Semua Aspek Sudah Diperhitungkan, Begini Cara Warga Adat Dayak Berladang

Sejumlah tokoh adat masyarakat Kabupaten Berau, yang tergabung dalam lembaga adat Kung Kemul mendatangi Polres Berau

TRIBUN KALTIM/ GEAFRY NECOLSEN
Aktivitas membakar lahan untuk membuka lahan pertanian sudah dilakukan secara turun temurun oleh warga suku Dayak di Kabupaten Berau. Banyak aspek yang dipertimbangkan. Jenis tanaman, luas lahan semua sudah diperhitungkan sebelum lahan mulai dibuka untuk menghindari kerusakan hutan. 

“Di tempat kami di (Kecamatan) Kelay atau Segah, kami selalu membantu sosialisasi aparat keamanan (dari TNI/Polri).

Kami ikut membantu menjelaskan adat istiadat kami. Kami jelaskan, apa yang kami lakukan itu tidak melanggar adat,” imbuhnya.

Dalam adat Dayak, warga yang membakar lahan, kemudian api melahap lahan milik tetangganya, maka akan dikenai sanksi adat.

“Kalau ada kerugian, misalnya saya bakar di ladang saya. Tapi tetangga saya merasa dirugikan karena lahanya ikut terbakar, ada hukum adatnya.

Karena tidak ada irigasi di area perbukitan, masyarakat di daerah pedalaman umumnya bertani dengan pola ladang berpindah. Ladang yang sudah dipanen biasanya ditinggal dalam beberapa musim untuk mengembalikan kesuburan tanah dan petani mencari lahan baru yang belum pernah ditanami.
Karena tidak ada irigasi di area perbukitan, masyarakat di daerah pedalaman umumnya bertani dengan pola ladang berpindah. Ladang yang sudah dipanen biasanya ditinggal dalam beberapa musim untuk mengembalikan kesuburan tanah dan petani mencari lahan baru yang belum pernah ditanami. (TRIBUN KALTIM/ GEAFRY NECOLSEN)

Kung Kemul biasanya menghadirkan tokoh adat untuk musyawarah bersama tetua adat (menentukan sanksi) agar tidak bertetangan dengan (hukum) adat Dayak,” katanya lagi.

Kung Kemul mengklaim, selama ini pihaknya tidak pernah menemukan ada kasus kebakaran hutan dan lahan yang melibatkan masyarakat adat.

Pasalnya, kata Edwin, luas lahan yang dibakar umumnya kurang dari dua hekatre. Bahkan sangat jarang sampai satu hektare.

“Tidak mungkin masyarakat kami berladang seluas-luasnya. Karena kalau sebesar itu (lebih dari satu hektare) pasti membutuhkan tenaga ratusan orang,” ujarnya.

Selama ini masyarakat adat Dayak bercocok tanam hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, tidak lebih dari itu. Itu sebabnya, ladang yang dimiliki masyarakat adat tidak ada yang sampai berhekatr-hektare luasnya.

“Kalau terkait perkebunan sawit (yang biasanya membutuhkan lahan yang sangat luas), kami tidak tahu dan tidak ikut campur.

Karena masyarakat kami berlandang itu biasanya hanya menanam padi, jagung atau bahan makanan saja,” ungkapnya.

Edwin menambahkan, belum lama ini Kung Kemul menemui Wakil Bupati Berau dan jajaran Polres Berau untuk meminta kebijakan terkait pembukaan lahan dengan cara dibakar.

Masyarakat adat Dayak, menurut Edwin selalu diresahkan dengan prosedur izin pembakaran.

“Karena masyarakat adat ini kebanyakan tidak mengenyam pendidikan. Apalagi orang-orang tua, kalau yang muda kami sosialisasikan mereka sudah paham.

Minimal mereka melapor ke kepala kampung. Selama ini mereka tahunya ini lahan mereka, ya mereka bakar untuk buka ladang, untuk hidup dan untuk makan mereka,” jelasnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved