Pengamat Hukum Sebut Dorong Jokowi Segera Terbitkan Perppu KPK Sama Saja Menjerumuskan Presiden
Pakar hukum tata negara Feri Amsari menyebut, ada enam hal yang menyebabkan seorang presiden dimakzulkan atau dilengserkan.
TRIBUNKALTIM.CO - Pakar hukum tata negara Feri Amsari menyebut, ada enam hal yang menyebabkan seorang presiden dimakzulkan atau dilengserkan.
Dari enam hal itu, tidak ada poin menyebutkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) oleh presiden bisa menyebabkan pemakzulan.
Pernyataan Feri tersebut menanggapi wacana penerbitan Perppu atas Undang-undang KPK hasil revisi yang hingga kini tak kunjung terelaisasikan.
• Ini Penyebab Presiden Joko Widodo Belum Kunjung Terbitkan Perppu KPK, Masih Terganjal Parpol
• Presiden Joko Widodo Bisa Dimakzulkan dengan 6 Alasan Ini, Tak Termasuk Terbitkan Perppu KPK
• Perppu KPK Jadi Jalan Moderat Bagi Presiden Joko Widodo, Jaga Hubungan dengan Masyarakat dan DPR
• Peneliti LIPI Ungkap 3 Opsi dan Waktu Terbaik Jokowi Terbitkan Perppu KPK, Patokan 17 Oktober
Namun, belakangan muncul anggapan bahwa perppu berpotensi menyebabkan presiden dimakzulkan.
"Ancaman pemakzulan itu tidak masuk akal."
"Karena kan hanya enam kondisi yang kemudian bisa membuat presiden dimakzulkan," kata Feri dilansir Tribunneuwswiki.com dari Kompas.com, Senin (7/10/2019).
Enam hal yang bisa menyebabkan presiden dimakzulkan, pertama, jika presiden terbukti mengkhianati negara. Kedua, presiden terlibat kasus korupsi, dan/atau perbuatan pidana berat lain.
Presiden juga bisa dimakzulkan seandainya ia melakukan perbuatan tercela atau misdemeanor, penyuapan, dan tidak memenuhi lagi syarat sebagai presiden.
"Jadi hanya enam kondisi itu, tidak ada soal perppu, apalagi perppu itu adalah kewenangan konstitusional presiden berdasarkan Pasal 22 Ayat 1," ujar Feri.
Menegaskan pernyataan Feri, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut, presiden tidak akan bisa dimakzulkan sekalipun perppu diterbitkan ketika UU KPK masih diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Bivtri, tidak ada hubungan antara penerbitan perppu dan uji materi. Sebab, perppu berada di ranah eksekutif, sedangkan uji materi ada di ranah yudikatif. "Tidak bisa (dimakzulkan).
Jadi ini juga yang salah kaprah sih," kata Bivitri. "Jadi enggak ada hubungannya antara yang dijalankan di MK dan apa yang akan diputuskan oleh presiden itu enggak ada hubungannya sama sekali," katanya.
Bivitri mengatakan, kewenangan presiden menerbitkan perppu telah diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.
Pasal tersebut menyatakan, "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang".
Dari bunyi pasal itu, tidak ada kondisi-kondisi yang dikecualikan, termasuk jika undang-undang tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
"UU mana pun dicek enggak ada itu," ujar dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengatakan, Presiden Jokowi dan partai-partai pendukungnya sepakat untuk belum akan menerbitkan perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
Alasannya, UU KPK tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk itu, Surya meminta semua pihak menunggu hasil uji materi dari MK.
"Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana (MK), presiden kita paksa keluarkan perppu, ini justru dipolitisasi."
"Salah-salah presiden bisa di-impeach (dimakzulkan) karena itu," ujar Surya, Rabu (2/10/2019).
Presiden Bisa Lengser
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof Dr Romli Atmasasmita, mengingatkan agar tidak mendesak Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU KPK hasil revisi yang disahkan DPR.
Menurut Romli, mendesak presiden untuk segera menerbitkan perppu sama saja dengan menjerumuskan presiden.
"Mereka yang mendorong presiden untuk membuat perppu pembatalan revisi UU KPK menjerumuskan presiden ke jurang kehancuran lembaga kepresidenan," kata Romli dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (4/10/2019).
Romli mengingatkan, penerbitan Perppu KPK sebelum UU KPK hasil revisi sah diundangkan akan melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Jika presiden membuat perppu sebelum sah revisi UU diundangkan, presiden melanggar UU dan dapat di-impeach (lengser)," ucap dia.
Romli Atmasasmita yang merupakan perumus UU KPK tahun 2002 ini menyarankan, presiden segera mengundangkan hasil revisi UU KPK yang telah disahkan DPR pertengahan September 2019 dan mempercepat pelantikan pimpinan KPK yang baru.
"Saran-saran saya agar presiden undangkan saja (revisi UU KPK) dan percepat pelantikan pimpinan KPK baru," kata dia.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Indriyanto Seno Adji berpendapat, penerbitan perppu terkait UU KPK yang baru disahkan DPR bisa inkonstitusional bila tidak ada kegentingan yang memaksa.
"Meskipun penerbitan perppu merupakan hak prerogatif presiden dan bersifat subyektif, tetapi penerbitan perppu terhadap UU KPK menjadi tidak konstitusional.
Sebab, perppu tersebut tidak memenuhi syarat kondisi 'kegentingan yang memaksa', sebagaimana parameter yang disyaratkan Pasal 22 UUD 1945 dan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009," kata Indriyanto, di Jakarta, Kamis (3/10/2019).
Selain itu, kata dia, bila presiden menerbitkan perppu untuk membatalkan UU KPK sehingga UU yang baru itu menjadi tidak sah, akan terjadi overlapping (tumpang tindih) dengan putusan MK nanti.
Apalagi, lanjut dia, bila akhirnya putusan MK nanti menolak permohonan uji materi yang artinya tetap mengesahkan UU KPK yang baru.
"Itu artinya tidak ada kepastian hukum, karena ada tumpang tindih dan saling bertentangan mengenai polemik obyek yang sama, yaitu UU KPK," ucap Indriyanto.
(tribunnewswiki.com/haris)