Soal Vonis Kebiri Predator Anak, Beda Pendapat Menteri Yohana dan Khofifah di Masa Lalu jadi Sorotan
Soal hukuman kebiri untuk predator anak di Mojokerto, pernyataan Menteri Yohana dan Khofifah di masa lalu jadi sorotan
Penulis: Doan Pardede | Editor: Rita Noor Shobah
TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Untuk pertama kalinya, hukuman kebiri kimia dijatuhkan kepada seorang terpidana kekerasan seksual anak di bawah umur.
Hukuman tambahan tersebut, dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Timur, setelah diputuskan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto.
Vonis hukuman kebiri kimia terhadap Muhammad Aris sudah inkrah.
Vonis kebiri ini adalah yang perdana diterapkan di Indonesia, sejak diberlakukannya Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perlindungan anak, oleh Presiden Joko Widodo.
Aris, merupakan tersangka pemerkosa 9 anak di bawah umur di Mojokerto yang sempat membuat heboh beberapa waktu silam.
Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu mengatakan, dari sekian kasus kejahatan seksual, khususnya pemerkosaan yang diajukan ke pengadilan, baru kali ini keluar vonis hukuman kebiri kimia.
Pengadilan memutuskan Aris bersalah melanggar Pasal 76 D junto Pasal 81 Ayat (2) Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pemuda tukang las itu dihukum penjara selama 12 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu, Aris dikenakan hukuman tambahan berupa kebiri kimia.
"Untuk wilayah Mojokerto, ini yang pertama kali," kata Nugroho Wisnu saat dihubungi Kompas.com, Minggu (25/8/2019) malam.
Aris dihukum penjara dan kebiri kimia setelah terbukti melakukan 9 kali pemerkosaan di wilayah Kota dan Kabupaten Mojokerto.
Ada pun para korbannya merupakan anak-anak.
"Dalam persidangan, terungkap 9 korban," kata Wisnu.
Untuk melihat sejauh mana hukuman kebiri mampu memberikan efek jera bagi predator anak, Kompas TV mengundang Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice (ICJR) Anggara Suwahyu, dan Pakar Psikologi Forensik yang Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak LPAI Reza Indragiri dalam Dialog 'Vonis Kebiri 'Predator' Anak.
Dialog ini ini diunggah di YouTube Kompas TV pada, Minggu (25/8/2019).
Reza Indragiri mengatakan, ada kesimpangsiuran tentang bagaimana mendudukkan hukuman kebiri dalam hukum di Indonesia.
Reza Indragiri mengajak untuk membandingkan pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise dan Khofifah Indar Parawansa saat menjabat Menteri Sosial.
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise beberapa kali mengatakan kepada tersangka, bahwa yang bersangkutan dihukum kebiri.
"Nanti kamu akan dihukum kebiri lho!. Jadi aksentuasi (penekanan kata) itu hukuman," ujar Reza Indragiri menirukan pernyataan Menteri Yohana Yembise.
Dia menilai, pernyataan Menteri Yohana Yembise lebih kepada keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan).
"Bahwa karena pelaku sudah melakukan kekejian, maka hukumannya adalah kekejian pula, kesadisan. Harus dibikin sakit, itu retributif," kata Reza Indragiri.
Baca juga :
Banding Ditolak, Eksekusi Kebiri Pria 21 Tahun Pelaku Rudapaksa di Mojokerto Ini Segera Dilakukan
Pria 23 Tahun Ini Tega Rudapaksa Anak Majikan saat Rumah Kosong, Korban Disiram dengan Air cabai
Namun dalam sebuah diskusi terpisah dengan Khofifah Indar Parawansa saat menjabat Menteri Sosial, perlu juga untuk melihat apa yang terjadi di Jerman.
Dalam diskusi tersebut, kata Reza Indragiri, disebutkan bahwa keberhasilan Jerman disebabkan karena filosofi hukuman kebiri bukan sebagai hukuman retributif tapi rehabilitatif.
Dari dua pendapat ini, kata Reza Indragiri, di antara dua menteri yang masing punya saling keterkaitan masih punya perbedaan pandangan dalam memposisikan hukuman kebiri.
"Ternyata masih bersilang sengketa bagaimana memposisiskan kebiri dalam hukum di Indonesia," kata Reza Indragiri.
Bakal seberapa efektif hukum kebiri menekan angka kekerasan seksual terhadap anak? Reza Indragiri mengajak untuk melihat negara-negara yang sudah memberlakukan kastrasi kimiawi atau kebiri kimiawi.
Perlu digaris bawahi, kata Reza Indragiri, bukan hukuman kebiri semata yang menjadi penyebab menurunnya angka kekerasan seksual terhadap anak di negara-negara tersebut, tapi juga karena adanya kesadaran.
Di negara-negara yang memberlakukan hukuman kebiri sebagai sarana rehabilitasi, hukuman kebiri tidak 'dijatuhkan' oleh hakim secara sepihak kepada terdakwa.
"Tapi hakim melakukan dialog kepada pelaku. Pelaku yang kemudian mengatakan yang mulia tolong saya dikastrasi. Karena saya sadar aoa yang saya lakukan ini adalah salah. Namun, kesadaran tidak selalu sejalan dengan birahi. Itu sebabnya tolong birahi saya dimatikan, caranya, dengan kastrasi kimiawi," kata Reza Indragiri.
Dialog seperti ini menurutnya tak bisa dilakukan di Indonesia.
Pasalnya, sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan sesuai hasil pengadilan di Mojokerto, dialog ini tidak berlangsung.
Kebiri, dianggap sebagai hukuman dan bukan sebuah penanganan.
"Sebuah hukuman yang secara sepihak dijatuhkan oleh hakim 'tanpa' mempedulikan aspirasi atau kehendak adri terdakwa," kata Reza Indragiri.
Baca juga :
Kisah Tragis Siswi SMA Korban Rudapaksa, 'Dibunuh' saat Mau Bersaksi untuk Kasus yang Menimpanya
Pria Beristri Rudapaksa Nenek 74 Tahun di Aceh, Berawal dari Saran Istri Pelaku Obati Sakit Perut
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice (ICJR) Anggara Suwahyu mengatakan, apa yang terjadi inilah yang dalam laporan LCJR disebut sebagai kebangkitan Penal Populism.
Dalam konteks ini, pemerintah membuat kebijakan memperberat hukuman untuk merespons kemarahan masyarakat.
Undang-Undang Perlindungan Anak menurutnya telah 2 kali berubah, dalam perubahan pertama hukuman diperberat dan dalam perubahan kedua diperberat lagi.
"Sampai ada hukuman mati bahkan. Tapi problemnya, apakah itu akan menurunkan angka kejahatan seksual?," kata Anggara Suwahyu.
Menurut Anggara Suwahyu, angka kekerasan seksual terhadap anak tidak akan turun karena tidak ada penjelasan dalam perubahan-perubahan Undang-Undang tersebut.
"Karena tidak ada penjelasan. Ketika dalam perubahan pertama kan alasannya sama untuk menurunkan angka kekerasan seksual diperberat hukuman. Ketika perubahan kedua sama, pemerintah akan memperberat tapi tidak ada evaluasi apakah perubahan pertama ini berhasil menurunkan angka kekrasan seksual," kata Anggara Suwahyu.
Yang kedua, fokus Undang-Undang ini, dan juga hampir semua Undang-Undang adalah pelaku.
Sementara rehabilitasi untk korban kekerasan seksual tidak ada.
"Karena itu saya bilang kebangkitan penal populism. Jadi karena masyarakat marah, kemudian pemerintah membuat kebijakan untuk merespons kemarahan masyarakat. Seolah-olah persoalan selesai," kata Anggara Suwahyu.
Dia juga mengaku sepakat dengan Reza Indragiri, bahwa keberhasilan hukuman kebiri di Jerman karena menerapkan hukuman kebiri sebagai voluntary.
"Jadi terpidana menyatakan diri secara sukarela untuk dikastrasi," ujar Anggara Suwahyu.
Berikut videonya :
(TribunKaltim.co/Doan Pardede)