Nyaris Tak Ada yang Dukung Presiden Jokowi Tiga Periode, Ini Respon PSI dan PDIP dan Gerindra
Nyaris Tak ada yang dukung Presiden Jokowi tiga periode, ini respon PSI dan PDIP partai Megawati
TRIBUNKALTIM.CO - Nyaris Tak ada yang dukung Presiden Jokowi tiga periode, ini respon PSI dan PDIP partai Megawati.
Diketahui, di MPR beredar wacana menjadikan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode, dan jika demikian Presiden Joko Widodo atau Jokowi berpeluang memimpin Indonesia hingga 3 periode.
Namun, nyaris tak ada parpol yang mendukung jabatan Presiden hingga 3 periode, baik Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto, maupun PDIP yang dipimpin Megawati.
Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan, usulan soal perubahan masa jabatan Presiden masih sebatas wacana.
Hingga saat ini, belum ada pembicaraan resmi di MPR maupun antar fraksi terkait usulan tersebut.
"Diskursus tentang penambahan masa jabatan Presiden ini terlihat biasa saja sebagai sebuah wacana usulan," kata Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/11/2019).
• Kabar Buruk Gubernur Anies Baswedan dan DPR DKI Jakarta Terancam Tak Digaji, Gegara APBD Lem Aibon?
• Ini Cara PKS Pilih Pengganti Sandiaga Uno Wagub DKI Jakarta yang Disodorkan Partai Prabowo Subianto
• Ini Akibat Fatal untuk Anies Baswedan dan DPRD DKI Jakarta Karena Tak Selesaikan Tugas Tepat Waktu
• Sah, Ahok BTP Jadi Komisaris Utama Pertamina, Ini Kewenangan yang Dimiliki eks Veronica Tan
"Saya kira kita ini belum secara resmi membicarakan di tingkat pimpinan maupun di tingkat fraksi-fraksi," lanjutnya.
Arsul Sani mengatakan, MPR menampung usulan apapun sebagai sebuah wacana.
Selanjutnya, untuk merealisasikan usulan itu, perlu kajian mendalam yang melibatkan seluruh pihak terkait.
Ia menyebut, saat ini masih terlalu pagi untuk menyimpulkan apakah MPR bakal betul-betul merevisi masa jabatan Presiden.
Ia hanya memastikan bahwa revisi masa jabatan Presiden tidak menjadi rekomendasi dari MPR periode sebelumnya.
"Yang jelas soal masa jabatan Presiden itu tidak ada dalam rekomendasi.
Yang saya kira kalau menyangkut ke Presidenan tentu rekomendasi itu lebih mengarah pada penguatan sistem Presidensial," ujar dia.
Arsul Sani menambahkan, sebagai sebuah wacana, perubahan masa jabatan Presiden tentu akan menuai pro dan kontra.
Ke depan, hal itu juga yang akan menjadi pertimbangan Presiden seandainya wacana tersebut betul-betul akan dibahas.
"Tentu sebagai sebuah wacana nanti ada pro kontra, ada positif negatifnya.
Negatifnya tentu nanti ada yang bilang bahwa ini menghambat misalnya regenerasi kepemimpinan nasional," kata Arsul Sani.
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengungkapkan adanya wacana perubahan masa jabatan Presiden dan wakil Presiden terkait amendemen UUD 1945.
Artinya, amendemen UUD 1945 tidak hanya sebatas menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara ( GBHN).
Menurut Hidayat Nur Wahid ada anggota fraksi di MPR yang mewacanakan seorang Presiden dapat dipilih kembali sebanyak tiga periode.
Ada pula yang mewacanakan Presiden hanya dapat dipilih satu kali namun masa jabatannya diperpanjang menjadi delapan tahun.
"Iya memang wacana tentang amendemen ini memang beragam sesungguhnya.
Ada yang mewacanakan justru masa jabatan Presiden menjadi tiga kali, ada yang mewacanakan untuk satu kali saja tapi dalam 8 tahun.
Itu juga kami tidak bisa melarang orang untuk berwacana," ujar Hidayat Nur Wahid, Rabu (20/11/2019).
Wacana amandemen UUD 1945 terkait penambahan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode atau total 15 tahun sudah mulai berkembang di masyarakat.
Sontak isu ini mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak tak terkecuali oleh partai politik (parpol).
Beberapa menolak dan ada juga yang memberikan pendapatnya terkait wacana tersebut.
Penolakan disampaikan oleh Ketua Fraksi Gerindra anggota Prabowo Subianto di MPR, Ahmad Riza Patria.
Ahmad Riza Patria menilai masa jabatan Presiden seperti saat ini sudah final dan ideal.
"Kalau masa jabatan, saya kira sudah final ya kan, lima tahun dua kali," ujar Ahmad Riza Patria dikutip dari laman Kompas.com (22/11/2019).
Ahmad Riza Patria menilai tak perlu ada penambahan masa jabatan.
Karena menurutnya menjabat paling lama selama 10 tahun sudah sangat pas untuk Presiden dan wakil Presiden.
Tak hanya Gerindra, PDIP juga menilai masa jabatan 2 periode ini sudah tidak perlu diganti lagi.
Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP Ahmad Basarah.
"Masa jabatan Presiden satu periode atau lima tahun kali dua itu sudah cukup untuk sebuah pemerintahan nasional," ujarnya dilansir dari Kompas TV (22/11/2019).
"Kami memandang tidak ada urgensinya untuk mengubah konstitusi kita yang menyangkut tentang masa jabatan Presiden," imbuhnya.
Menurutnya yang dibutuhkan saat ini bukanlah mengubah amandemen UUD 1945 terkait penambahan masa jabatan Presiden.
Melainkan Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk dimunculkan kembali.
Hal itu akan memastikan pembangunan nasional akan berjalan berkesinambungan.
Sehingga kekhawatiran terkait pergantian visi - misi atau program pada setiap pemilihan Presiden yang baru tidak ada lagi.
"Publik tidak perlu khawatir terhadap siapapun Presiden, gubernur, bupati, atau wali kotanya karena pembangunan nasional dipastikan akan berkelanjutan," ujarnya.
Di sisi lain, Partai Solidaritas Indonesia atau PSI memiliki pandangan yang berbeda terkait wacana tersebut.
PSI mengususlkan untuk masa jabatan Presiden selama tujuh tahun namun hanya dalam satu periode saja.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia PSI, Tsamara Amany.
Menurutnya. adanya satu periode maka kerja Presiden dan wakil Presiden akan dinilai akan lebih fokus dan maskimal.
"Kalau hanya satu periode, setiap Presiden akan bekerja semaksimal mungkin, fokus bekerja buat rakyat dan tak memikirkan pemilu berikutnya," ujar Tsamara yang di kutip dari laman Kompas.com (22/11/2019).
Ia juga menambahkan masa kempemimpinan tujuh tahun ini akan menghapuskan konsep petahanan.
"Sehingga tidak ada lagi kecurigaan bahwa petahana memanfaatkan kedudukannya untuk kembali menang pemilu," imbuhnya. (*)