sempat mencaci terdakwa karena tindakannya tersebut.

Masih dalam keterangan Dodi, Prada DP memintanya untuk menyiapkan kapak, parang dan gergaji.

Seluruh benda tajam itu akan digunakan terdakwa untuk memotong bagian tubuh korban.

Tindakan itu ia lakukan karena ingin menghilangkan jejak usai membunuh kekasih hatinya tersebut.

"Saksi menolak membantu terdakwa," kata Oditur Mayur CHK D Butar Butar saat membacakan hasil pemeriksaan Dodi di ruang sidang.

Saksi Imam sarankan jenazah dibakar

Setelah menolak permintaan dari Prada DP, Dodi ternyata masih berpikir dan akhirnya menghubungi saksi Imam yang tak lain adalah rekannya untuk mencari solusi masalah yang menimpa terdakwa.

Imam yang mendapatkan telepon, lalu datang ke rumah Dodi.

Di sana kedua saksi ini berbincang membahas permasalahan Prada DP.

Usai perbincangan, sepeda motor Fera yang sebelumnya dibawa oleh Prada DP diberikan kepada Imam, berikut handphone korban dan pelaku.

Saksi Imam menyarankan agar handphone itu dibuang.

Dodi lantas melemparkan dua unit ponsel tersebut ke atas bak mobil truk yang melintas di jalan raya agar rekam jejak Prada DP tak terdeteksi.

"Imam lalu menjual motor tersebut untuk ongkos pelarian terdakwa Prada DP," ujarnya.

Meski demikian, Prada DP masih memikirkan jenazah Fera yang masih ada di kamar penginapan.

Ia takut jasad korban membusuk karena terlalu lama ditinggal.

Terlebih lagi tangan kanan korban sudah dalam keadaan setengah terpotong.

"Lalu Imam menyarankan terdakwa untuk membakar tubuh korban. Terdakwa lalu kembali ke penginapan untuk membakar, namun niat itu nggak jadi karena merasa kasihan," ujar Oditur melanjutkan hasil berkas pemeriksaan Dodi.

Temui Hasanudin untuk belajar mengaji

Imam mengenal sosok Hasanudin.

Ia lalu mendatangi kediaman saksi sembari membawa terdakwa DP bersama Dodi.

Ketika berada di sana, Imam menyebutkan Prada DP sedang ada masalah di rumah, sehingga terdakwa ingin tobat dan belajar mengaji.

Karena tak melihat gelagat mencurigakan, Hasanudin siap membantu terdakwa DP.

Ia menyarankan agar Prada DP belajar di pondok pesantren di Serang, Banten.

Keduanya lalu berangkat dengan bermodalkan uang hasil penjualan motor serta tambahan dari orangtua terdakwa.

Dari berkas pemeriksaan itu, kedua orangtua DP juga mengetahui bahwa anak mereka telah membunuh Fera.

"Saksi Hasanudin menyarankan agar terdakwa belajar di pesantren di Banten. Keduanya lalu berangkat. Hasanudin baru mengetahui jika terdakwa bermasalah ketika berada di sana," ungkapnya.

Prada DP sebut Dodi sarankan jenazah Fera dipotong dua

Prada DP menyampaikan pernyataan mengejutkan saat menjalani sidang ke-5 di Pengadilan Militer I-04 Palembang, Kamis (15/8/2019).

Seluruh keterangan itu bertolak belakang apa yang diucapkan saksi.

Dalam berkas pemeriksaan sebelumnya, Dodi disebutkan menolak untuk menyiapkan parang, kapak dan gergaji besi.

Namun, menurut Prada DP, Dodi memberikannya kantong plastik berukuran besar yang akan digunakan untuk memasukkan tubuh Fera.

"Kantong plastik itu untuk memasukkan jenazah Fera setelah dipotong, agar darahnya tidak netes. Setelah dari rumah Dodi saya membeli tas dan koper di pasar," ujar Prada DP.

Saat bertemu Dodi, Prada DP mengaku bahwa pamannya itu menyarankan agar jenazah korban dipotong menjadi dua bagian dan dimasukkan ke koper sehingga bisa dibawa keluar kamar.

Mendapatkan saran tersebut, ia kembali membeli gergaji besi di toko bangunan dekat rumah pamannya itu.

"Saya minta tolong Dodi untuk membantu memotongnya, Dodi tidak mau. Saya balik lagi ke penginapan," jelasnya.

Ketika di penginapan, Prada DP kembali melanjutkan untuk memotong tangan Fera.

Namun ia lalu merasa iba dan mengurungkan niatnya tersebut.

"Saya kembali lagi ke rumah dodi. Dodi lalu menelepon Imam (saksi yang meninggal) untuk meminta bantuan," ungkapnya.

Saat Imam datang, ia menyarankan agar Prada DP membakar jenazah Fera yang ada di dalam kamar dengan menggunakan obat nyamuk bakar yang telah dibentuk menjadi "bom waktu".

"Seluruh tubuhnya saya siram pertalite, sekitar 9 liter. Kasur juga disiram, ketika obat nyamuk dihidupkan, saya kasihan jadi saya batalkan," ucapnya.

Ingin menyerahkan diri namun dilarang Dodi

Sosok Dodi juga disebut Prada DP sebagai orang yang melarangnya untuk menyerahkan diri ke Polisi Militer ataupun satuan tempatnya berdinas usai membunuh Fera.

Niat menyerahkan diri itu muncul setelah upaya mutilasi yang dilakukan Prada DP gagal.

Begitu juga dengan percobaan pembakaran tubuh korban.

"Dodi bilang tidak usah, dia yang menyarankan saya agar tidak menyerahkan diri," kata Prada DP, Kamis (15/8/2019).

Dodi lantas menghubungi temannya bernama Imam.

Lalu Prada DP disarankan untuk membakar jenazah Fera, namun usaha itu batal ia lakukan.

Selanjutnya, saksi Imam yang telah meninggal sebelum dihadirkan dalam ruang sidang, menghubungi satu saksi lagi bernama Muhammad Hasanudin.

Kepada Hasanudin, Imam menjelaskan bahwa Prada DP sedang mengalami masalah keluarga dan ingin belajar mengaji.

Hasanudin pun menyarankan agar Prada DP belajar di pesantren Serang, Banten, hingga keduanya pun berangkat ke sana.

"Selama saya di sana, merasa ada yang mengikuti. Lalu menghubungi tante saya untuk menyerahkan diri dan dijemput Polisi Militer," ujarnya.

Hakim nilai pembunuhan Fera sudah direncanakan

Pernyataan saksi dan terdakwa Prada DP yang tak sinkron tersebut ternyata membuat hakim menduga bahwa pembunuhan Fera telah direncanakan terdakwa lebih dulu.

Kejanggalan itu salah satunya adalah Prada DP yang nekat membawa korban Fera ke penginapan Sahabat Mulya di Kecamatan Sungai Lilin, kabupaten Musi Banyuasi, pada 8 Oktober 2019.

Hakim anggota Myor CHK Syawaluddin menduga ada unsur perancanaan yang dilakukan Prada DP.

Terdakwa ingin menjauhkan korban dari rumah. Sebab, jarak antara Palembang dan Musi Banyuasin memakan waktu sekitar 3 jam hingga sampai ke penginapan.

Syawaluddin pun menyebutkan, Prada DP telah empat hari berada di Palembang, tepatnya pada 4 Mei 2018.

Saat menghubungi Fera, Prada DP mengaku hanya ingin "curhat" kepada korban.

Namun nyatanya langsung membawa Fera ke tempat bibinya.

"Terdakwa membawa tas dan mengaku baru kabur pendidikan. Padahal sudah 4 hari. Di jembatan Kertapati ngaku ingin curhat, tapi dibawa ke Musi Banyuasin? Ini ada kesengajaan ingin menjauhkan korban?" tanya Syawaluddin.

Prada DP pun mengaku menginap di penginapan Sahabat Mulya lantaran hari sudah larut malam. Namun, ia tak mengetahui alamat pasti bibinya tersebut.

"Kami menginap karena sudah malam, rencananya besok mau mencari lagi rumah bibi Elsa. Tapi malam itu kami ribut, sehingga saya membunuh Fera," ujarnya.

Lalu Syawaludin mempertanyakan alasan Prada DP nekat berangkat ke Serang Banten dengan untuk belajar mengaji usai membunuh.

"Di sini banyak (pesantren), kenapa harus Banten?" tanya Syawaluddin lagi.

Mendengar pertanyaan itu, Prada DP langsung menundukkan kepalanya dan enggan melihat hakim sembari menangis.

"Saya ketemu sama guru ngaji namanya Abah Syar'i," ucap Prada DP.

Syawaludin pun lantas membeberkan riwayat dari guru ngaji yang diucapkan Prada DP.

Berdasarkan catatannya, Abah Syar'i yang dimaksud Prada DP pernah terjerat kasus menyembunyikan tahanan yang kabur pada 2013-2014.

"Saya juga tahu kalau dia nolak kedatangan kamu. Takut bermasalah lagi, makanya kamu dialihkan ke tempat muridnya. Benar apa tidak?," tanyanya.

Setelah diberi penjelasan hakim, Prada DP bungkam tanpa berani menjawab pertanyaan itu. Ia pun hanya tertunduk sembari menangis.

(*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved