Hasto Nilai Revisi UU KPK Penting, Hindari Penyalahgunaan Kewenangan

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK), merupakan hal penting harus dilakukan

Editor: Samir Paturusi
TribunKaltim.Co/Muhammad Fchri Ramadhani
Politisi Senior PDIP Hasto Kristianto 

TRIBUNKALTIM.CO,JAKARTA -Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK),  merupakan hal penting harus dilakukan, untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan lembaga antirasuah tersebut. 

Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menilai, revisi ini untuk perbaikan dan dalam semangat untuk perbaikan.

 Hasto mengatakan, ada berbagai kelemahan di KPK terkait penyalahgunaan kekuasaan.

Kata dia, hal itu terlihat dari adanya kepentingan politik yang mewarnai keputusan yang diambil KPK, contohnya kasus-kasus yang penyidikannya berjalan lambat.

Ia juga mengatakan, revisi UU KPK dilakukan agar pengawasan terhadap KPK semakin diperkuat.

Melalui revisi itu pula, Hasto berharap KPK lebih mengedepankan pencegahan korupsi.

Hal itu sejalan dengan pidato Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya pada Sidang Bersama DPR-DPD 16 Agutus 2019.

"Ada juga spirit untuk meningkatkan sinergitas antar-lembaga penegak hukum, tetapi sekaligus untuk memperbaiki. Jadi revisi ini semuanya dalam semangat untuk perbaikan," kata Hasto, Jumat (6/9/2019) seperti dilansir dari Tribunnews.Com

Dewan Perwakilan Rakyat diam-diam mempersiapkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( RUU KPK).

Proses konsolidasi dan lobi-lobi yang dilakukan di belakang layar membuat revisi berjalan mulus.

Proses menghidupkan lagi revisi UU KPK yang sempat tertunda beberapa kali ini dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Namun, agenda rapat terbaru mengenai pembahasan RUU KPK ini tidak pernah terpublikasikan atau diliput media.

Tiba-tiba saja, pada Kamis (6/9/2019) kemarin, DPR menggelar rapat paripurna yang salah satu agendanya adalah mengesahkan RUU KPK menjadi inisiatif DPR.

"Apakah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui menjadi usul DPR RI?" tanya Wakil Ketua DPR Utut Adianto selaku pimpinan rapat.

Seluruh anggota DPR yang hadir pun kompak menyatakan setuju.

Tidak ada fraksi yang mengajukan keberatan atau interupsi.

Juga, tidak ada juga perdebatan antara parpol pendukung pemerintah dan papol koalisi.

Tok!

Utut pun langsung mengetok palu sidang tanda diresmikannya revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR.

Lima Poin Penting 

Wacana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU KPK) kembali muncul setelah sekian lama mengendap di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Bagaikan operasi senyap, DPR tiba-tiba menggelar rapat paripurna pada Kamis (5/9/2019) untuk membahas usulan Badan Legislasi (Baleg) atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Padahal, wacana revisi undang-undang ini sudah mengendap di DPR sejak beberapa tahun terakhir.

Tak perlu waktu lama, dalam rapat paripurna, semua fraksi menyetujui dilakukannya revisi terhadap undang-undang ini.

Ketuk palu Wakil Ketua DPR Utut Adianto selaku pimpinan rapat pun menjadi pertanda bahwa rancangan revisi UU KPK telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR.

Namun demikian, rancangan revisi UU ini menuai kritik.

Sejumlah pihak angkat bicara bahwa poin-poin revisi tersebut justru bakal melemahkan KPK.

• Hasil Akhir Thailand vs Vietnam, Peluang Indonesia Semakin Berat

• Mobil Esemka Siap Diluncurkan Besok, Berikut Kisaran Harganya

• Contoh Soal CPNS 2019 dan P3K/PPPK Ramai Beredar Jelang Pendaftaran Dibuka, Begini Tanggapan BKN

• Di Depan Anies Baswedan, Hotman Paris Mengaku Takut Ibu Kota Dipindah dari Jakarta

Apa saja poin yang dimaksud?

1. KPK tak lagi independen

Salah satu poin revisi UU KPK mengatur tentang kedudukan KPK yang berada pada cabang eksekutif.

Dengan kata lain, jika revisi undang-undang ini disahkan, KPK akan menjadi lembaga pemerintah.

"Penataan kelembagaan KPK dilaksanakan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, di mana dinyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari cabang kekuasaan pemerintahan. Komisi Pemberantasan Korupsi termasuk ranah kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah (regeringsorgaan–bestuursorganen)," demikian bunyi penjelasan umum rancangan revisi UU KPK.

Adapun status KPK selama ini bukan bagian dari pemerintah, melainkan lembaga ad hoc independen.

Kendati demikian, berdasarkan revisi UU KPK, meski nantinya berstatus lembaga pemerintah, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK bersifat independen.

Baca juga :

 Satu dari 10 Nama Capim KPK Buat Sejumlah Pihak Gelisah, Moedoko Sebut Tak Perlu Khawatir

 Capim KPK Diterpa Isu Miring Langsung Dicoret? Ini Kata Komisi DPR yang Tangani Fit and Proper Test

Namun, jika revisi UU KPK ini disahkan, pegawai KPK ke depan akan berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Dengan demikian, mereka harus tunduk pada Undang-Undang ASN.

2. Dimonitor dewan pengawas

Revisi Undang-Undang menyebutkan pembentukan dewan pengawas KPK.

Setidaknya, ada tujuh pasal yang khusus mengatur tentang dewan pengawas tersebut, yaitu Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G.

Berdasarkan Pasal 37A, dewan pengawas dibentuk dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.

Dewan pengawas bersifat nonstruktural dan mandiri.

Anggota dewan pengawas berjumlah lima orang dengan masa jabatan empat tahun.

Seseorang dapat menjadi dewan pengawas apabila ia berusia minimal 55 tahun dan tidak tergabung dalam partai politik.

Dewan pengawas dipilih oleh DPR berdasar usulan presiden.

Adapun presiden dalam mengusulkan calon anggota dewan pengawas dibantu oleh panitia seleksi (pansel).

Selain mengawasi tugas dan wewenang KPK, dewan pengawas berwenang dalam 5 hal lainnya.

Pertama, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

Kedua, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.

Selain itu, bertugas melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK serta menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK.

3. Izin untuk menyadap

Jika selama ini KPK bebas melakukan penyadapan terhadap terduga tindak pidana korupsi, dalam rancangan Undang-Undang KPK, disebutkan bahwa lembaga antirasuah itu harus mendapat izin tertulis dari dewan pengawas sebelum menyadap.

Setelah kantongi izin, KPK dapat melakukan penyadapan maksimal selama tiga bulan sejak izin diberikan.

Penyadapan yang telah selesai juga harus dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK serta dewan pengawas paling lambat 14 hari setelah penyadapan selesai.

Hasil penyadapan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12D, bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam pemberantasan korupsi.

Hasil penyadapan yang tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani KPK wajib dimusnahkan segera. 

Baca juga :

 Bupati Muara Enim OTT KPK, Aktivitas Pelayanan Publik Tetap Berjalan Seperti Biasa

 Daftar 10 Nama Calon Pimpinan KPK yang Diserahkan ke Presiden, Pengamat Beri Peringatan

4. Terbitkan SP3

Salah satu poin dalam revisi Undang-Undang KPK ini ialah kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 40 Ayat 1 yang berbunyi,

"Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun".

Penghentian penyidikan dan penuntutan nantinya harus dilaporkan ke dewan pengawas KPK dalam jangka waktu satu pekan terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.

Namun demikian, jika ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan, pimpinan KPK dapat mencabut surat SP3.

5. Asal penyelidik dan penyidik

Draf revisi UU KPK ini juga mengatur soal asal penyelidik dan penyidik.

Dalam UU KPK yang saat ini berlaku, tidak ditegaskan bahwa penyelidik KPK harus berasal dari Polri.

Namun, dalam revisi UU Pasal 43 disebutkan bahwa penyelidik harus diangkat dari Kepolisian RI.

Sementara itu, mengenai penyidik yang diatur dalam Pasal 45, UU yang saat ini berlaku menyebutkan bahwa penyidik KPK adalah yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

UU revisi mengatur lebih jelas ketentuan tersebut, bahwa penyidik diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Dinilai bisa lemahkan KPK

Saat wacana revisi UU KPK mengemuka pada 2017, keenam poin ini mendapat kritik dari kalangan pegiat antikorupsi.

Mereka mengkhawatirkan rencana tersebut akan melemahkan kewenangan KPK.

Sebab, beberapa ketentuan revisi dianggap akan berimplikasi pada kewenangan KPK.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Miko Ginting menilai, revisi UU KPK belum diperlukan.

Pertama, ia berpendapat konsep pembentukan dewan pengawas tidak jelas dan dapat bertentangan dengan UU KPK.

Begitu juga kewenangan dewan pegawas dalam menyusun kode etik untuk pimpinan KPK.

Sistem kontrol di internal KPK, menurut Miko, telah tercipta melalui pengambilan keputusan yang tidak didasari pada satu orang.

Kedua, terkait penyadapan melalui izin dewan pengawas.

Miko menuturkan, hal ini mencampuradukkan kewenangan pengawasan lembaga dengan pengawasan terhadap kewenangan pro justitia.

Sementara itu, dalam UU KPK saat ini, penyadapan dilakukan atas izin pimpinan KPK.

Miko juga mengkritik soal kewenangan SP3.

Ia memandang KPK tidak perlu memiliki kewenangan menerbitkan SP3.

Selama ini, adanya tersangka atau terdakwa yang sakit keras dan meninggal memang menjadi alasan agar KPK memiliki ketentuan SP3.

"Saya kira tidak ada urgensinya mengingat conviction rate KPK masih cukup baik sejauh ini. Apabila ada tersangka atau terdakwa yang sakit keras atau meninggal, KPK bisa mengajukan tuntutan bebas ke pengadilan," ucap Miko.

(*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved