Berharap Tak Dihukum Kebiri Kimia, Keluarga Minta 'Predator Anak' di Mojokerto Dirawat di RSJ
Kakak tertua Aris, Sobirin (33) mengatakan, adik bungsunya itu sudah menunjukkan indikasi gangguan kejiwaan sejak kecil.
TRIBUNKALTIM.CO - Pihak keluarga Muh Aris (20), terpidana kasus pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto, Jawa Timur, berharap agar Aris tidak dijatuhi hukuman kebiri kimia.
Keluarga berharap agar Aris dirawat di rumah sakit jiwa (RSJ).
Kakak tertua Aris, Sobirin (33) mengatakan, adik bungsunya itu sudah menunjukkan indikasi gangguan kejiwaan sejak kecil.
Hal itu ditandai dengan perilaku keseharian Aris.
Adiknya suka berbicara sendiri, baik saat di rumah maupun saat di jalan.
Dalam pergaulan dengan lingkungan sosial, Aris juga dikucilkan karena perilakunya yang tak lazim.
"Kelakuannya seperti anak kecil. Di lingkungan sini dia dikucilkan, tapi dia tidak pernah mengamuk karena takut sama saya," kata Sobirin, Selasa (27/8/2019).
Aris, kata Sobirin, merupakan anak keempat dari pasangan Abdus Syukur (50) dan Askinah.
Askinah meninggal lima tahun lalu.
Sobirin mengaku baru mengetahui bahwa adiknya dikenai hukuman 12 tahun penjara, denda Rp 100 juta, serta ditambah dengan hukuman kebiri kimia.
"Kasihan dia enggak tahu nanti akan bagaimana. Harapan saya sih dia bisa dirawat dan pikirannya dijernihkan. Kalau bisa dirawat di rumah sakit jiwa, supaya dia bisa normal," tuturnya.
Sebelumnya diberitakan, Muh Aris (20), pemuda asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, harus menjalani hukuman kebiri kimia setelah terbukti merudapaksa sembilan anak.
Berdasarkan putusan pengadilan, terpidana kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak itu juga harus mendekam di penjara selama 12 tahun, serta denda Rp 100 juta subsider 6 bulan penjara.
Beda pendapat dua menteri jadi sorotan
Untuk pertama kalinya, hukuman kebiri kimia dijatuhkan kepada seorang terpidana kekerasan seksual anak di bawah umur.
Hukuman tambahan tersebut, dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Timur, setelah diputuskan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto.
Vonis hukuman kebiri kimia terhadap Muhammad Aris sudah inkrah.
Baca juga :
Banding Ditolak, Eksekusi Kebiri Pria 21 Tahun Pelaku Rudapaksa di Mojokerto Ini Segera Dilakukan
Rudapaksa Nenek 9 Cucu, Remaja 18 Tahun di Kalbar Ditangkap, Ancaman Pelaku Buat Korban Tak Berdaya
Vonis kebiri ini adalah yang perdana diterapkan di Indonesia, sejak diberlakukannya Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perlindungan anak, oleh Presiden Joko Widodo.
Aris, merupakan tersangka perudapaksa 9 anak di bawah umur di Mojokerto yang sempat membuat heboh beberapa waktu silam.
Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu mengatakan, dari sekian kasus kejahatan seksual, khususnya rudapaksa yang diajukan ke pengadilan, baru kali ini keluar vonis hukuman kebiri kimia.
Pengadilan memutuskan Aris bersalah melanggar Pasal 76 D junto Pasal 81 Ayat (2) Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pemuda tukang las itu dihukum penjara selama 12 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu, Aris dikenakan hukuman tambahan berupa kebiri kimia.
"Untuk wilayah Mojokerto, ini yang pertama kali," kata Nugroho Wisnu saat dihubungi Kompas.com, Minggu (25/8/2019) malam.
Aris dihukum penjara dan kebiri kimia setelah terbukti melakukan 9 kali rudapaksa di wilayah Kota dan Kabupaten Mojokerto.
Ada pun para korbannya merupakan anak-anak.
"Dalam persidangan, terungkap 9 korban," kata Wisnu.
Untuk melihat sejauh mana hukuman kebiri mampu memberikan efek jera bagi predator anak, Kompas TV mengundang Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice (ICJR) Anggara Suwahyu, dan Pakar Psikologi Forensik yang Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak LPAI Reza Indragiri dalam Dialog 'Vonis Kebiri 'Predator' Anak.
Dialog ini ini diunggah di YouTube Kompas TV pada, Minggu (25/8/2019).
Baca juga :
Pria 23 Tahun Ini Tega Rudapaksa Anak Majikan saat Rumah Kosong, Korban Disiram dengan Air cabai
Bayar Utang Teman Rp200ribu, Gadis di Lampung Ini Dirudapaksa di Gubuk, Kedua Pelaku Masih ABG
Reza Indragiri mengatakan, ada kesimpangsiuran tentang bagaimana mendudukkan hukuman kebiri dalam hukum di Indonesia.
Reza Indragiri mengajak untuk membandingkan pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise dan Khofifah Indar Parawansa saat menjabat Menteri Sosial.
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise beberapa kali mengatakan kepada tersangka, bahwa yang bersangkutan dihukum kebiri.
"Nanti kamu akan dihukum kebiri lho!. Jadi aksentuasi (penekanan kata) itu hukuman," ujar Reza Indragiri menirukan pernyataan Menteri Yohana Yembise.
Dia menilai, pernyataan Menteri Yohana Yembise lebih kepada keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan).
"Bahwa karena pelaku sudah melakukan kekejian, maka hukumannya adalah kekejian pula, kesadisan. Harus dibikin sakit, itu retributif," kata Reza Indragiri.
Namun dalam sebuah diskusi terpisah dengan Khofifah Indar Parawansa saat menjabat Menteri Sosial, perlu juga untuk melihat apa yang terjadi di Jerman.
Dalam diskusi tersebut, kata Reza Indragiri, disebutkan bahwa keberhasilan Jerman disebabkan karena filosofi hukuman kebiri bukan sebagai hukuman retributif tapi rehabilitatif.
Dari dua pendapat ini, kata Reza Indragiri, di antara dua menteri yang masing punya saling keterkaitan masih punya perbedaan pandangan dalam memposisikan hukuman kebiri.
"Ternyata masih bersilang sengketa bagaimana memposisiskan kebiri dalam hukum di Indonesia," kata Reza Indragiri.
Bakal seberapa efektif hukum kebiri menekan angka kekerasan seksual terhadap anak? Reza Indragiri mengajak untuk melihat negara-negara yang sudah memberlakukan kastrasi kimiawi atau kebiri kimiawi.
Perlu digaris bawahi, kata Reza Indragiri, bukan hukuman kebiri semata yang menjadi penyebab menurunnya angka kekerasan seksual terhadap anak di negara-negara tersebut, tapi juga karena adanya kesadaran.
Di negara-negara yang memberlakukan hukuman kebiri sebagai sarana rehabilitasi, hukuman kebiri tidak 'dijatuhkan' oleh hakim secara sepihak kepada terdakwa.
"Tapi hakim melakukan dialog kepada pelaku. Pelaku yang kemudian mengatakan yang mulia tolong saya dikastrasi. Karena saya sadar aoa yang saya lakukan ini adalah salah. Namun, kesadaran tidak selalu sejalan dengan birahi. Itu sebabnya tolong birahi saya dimatikan, caranya, dengan kastrasi kimiawi," kata Reza Indragiri.
Dialog seperti ini menurutnya tak bisa dilakukan di Indonesia.
Pasalnya, sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan sesuai hasil pengadilan di Mojokerto, dialog ini tidak berlangsung.
Kebiri, dianggap sebagai hukuman dan bukan sebuah penanganan.
"Sebuah hukuman yang secara sepihak dijatuhkan oleh hakim 'tanpa' mempedulikan aspirasi atau kehendak adri terdakwa," kata Reza Indragiri.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice (ICJR) Anggara Suwahyu mengatakan, apa yang terjadi inilah yang dalam laporan LCJR disebut sebagai kebangkitan Penal Populism.
Dalam konteks ini, pemerintah membuat kebijakan memperberat hukuman untuk merespons kemarahan masyarakat.
Undang-Undang Perlindungan Anak menurutnya telah 2 kali berubah, dalam perubahan pertama hukuman diperberat dan dalam perubahan kedua diperberat lagi.
"Sampai ada hukuman mati bahkan. Tapi problemnya, apakah itu akan menurunkan angka kejahatan seksual?," kata Anggara Suwahyu.
Menurut Anggara Suwahyu, angka kekerasan seksual terhadap anak tidak akan turun karena tidak ada penjelasan dalam perubahan-perubahan Undang-Undang tersebut.
"Karena tidak ada penjelasan. Ketika dalam perubahan pertama kan alasannya sama untuk menurunkan angka kekerasan seksual diperberat hukuman. Ketika perubahan kedua sama, pemerintah akan memperberat tapi tidak ada evaluasi apakah perubahan pertama ini berhasil menurunkan angka kekrasan seksual," kata Anggara Suwahyu.
Yang kedua, fokus Undang-Undang ini, dan juga hampir semua Undang-Undang adalah pelaku.
Sementara rehabilitasi untk korban kekerasan seksual tidak ada.
"Karena itu saya bilang kebangkitan penal populism. Jadi karena masyarakat marah, kemudian pemerintah membuat kebijakan untuk merespons kemarahan masyarakat. Seolah-olah persoalan selesai," kata Anggara Suwahyu.
Dia juga mengaku sepakat dengan Reza Indragiri, bahwa keberhasilan hukuman kebiri di Jerman karena menerapkan hukuman kebiri sebagai voluntary.
"Jadi terpidana menyatakan diri secara sukarela untuk dikastrasi," ujar Anggara Suwahyu.
(*)