Kisah Tapol G30S/PKI di Balikpapan, Dituduh Ikut Pemuda Rakyat, Dipecat dari Tentara dan Diisolasi

Muradi pernah ditempatkan bertugas di Batalyon 609 dan menjadi penjaga rumah Panglima Kodam Mulawarman. Dan di tahun 1970 sebagai tahanan politik PKI.

Penulis: Ilo | Editor: Rafan Arif Dwinanto
Kolase Tribunkaltim.co/YouTube
ILUSTRASI Pemuda sukarelawan di era tahun 1964 Indonesia. 

TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Muradi Kaswan, 75 tahun, merasa nelangsa.

Kesedihan terangkat kembali ketika menceritakan kisah pahitnya sekitar tahun 1970.

Yang dituduh sebagai orang pengikut Partai Komunis Indonesia atau PKI di wilayah Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.

Muradi adalah bagian satu di antara tentara Angkatan Darat waktu itu, yang terseret dalam gejolak politik 30 September 1965.

"Saya dituduh ikut Pemuda Rakyatnya PKI. Saya bilang saya tidak pernah ikut Pemuda Rakyat," tuturnya kepada Tribunkaltim.co di Argosari, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, sekitar akhir September 2017 lalu.

Sebagai tentara yang pernah menempuh pendidikan tempur, Muradi pernah ditempatkan bertugas di Batalyon 609 dan menjadi penjaga rumah Panglima Kodam Mulawarman.

Tugas negara ini dia emban sebelum dirinya ditangkap di tahun 1970 sebagai tahanan politik atau tapol PKI.

"Sedih. Saya masih sakit kalau ingat sampai sekarang," ungkapnya. 

Dahulu saya sempat mau gila.

"Untung teman-teman saya yang tapol memberi dukungan moril," ujarnya.

Kronologis Muradi ditangkap awalnya sepulang dari dinas dan ingin pulang ke asrama tentara tiba-tiba ada rekan tentara yang lainnya datang menghampiri.

"Saya sudah tiba di asrama. Buka sepatu, lalu datang teman saya.

Di bilang saya dipanggil sama komandan," ungkapnya.

Petunjuk tersebut Muradi layani.

Pergi kekomandannya, menghadap langsung pada hari itu juga.

Setiba di lokasi diintogerasi, langsung mengarah kalau dirinya terlibat pada kegiatan politik di Pemuda Rakyat.

"Tidak tahu apa-apa soal Pemuda Rakyat," tuturnya.

Muradi mengaku, tidak bergabung di Pemuda Rakyat namun hanya mengenal orang-orang Pemuda Rakyat.

Karena pada saat itu dirinya pernah ditugaskan untuk menjaga tapol yang sudah ditangkap.

Yang kebanyakan adalah warga sipil yang tergabung dalam Pemuda Rakyat.

Pada rentang waktu tahun 1965 sampai 1969, Muardi masih tentara.

Pria kelahiran Nganjuk ini pernah berjaga, ditugaskan untuk mengamankan orang-orang tahanan PKI di Pelengkung.

"Setiap apel kenal saja. Saya kenal orang-orang PKI dari tahanan waktu jam menjaga," katanya.

"Kenal bukan dari bergabung di Pemuda Rakyat," katanya.

Atas tuduhan berfusi dalam Pemuda Rakyat, Muradi dijebloskan kepenjara tanpa melalui proses pengadilan.

Momen ini terjadi sekitar tahun 1970. Tuduhan yang dialamatkan ke dirinya membuat Muradi murung, sakit hati.

Muradi merasa difitnah, selama dirinya menjadi tentara tidakpernah masuk ke dunia politik praktis.

"Ditodong senjata. Saya disuruh melepas semua seragam tentara saya," ujarnya.

"Disuruh angkat tangan lalu masuk ke sel penjara," tutur Muradi yang lahir pada 6 Maret 1942 ini.

Anehnya, selama di penjara Muradi tidak pernah mendapat kabarakan disidangkan di pengadilan militer.

Perlakuan Muradi di penjara sebaliknya, dianggap seperti bukan manusia.

Nah, Muradi mendapat siksaan fisik yang pedih.

Tubuhnya yang masih muda, waktu itu sering mendapat bogeman mentah, dituduh Pemuda Rakyat.

"Awalnya saya dikasih makan. Sudah selesai makan dihantam sana sini. Badan disiksa," ujarnya.

Paling menyedihkan lagi, Muradi pernah diborgol bersama tahanan politik lainnya.

Pemborgolan Muradi berbarengan dengan tahanan lainnya.

Saat akan buang air kecil dan air besar, tidak dilepas harus sama-sama dengan kawan yang diborgol.

"Tangan saya diborgol. Sampai sakit pergelangan tangan saya," kata Muradi.

Tidak hanya Muradi, ada Wirya Wikrama, 60 tahun, yang bernasib sama.

Bedanya Wirya bukan seorang tentara tetapi orang sipil transmigran dari Karang Anyar Jawa Tengah.

Daerah transmigran yang disinggahi ialah Samboja, Kutai Kartanegara.

Ikut transmigrasi program dari Presiden Soekarno.

Wirya yang sudah memiliki anak satu sekitar tahun 1968 dituduh ikut dalam gerakan Barisan Tani Indonesia atau BTI. 

Kronologisnya, Wirya sedang bertani menanam singkong.

Lalu didatangi pria berbadan tegap menggunakan pakaian sipil.

Diperintah untuk pergi ke Balikpapan. Pergi ke Balikpapan ditahan.

"Saya dituduh ikut BTI. Saya bilang saya hanya petani tidak ikut politik, tidak punya niat membunuh jenderal," ungkapnya.

Penetapan sebagai tahanan politik Wirya tanpa melalui proses pengadilan. Dirinya langsung dijebloskan ke penjara.

Namun untungnya, selama dipenjara tidak disiksa hingga menyakitkan. Wirya hanya diisolasi tidak boleh pulang kerumah menemui keluarga.

Pernah Wirya dilempar ketahanan yang ada di Kota Samarinda.

Selama dilempar di Samarinda, Wirya diperlakukan berbeda, bukan dikurung namun dijadikan pelayan para tentara.

"Disuruh buatkan minum kopi. Buat teh. Kadang disuruh pijat," tuturnya.

Sebelum adanya Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, pengaruh ideologi seperti Partai Komunis Indonesia di Kota Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur sangat terasa.

Redupnya pengaruh PKI atau Partai Komunis Indonesia di Kota Balikpapan kala Gerakan 30 September atau istilah popupernya G30S/PKI, telah pecah.

Geliat sosial masyarakat yang bersimbolkan PKI sudah tidak lagi terlihat. Tetapi berbeda kala belum ada G30S/PKI, ada saja aktivitasnya, terutama di sendi-sendi kesenian masyarakat.

Nuansa inilah yang digambarkan oleh Prajitno Joyodiharjo Koesman saat bersua dengan Tribunkaltim.co di kediamannya Gunung Guntur Kota Balikpapan pada Rabu 27 September 2017 pagi.

Sosok Koesman, yang pernah juga menjadi bagian dari sejarah perang kemerdekaan Indonesia, pernah merasakan juga hidup di era orde lama.

Nah, Koesman pun tahu betul dinamika sosial dan pergolakan politik Balikpapan era tahun 1950 sampai 1960-an.

Satu halnya serapan gerakan kiri komunisme sosialisme yang selalu menggelorakan jargon anti kolonialisme dan kapitalisme.

Menurut Koesman, Gerakan 30 September belum terjadi, belum viral, denyut-denyut bernuansa pengaruh PKI terasa.

Seperti halnya pentas seni musik dan drama, yang populernya disebut seni ludruk.

Kata Koesman, ludruk yang terlindungi dalam PKI disebut Ludruk Proletar.

Yang aksi panggungnya sangat tenar di tengah kehidupan masyarakat Balikpapan, Kalimantan Timur.

Nah, Ludruk Proletar ini sering tampil, diundang di acara-acara pernikahan.

Ketika unjuk gigi, kesenian ludruk ini tidak secara vulgar mengkampenyekan garis perjuangan dan visi misi PKI.

Tetapi aksi panggungnya ada pesan yang bermakna ke arah kepentingan PKI, kala itu.

Seperti halnya, yang Koesman pernah saksikan, pementasan Ludruk Proletar mensusupi aksi seninya dengan bumbu-bumbu yang bermuara ke basis ideologi PKI.

Ada lakon yang mengatakan kepada penonton para penikmat ludruk.

“Enaknya kerja apa? Ya jadi petani," tutur Koesman, ingat kala itu.

Kalau mau bertani enaknya gabung ke BTI atau Barisan Tani Indonesia yang notabene selalu dikaitkan dengan arah gerakan PKI.

"Bingung dagangan tidak laku-laku? Ya gabung saja ke Gerwani," cerita Koesman.

"Ada buruh tidak naik pangkat pendapatan selalu sedikit ? Biar enak gabung ke serikat buruh saja,” kata Koesman yang mengulangi lagi perkatan-perkataan sang lakon drama di Ludruk Proletar.

Hal ini Koesman menganalisis, pengaruh PKI mengakar di warga Balikpapan kala itu tidak terlepas juga dari kekuasaan di pemerintah pusat.

Nah, Koesman beranggapan, di kabinet waktu itu banyak diisi orang-orang berhaluan kiri PKI dan Presiden Soekarno pun juga akrab dengan beberapa pentolan PKI.

(Tribunkaltim.co/BudiSusilo)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved