Film
Polemik Film The Santri, KH Imam Jazuli: Menakar Respon Instan Atas Trailer Film The Santri
Ya film The Santri menjadi polemik meski film yang disutradarai Livi Zheng ini belum juga dilaunching.
Hadits-hadits di atas tidak saja mendukung bolehnya ikhtilath, bercampurnya laki-laki dengan perempuan dalam batas yang kewajaran, tetapi juga menjadi dalil bagi bolehnya perempuan menyisiri rambut laki-laki bukan muhrimnya. Mungkin karena melihat ada kelonggaran hukum ikhtilat disini, sebagian para kiai masih membiarkan santriwan dan santriwatinya campur dalam satu kelas, sebagai hal yang wajar dan tidak perlu dicurigai secara berlebihan.
Memang, kritik yang didasari kebencian dan bukan semata ilmu pengetahuan, menyisakan banyak celah. Hal itu terlihat pula saat mereka memaknai alur percintaan (love story) dalam film The Santri dengan mengabaikan prinsip penting yang secara jelas-jelas tertulis pada layar kaca dalam thriller film itu, yakni "friendship". Kata lain friendship adalah ukhuwah atau persaudaraan.
Adegan penyerahan buku oleh santri putra kepada santri putri sebelum berangkat ke Amerika adalah ikatan ukhuwah. Sehingga 'love story' hanyalah bumbu film, dan tidak lebih dari sekadar pemanis. Film tanpa kisah cinta akan terasa kering dan tidak menyentuh. Apalagi benih cinta bukan perkara dosa, bukan aib, apalagi menjadi pembusukan akhlak.
Sebaliknya, cinta adalah watak alamiah manusia, dan bekal spiritualitas. Maulana Rumi dalam sebuah risalah cintanya mengutip sebuah hadits. Pada waktu itu, seorang sahabat duduk di samping Nabi. Tiba-tiba seorang tokoh pembesar dari sukunya keluar dari arah masjid. Sahabat itu berkata pada Nabi, "wahai Rasul, saya kagum pada dia!" Jawab Nabi, "ungkapkanlah!". Kagum di sini adalah bentuk persahabatan (friendship).
Pergeseran wacana ke ranah seni memang menarik. Tempo hari, Ustad Abdul Somad (UAS) mengkafir para penggemar K-Pop dan film drama Korea. Sekarang, ustad-ustad milenial ini mengkritik film. Modal mereka tetap sama, ideologi takfiri dan tadhlili, pengkafiran dan tuduhan sesat terhadap kelompok lain, sekalipun di luar kapasitas intelektual mereka.
Film adalah satu dimensi intelektualitas yang menggabung banyak aspek, seperti seni akting, pentas, koreografi, bahkan lighting dalam pengambilan gambar, pembuatan teks skenario, dan lainnya. Ranah kesenian adalah dunia lain di luar kapasitas ustad-ustad milenial tersebut. Syeikh Muhammad Qutub mengatakan, al-fann al-islami laisa bid dhorurah. Kesenian dalam Islam bukan perkara substansial (Muhammad Qutub, Minhajul Fann al-Islami, Beirut: Dar as-Syuruq, 1983, h. 6).
Artinya, seni Islami bukan ranah agamawan. Sebaliknya, Muhammad Qutub menekankan bahwa seni Islam mempertahankan dua hal: al-Jamal (aspek estetika) dan al-Haqq (aspek kebenaran). Estetika adalah al-haqiqah fi hadzal kawn, substansi kehidupan. Sedangkan kebenaran adalah dzurrah al-jamal, inti keindahan (Muhammad Qutub, Minhajul Fann al-Islami, 1983: 15 dan 71).
Perlunya Kearifan
Ustad-ustad selebritis hendaklah lebih banyak belajar dan membaca dari pada banyak berfatwa. Masih hangat dalam ingatan beberapa hari lalu ustad Abdul Somad (UAS) mengkafir-kafirkan para penggemar K-Pop dan film drama Korea. Lalu komunitas ustad-ustad milenial macam ini mencari garapan baru dengan mengkritik thriller film The Santri. Polanya tetap sama: berlebihan dan tergesa-gesa dalam berfatwa.
Padahal, trailer film sejak awal menampilkan seorang ustad yang mendidik karakter para santrinya, agar mereka percaya pada kemampuan diri sendiri maupun kepada mimpi yang ingin mereka raih. Ini adalah prinsip kebenaran. Dibumbui dengan adegan olahraga pancaksilat sebelum disusul oleh shalat berjamaah. Lalu apa yang bukan kebenaran?
Kebenaran lain, dengan tegas thriller itu mengatakan, santri adalah entitas yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah Indonesia. Ini adalah narasi soal nasionalisme. Namun, para pengkritik mungkin dihantui rasa takut karena muncul kalimat yang berbau Amerika. "Enam di antara kalian (santri) yang terpilih akan berangkat dan bekerja di Amerika. Buatlah bangga negaramu!"
Jika sutradara film The Santri maupun penulis skenarionya memaksudkan kalimat "siapa yang terpilih akan berangkat dan bekerja di Amerika" sebagai spirit belajar sains dan teknologi, maka film ini sudah benar dalam kategori Muhammad Qutub tentang batasan seni Islam. Namun begitu, cara komunitas NU sejati dengan orang-orang non-NU itu memang berbeda dalam memaknai Amerika.
Mayoritas intelektual-intelektual NU tidak pernah memilah-milah ilmu pengetahuan, antara agama dan sekuler. Antara Amerika, Eropa dan Timur Tengah. Karenanya, intelektual NU sebagian belajar di Timur Tengah dan sebagian di Eropa dan Amerika. Nasionalisme, pluralisme, menjadi konsumsi harian mereka. Tidak perlu heran kemudian bila dalam film The Santri ada cuplikan adegan Santri masuk Gereja membawa Tumpeng, sebab itu menandakan bahwa Tumpeng sebagai kreasi budaya dapat menyatukan Islam dan Gereja.
Persatuan Islam dan Gereja tidak akan pernah dikehendaki oleh musuh-musuh Islam. Cara paling gampang menandai musuh Islam adalah mereka memanfaatkan nama Islam untuk merusak segala hal, termasuk merusak persatuan dan kesatuan, merusak kerukunan. Ayat-ayat, hadis dan sunnah, bahkan logika dan argumentasi mereka berbalut Islam untuk membawa kehancuran dan menimbulkan fitnah.
Itulah kebenaran-kebenaran (al-Haqq) yang terdapat di dalam keindahan estetik (al-jamal) film The Santri. Kebenaran perlu dibicarakan terlebih dahulu karena al-Haqq adalah Dzurratul Jamal. Lalu apa al-Jamal dalam film The Santri? Sepeti potongan penutup thriller tersebut, "friendship" persahabatan antara santri putra dengan santri putri yang terpisahkan oleh takdir; satu pergi ke Amerika untuk belajar dan satu melanjutkan studi di Indonesia. Ini hanya persoalan kedua, menurut kategori Muhammad Qutub.
Film The Santri sudah memenuhi kategori sebagai Seni Islam, yaitu at-ta'bir al-jamil 'an haqoiqul wujud min zawiyatut tashawwur islami, mengekspresikan keindaham tentang kebenaran-kebenaran wujud dengan cara yang Islami (Qutub, Minhajul Fann, 1983: 171). Olahraga, pendidikan karakter, nasionalisme, pluralisme, dan ukhuwah (friendship) adalah hakikat-hakikat kebenaran yang merupakan inti dari estetika Islam.
Anwar al-Jundi dalam Kitab Kaifa Yahtafizhul Muslimun biz Dzatil Islamiyah mengatakan, kesenian dalam Islam itu adalah upaya transformasi nilai (qiyam), gagasan (afkar), dan empati (masyair) kepada orang lain, dengan cara-cara estetis, membekas dalam jiwa audiens (al-Jundi, Kaifa Yahtafizhu, Beirut: Tsaqafiyah, 1985). Bagaimana cara hati audiens tersentuh? Tentu saja relatif, sesuai spirit jaman. Jika roman dan drama adalah cara yang populer di suatu jaman maka drama pun bisa dipakai sebagai wasilah. Dan hal itu tidak menyalahi aturan Islam.