Gegara Prabowo Subianto dan Maruf Amin, Presiden Jokowi Dapat Cap Negatif dari Dunia Internasional
Gegara Prabowo Subianto dan Maruf Amin, Presiden Jokowi dapat cap negatif dari dunia internasional
TRIBUNKALTIM.CO - Gegara Prabowo Subianto dan Maruf Amin, Presiden Jokowi dapat cap negatif dari dunia internasional.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mendapatkan penilaian negatif dari dunia internasional pada periode kedua jabatannya memimpin Indonesia.
Prabowo Subianto yang kini menjadi Menteri Pertahanan dan Maruf Amin yang menjadi Wapres menjadi beberapa penyebab adanya cap negatif ke Presiden Jokowi dari dunia internasional.
• Ahmad Dhani, Suami Mulan Jameela Bakal Dapat Jabatan Bersama Anies Baswedan, Tunggu Prabowo Subianto
• Seperti Nadiem Makarim, Risa Santoso, Rektor Termuda Diharapkan Bisa Lakukan Ini di Dunia Pendidikan
• Ahok & Antasari Azhar Masuk 5 Calon Dewan Pengawas KPK Diseleksi Jokowi? Bocoran Fadjroel Rachman
• Heboh Kisah Bocah 14 Tahun Menikahi Gadis 20 Tahun, Terungkap Penyebab Kisah Pernikahan Anak
Adalah The Guardian, media asing kenamaan asal Inggris yang memberi opini negatif kepada Presiden Jokowi.
The Guardian, media asal negeri Ratu Elizabeth menulis editorial mengenai kiprah Jokowi memimpin Indonesia.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi biasa menuai pujian dari berbagai media asing, atau luar negeri.
Namun, tidak dari The Guardian, media kenamaan asal Inggris, Negeri Ratu Elizabeth.
Dilansir dari Pos Kupang, The Guardian sebut Jokowi di periode kedua tak bisa diandalkan, apa alasannya?
Presiden Jokowi dengan dengan kabinet Indonesia Maju pada periode kedua kepemimpinannya dinilai tak bisa diandalkan terutama dalam membela hak-hak dasar warga sipil.
Penilaian itu datang dari sebuah media terbitan Inggris, The Guardian.
The Guardian tiba-tiba menulis editorial atau pandangannya soal periode kedua Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Dalam editorial yang diunggah pada Minggu (3/11/2019) itu, The Guardian berpendapat Jokowi tak bisa diandalkan untuk membela hak-hak dasar warganya.
The Guardian memulai tulisannya soal bagaimana Jokowi menyatakan periode kedua dan terakhirnya bakal dijalani tanpa beban.
Namun pertanyaannya, bagaimana kebebasan Jokowi untuk memerintah ini akan terlaksana?
Kemenangan Indonesia atas era otoritarian Orde Baru dinilai penting sebagai model demokrasi bagi Asia dan negara-negara muslim.
Latar belakang Jokowi yang sederhana dan bebas dari kroni Orde Baru mengantarkannya sebagai sosok yang dijagokan.
Ia berhasil meraih kursi gubernur DKI Jakarta, lalu presiden.
"Seperti Obama, dia membawa harapan di tengah politik yang rusak," ujar redaksi The Guardian.
Di periode kedua, Jokowi mengusung slogan kampanye "Indonesia Maju". Namun banyak pendukungnya melihat Indonesia justru sedang berjalan mundur.
Masalah mendesak seperti hak asasi manusia (HAM), toleransi beragama, serta kualitas demokrasi, dinilai malah menurun.
Meskipun langkah Jokowi membangun infrastruktur dan kesejahteraan sosial dipuji, ada kegagalan lain yang membuat Jokowi dikritik.
Di antaranya kegagalan menjegal Korupsi dan kekerasan.
Kemudian memberi lahan bagi kelompok Islam garis keras alih-alih menekan mereka.
Jokowi dinilai sadar soal masalah ini sebagai penghambat kebijakan ekonominya yang dipuji.
"Wakil Presiden yang baru, Maruf Amin, adalah ulama Islam konservatif yang kuat.
Ia punya sejarah intoleransi terhadap penganut agama minoritas dan kelompok LGBT," tulis The Guardian.
The Guardian kemudian membahas bagaimana Jokowi menuai kemarahan setelah menunjuk lawannya, Prabowo Subianto, sebagai menteri pertahanan.
Padahal, mantan jenderal yang juga mantan menantu Soeharto itu diduga terlibat dalam penculikan dan kekerasan terhadap aktivis 1998.
Penunjukkan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan oleh Jokowi dinilai sengaja dan disadari.
Sebab pada 2016 lalu, Jokowi juga melakukan langkah yang sama saat menunjuk Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM atau Menkopolhukam.
Wiranto juga dituduh melakukan kejahatan HAM oleh tribunal atau pengadilan yang didukung Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
Iklim politik Indonesia yang selalu membutuhkan rekonsiliasi dengan lawan, kembali dipertanyakan.
The Guardian menyayangakan kecilnya porsi oposisi di parlemen yang hanya seperempat.
Penunjukan ini membuat aktivis dan warga Indonesia ketakutan.
Mereka juga khawatir soal arah kebijakan negara. Paling mendasar, warga bertanya-tanya untuk apa dilaksanakan pemilu," tulis The Guardian.
"Tekanan untuk reformasi dan oposisi yang sebenar-benarnya hanya bisa datang dari luar parlemen. Masyarakat sipil Indonesia butuh semua pertolongan yang ada."
Tolak Terbitkan Perppu KPK
Presiden Jokowi Tidak Terbitkan Perppu KPK, Aktivis AntiKorupsi Sebut Rezim Neo Orde Baru Lahir
Keputusan Presiden Jokowi untuk tidak mengeluarkan Perppu KPK mengundang kekecewaan banyak orang, tak terkecuali dari aktivis antiKorupsi.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati menilai tidak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ( Perppu ) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) oleh Presiden Joko Widodo adalah sinyal bahwa rezim Neo Orde Baru telah lahir.
Asfinawati mengatakan tidak dikeluarkannya Perppu KPK harus dilihat dalam konteks yang lebih besar, yakni pelemahan pemberantasan Korupsi akibat revisi UU KPK yang telah berlaku.
Dari hal tersebut, Asfinawati mengaitkannya dengan era Orde Baru ketika Korupsi marak dilakukan.
"Menurut kami, tidak keluarnya Perppu adalah sebuah lonceng kita kembali ke orde baru atau masuk ke Neo Orba," kata Ketua YLBHI Asfinawati dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Minggu (3/11).
Tidak hanya itu, Asfinawati menilai pelemahan pemberantasan Korupsi hanya satu dari empat ciri khas Orde Baru yang muncul di awal pemerintahan Jokowi - Maruf Amin.
Ciri kedua menurutnya adalah, pemerintah yang hanya fokus kepada pembangunan fisik.
Menurutnya, hal itu juga dapat dilihat dari pidato kenegaraan presiden yang banyak menyebutkan investasi dan pembangunan, tanpa menyebutkan HAM serta kepastian hukum.
Selain itu, Asfinawati menilai Jokowi juga banyak memasukkan kalangan militer dan polisi ke dalam lembaga sipil pemerintahan.
Kata dia hal itu adalah ciri ketiga dari orde baru. Ia juga menilai pemerintahan Jokowi juga represif terhadap kebebasan berpendapat yang juga menjadi ciri terakhir Orde Baru.
Asfinawati mencontohkan, polisi menangkap para peserta aksi Mei 2019 tanpa alasan yang jelas.
Selain itu, menurutnya kepolisian juga menggunakan cara represif dalam menangani demonstrasi mahasiswa menolak revisi UU KPK dan sejumlah UU bermasalah pada September 2019.
"Belum lagi kalau kita kaitkan dengan beberapa rancangan UU yang merepresi rakyat, maka sebetulnya ini adalah perulangan yang terjadi sebelum 1998 atau Orde Baru," kata Asfinawati.
Istana melalui Menteri Sekretaris Negara ( Mensesneg ) Pratikno membantah Presiden Jokowi tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang KPK atau Perppu KPK.
Presiden kata Pratikno menghormati proses uji materi UU KPK yang tengah berjalan di Mahkamah Konstitusi ( MK ).
"Pak Presiden tadi bilang, loh kok pemberitaan tentang Perppu seperti itu. Jadi kemarin kan saya ada disitu juga.
Maksud Pak Presiden itu intinya terkait dengan Perppu KPK itu adalah menghargai proses hukum yang berlangsung di MK," tutur Pratikno.
Pratikno menyayangkan sejumlah pemberitaan yang menulis Jokowi tidak akan menerbitkan Perppu KPK.
"Tadi dipesankan oleh Pak Presiden baca berita kok seperti itu. Padahal yang ditekankan oleh pak presiden adalah menghargai proses hukum yang sedang berlangsung," jelas Pratikno.
Dia menekankan, Jokowi masih dalam sikap menghormati proses uji materi yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi. (*)