Facebook dan Twitter Hapus Video Kampanye Donald Trump Soal Kasus George Floyd, Kena Gugat Hak Cipta
Dua raksasa media sosial, Facebook dan Twitter hapus video kampanye Donald Trump terkait kasus George Floyd karena terkena gugatan hak cipta.
TRIBUNKALTIM.CO - Dua raksasa media sosial ( medsos ), Facebook dan Twitter hapus video kampanye Donald Trump terkait kasus George Floyd karena terkena gugatan Hak cipta.
Kompak, dua raksasa perusahaan medsos Facebook dan Twitter sama-sama menghapus video kampanye terkait kasus George Floyd yang diunggah di medsos.
Dihapusnya video kampanye Presiden Amerika Serikat ( AS ) tersebut lantaran ada gugatan Hak cipta, bagaimana dengan video di YouTube?
Dikutip dari kompas.com, Twitter dan Facebook kompak menghapus video yang diunggah tim kampanye Presiden AS, Donald Trump, di platform masing-masing usai menerima komplain terkait Hak cipta.
Video yang dihapus itu dibuat tim kampanye Trump sebagai bentuk empati atas kematian George Floyd.
Video diunggah ke platform Facebook, Twitter, dan YouTube dengan judul "Healing, Not Hatred".
• Demonstran Solidaritas George Floyd Menuntut Donald Trump, Lantaran Kekerasan Polisi Saat Unjuk Rasa
• WHO Lanjutkan Uji Coba Obat Covid-19 yang Dikonsumsi Donald Trump, Sempat Khawatir Risiko Kematian
• Saat Demo Kematian George Floyd, Donald Trump Dituding Sembunyi di Bungker Rahasia, Ini Bantahannya
• Pasca Ribut dengan Twitter, Donald Trump Bikin Perintah Eksekutif, Nasib Medsos, Twitter, Facebook?
Video berdurasi hampir empat menit tersebut menampilkan kumpulan foto dan video dari aksi damai antara polisi dan para demonstran di AS, yang didukung dengan backsound piano dan narasi dari Donald Trump.
Alih-alih menunjukkan rasa empatinya atas demo yang dilatarbelakangi kematian George Floyd, video yang diunggah Donald Trump tersebut justru berbuah gugatan dari lembaga Digital Millennium Copyright Act ( DMCA ) karena dianggap melanggar Hak cipta.
Pihak yang mengajukan komplain melalui Digital Millennium Copyright Act adalah sebuah firma hukum di California, Amerika Serikat, yang mewakili pemilik Hak cipta.
Disebutkan bahwa video Donald Trump mengandung karya dari kliennya sehingga melanggar Hak cipta, tapi tak dijelaskan konten foto atau klip video mana persisnya yang dimaksud.
Tak terima videonya dinonaktifkan oleh Twitter, Donald Trump sempat memprotes tindakan penghapusan tersebut.
"Twitter menarik video kampanye Trump yang menunjukkan empati terhadap aksi damai para demonstran. Ini ilegal," tulis Trump dalam sebuah kicauan di akun Twitter miliknya (@realDonaldTrump).
Tweet unggahan Trump itu langsung ditepis oleh CEO Twitter, Jack Dorsey, yang mengatakan bahwa penghapusan video tersebut dilakukan karena pihaknya mendapat gugatan dari Digital Millennium Copyright Act terkait Hak cipta.
"Tidak benar dan tidak ilegal. Video itu ditarik karena kami mendapat laporan dari Digital Millennium Copyright Act selaku pemegang Hak cipta," jelas Dorsey yang membantah tuduhan Donald Trump tersebut.
Facebook pun mengambil tindakan serupa dengan menghapus video kampanye Donald Trump tersebut dari media sosalnya, dengan didasari alasan yang sama.
"Kami menerima keluhan terkait Hak cipta dari lembaga Digital Millennium Copyright Act dan kami telah menghapus posting itu," kata juru bicara Facebook, Andy Stone dalam sebuah pernyataan.
Berbeda dengan Twitter dan Facebook, hingga saat ini, YouTube belum menghapus video kampanye Donald Trump tersebut.
Dihimpun KompasTekno dari The Verge, Selasa (9/6/2020), YouTube mengatakan bahwa, setelah ditinjau, video Donald Trump tersebut tidak tergolong sebagai konten yang melanggar aturan kebijakan YouTube.
Sebab, menurut YouTube, versi video Donald Trump yang diunggah ke platform miliknya berbeda dari video di Twitter dan Facebook, serta tidak mengandung konten yang melanggar Hak cipta.
Donald Trump Keluarkan Perintah Eksekutif
Sebelumnya, Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif tentang media sosial.
Perintah eksekutif tentang media sosial ini gara-gara twit Donald Trump dilabeli Cek Fakta oleh Twitter.
Dikutip dari kompas.com, perintah eksekutif ini ditandatangani Donald Trump pada Kamis (28/5/2020), menyusul pertikaiannya dengan Twitter yang menandai twitnya dengan label Cek Fakta.
Setelah perintah eksekutif ini diberlakukan, platform media sosial seperti Twitter dan Facebook bisa dituntut secara hukum.
Donald Trump mengatakan, peraturan diperlukan karena perusahaan media sosial itu bukan lagi forum netral tetapi terlibat dalam "aktivitas politik."
Menurut Donald Trump, platform semacam itu memiliki "kekuatan tidak terbatas untuk menyensor, membatasi... hampir semua bentuk komunikasi antara warga negara."
"Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi," katanya dikutip dari AFP Jumat (29/5/2020).
"Terutama ketika mereka melakukan apa yang mereka lakukan, karena mereka melakukannya dengan salah, mereka memiliki sudut pandang."
Kemarahan Donald Trump dipicu oleh tanda Cek Fakta yang ditambahkan Twitter, karena menganggap twit Donald Trump tentang metode mail-in ballots pada pemilu AS 2020 adalah disinformasi.
Menurut Donald Trump, hal itu membuat Twitter seperti penerbit tradisional karena mengambil tanggung jawab atas materi apa pun yang mereka berikan.
"Pilihan yang dibuat Twitter ketika mereka menekan... (adalah) keputusan editorial murni dan sederhana," ujar Trump.
"Di saat-saat itu, Twitter berhenti menjadi platform publik yang netral dan mereka menjadi editor dengan sudut pandang, dan saya pikir kita dapat mengatakan itu ke platform lain juga."
"Apakah Anda sedang melihat Google, apakah Anda sedang melihat Facebook, mungkin Anda sedang melihat Facebook, mungkin orang lain."
Menurut Donald Trump, perintah eksekutifnya bertujuan "menegakkan kebebasan berbicara dan Hak-Hak rakyat Amerika."
Dari akun Instagramnya, ini pengumuman Donald Trump saat mengumumkan perintah eksekutif tersebut:
Namun sebelum perintah eksekutif ini berlaku, Donald Trump menyadari akan ditentang di pengadilan oleh kubu oposisi.
Oposisi mengatakan, tujuan Donald Trump adalah untuk menjinakkan platform media sosial agar memudahkan dirinya menjadi raksasa politik terbesar senegara.
Meski Donald Trump mengeluh para pimpinan media sosial condong ke arah liberal, ia sangat menikmati bermain Twitter, Instagram, Facebook, dan kanal-kanal lainnya, yang terkadang ia isi dengan disinformasi atau penghinaan kepada oposisi.
Saat ditanya mengapa dia tidak pergi begitu saja dari Twitter, di mana dia memiliki 80 juta followers, Donald Trump mengatakan dia akan pergi, jika sudah tidak bergantung pada platform itu untuk memotong akses ke media tradisional, yang dia keluhkan tidak adil.
"Ada begitu banyak berita palsu, ini memalukan," ujarnya kepada wartawan yang meliputnya di Oval Office.
Donald Trump bahkan memiliki keinginan untuk menutup Twitter jika punya cara melakukannya.
"Jika itu bisa ditutup secara hukum, saya akan melakukannya."
Tanggapan Facebook dan Twitter
Sebelumnya, Bos Facebook Mark Zuckerberg mengatakan kepada Fox News, bahwa jejaring media sosial miliknya memiliki kebijakan berbeda.
"Saya sangat percaya bahwa Facebook seharusnya tidak menjadi penentu kebenaran dari semua yang dikatakan secara online," ujarnya pada Rabu (27/5/2020).
"Saya pikir, secara umum, perusahaan swasta, terutama perusahaan platform ini, tidak boleh melakukan itu."
Pendiri dan CEO Twitter Jack Dorsey membalas pernyataan Mark Zuckerberg pada Rabu malam, dengan mengatakan upaya Twitter untuk menunjukkan informasi yang salah tidak serta merta menjadikannya "wasit kebenaran".
"Niat kami adalah untuk menghubungkan titik-titik pernyataan yang saling bertentangan dan menunjukkan informasi dalam perselisihan, sehingga orang dapat menilai sendiri," tulisnya di Twitter.
Dia menegaskan kebijakan barunya dengan menulis.
"Cek Fakta: ada seseorang yang bertanggung jawab atas tindakan kita sebagai perusahaan, dan itu saya... Kami akan terus menunjukkan informasi yang salah atau sengketa tentang pemilihan umum secara global."
Donald Trump tidak berhak mengatur Twitter
Kate Ruane dari American Civil Liberties Union mengatakan, Donald Trump tidak berhak mengatur Twitter.
"Konstitusi jelas melarang presiden mengambil tindakan apa pun untuk menghentikan Twitter menunjukkan kebohongan terang-terangan tentang pemilu melalui surat," katanya dikutip dari AFP Kamis (28/5/2020).
Donald Trump termasuk raksasa politik di media sosial.
Ia memiliki 80,3 juta followers di Twitter, berbanding jauh dengan kompetitornya di Demokrat, Joe Biden, yang hanya memiliki 5,5 juta followers Twitter.
Media sosial cocok dengan gaya komunikasi Donald Trump yang tidak ortodoks, dan kegemarannya akan teori konspirasi, rumor, serta penghinaan.
Meski begitu, jejak pendapat secara konsisten menunjukkan Biden dalam posisi yang kuat, walau tidak keluar rumah selama berminggu-minggu dan jarang tampil di media sosial.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Facebook dan Twitter Hapus Video Kampanye Donald Trump", https://tekno.kompas.com/read/2020/06/09/14450007/facebook-dan-twitter-hapus-video-kampanye-donald-trump?page=all#page3.
Penulis : Conney Stephanie
Editor : Oik Yusuf