Kisah Tapol G30S/PKI di Balikpapan, Dituduh Ikut Pemuda Rakyat, Dipecat dari Tentara dan Diisolasi

Muradi pernah ditempatkan bertugas di Batalyon 609 dan menjadi penjaga rumah Panglima Kodam Mulawarman. Dan di tahun 1970 sebagai tahanan politik PKI.

Penulis: Ilo | Editor: Rafan Arif Dwinanto
Kolase Tribunkaltim.co/YouTube
ILUSTRASI Pemuda sukarelawan di era tahun 1964 Indonesia. 

Diperintah untuk pergi ke Balikpapan. Pergi ke Balikpapan ditahan.

"Saya dituduh ikut BTI. Saya bilang saya hanya petani tidak ikut politik, tidak punya niat membunuh jenderal," ungkapnya.

Penetapan sebagai tahanan politik Wirya tanpa melalui proses pengadilan. Dirinya langsung dijebloskan ke penjara.

Namun untungnya, selama dipenjara tidak disiksa hingga menyakitkan. Wirya hanya diisolasi tidak boleh pulang kerumah menemui keluarga.

Pernah Wirya dilempar ketahanan yang ada di Kota Samarinda.

Selama dilempar di Samarinda, Wirya diperlakukan berbeda, bukan dikurung namun dijadikan pelayan para tentara.

"Disuruh buatkan minum kopi. Buat teh. Kadang disuruh pijat," tuturnya.

Sebelum adanya Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, pengaruh ideologi seperti Partai Komunis Indonesia di Kota Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur sangat terasa.

Redupnya pengaruh PKI atau Partai Komunis Indonesia di Kota Balikpapan kala Gerakan 30 September atau istilah popupernya G30S/PKI, telah pecah.

Geliat sosial masyarakat yang bersimbolkan PKI sudah tidak lagi terlihat. Tetapi berbeda kala belum ada G30S/PKI, ada saja aktivitasnya, terutama di sendi-sendi kesenian masyarakat.

Nuansa inilah yang digambarkan oleh Prajitno Joyodiharjo Koesman saat bersua dengan Tribunkaltim.co di kediamannya Gunung Guntur Kota Balikpapan pada Rabu 27 September 2017 pagi.

Sosok Koesman, yang pernah juga menjadi bagian dari sejarah perang kemerdekaan Indonesia, pernah merasakan juga hidup di era orde lama.

Nah, Koesman pun tahu betul dinamika sosial dan pergolakan politik Balikpapan era tahun 1950 sampai 1960-an.

Satu halnya serapan gerakan kiri komunisme sosialisme yang selalu menggelorakan jargon anti kolonialisme dan kapitalisme.

Menurut Koesman, Gerakan 30 September belum terjadi, belum viral, denyut-denyut bernuansa pengaruh PKI terasa.

Seperti halnya pentas seni musik dan drama, yang populernya disebut seni ludruk.

Kata Koesman, ludruk yang terlindungi dalam PKI disebut Ludruk Proletar.

Yang aksi panggungnya sangat tenar di tengah kehidupan masyarakat Balikpapan, Kalimantan Timur.

Nah, Ludruk Proletar ini sering tampil, diundang di acara-acara pernikahan.

Ketika unjuk gigi, kesenian ludruk ini tidak secara vulgar mengkampenyekan garis perjuangan dan visi misi PKI.

Tetapi aksi panggungnya ada pesan yang bermakna ke arah kepentingan PKI, kala itu.

Seperti halnya, yang Koesman pernah saksikan, pementasan Ludruk Proletar mensusupi aksi seninya dengan bumbu-bumbu yang bermuara ke basis ideologi PKI.

Ada lakon yang mengatakan kepada penonton para penikmat ludruk.

“Enaknya kerja apa? Ya jadi petani," tutur Koesman, ingat kala itu.

Kalau mau bertani enaknya gabung ke BTI atau Barisan Tani Indonesia yang notabene selalu dikaitkan dengan arah gerakan PKI.

"Bingung dagangan tidak laku-laku? Ya gabung saja ke Gerwani," cerita Koesman.

"Ada buruh tidak naik pangkat pendapatan selalu sedikit ? Biar enak gabung ke serikat buruh saja,” kata Koesman yang mengulangi lagi perkatan-perkataan sang lakon drama di Ludruk Proletar.

Hal ini Koesman menganalisis, pengaruh PKI mengakar di warga Balikpapan kala itu tidak terlepas juga dari kekuasaan di pemerintah pusat.

Nah, Koesman beranggapan, di kabinet waktu itu banyak diisi orang-orang berhaluan kiri PKI dan Presiden Soekarno pun juga akrab dengan beberapa pentolan PKI.

(Tribunkaltim.co/BudiSusilo)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved