Trending Topic, Ini Kronologi Gugatan RCTI terhadap UU Penyiaran yang Ancam Kebebasan Live di Medsos
Tengah jadi trending topic Twitter, begini kronologi gugatan RCTI terhadap UU penyiaran yang ancam kebebasan Live di media sosial ( medsos ).
TRIBUNKALTIM.CO - Tengah jadi trending topic Twitter, begini kronologi gugatan RCTI terhadap UU penyiaran yang ancam kebebasan Live di media sosial ( medsos ).
Saat ini tengah menyoroti gugatan yang diajukan PT PT Visi Citra Mitra Mulia ( iNews TV ) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia ( RCTI ) terhadap UU Penyiaran.
Begini kronologi dan duduk perkara gugatan yang diajukan iNews TV dan RCTI yang mengancam kebebasan publik melakukan siaran Live di media sosial.
Di Twitter dalam dua hari terakhir, RCTI masuk deretan trending topic.
Warganet membagikan sejumlah komentar seputar gugatan yang diajukan RCTI dan iNews TV tersebut.
Diketahui, iNews TV dan RCTI menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
• Jadwal Acara TV Kamis 27 Agustus 2020, Trans 7 Ada Jejak Anak Negeri, Tukang Ojek Pengkolan di RCTI
• Jadwal Acara TV Selasa 4 Agustus 2020, GTV Ada Kungfu Panda, RCTI Sule Superstar KW
• UPDATE Live Streaming RCTI Arsenal vs Chelsea Final Piala FA, Aubameyang Bawa The Gunners Unggul 2-1
• BERLANGSUNG Live Streaming RCTI Final Piala FA Arsenal vs Chelsea, Skor Sementara 0-0
Kedua perusahaan besar tersebut mengajukan uji materi soal UU Penyiaran dan menilai Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran.
Pasal tersebut menyebabkan perlakuan berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran over the top ( OTT) yang menggunakan internet.
Publik pun memberikan reaksi di media sosial.
Pasalnya, apabila gugatan itu dikabulkan, masyarakat baik perorangan maupun badan usaha terancam tidak leluasa melakukan siaran langsung ( Live ) menggunakan media sosial.
Tak hanya media sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook, namun hingga Netflix.
Berikut kronologi gugatan RCTI dan alasan mengapa RCTI dan iNewsTV mengajukan gugatan.
Pengajuan uji materi
Pengajuan uji materi perihal UU Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 1 angka 2 diajukan RCTI dan iNews pada Juni lalu dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.
• Ramalan Zodiak Cinta Sabtu 29 Agustus 2020, Virgo Awas Orang Ketiga, Libra Terjebak Kisah Lama
• PROFIL Adly Fairuz, Cucu Maruf Amin, dari Sinetron Cinta Fitri, Diusung PDIP Jadi Cawabup Karawang
Sidang pendahuluan dilakukan pada Senin, 22 Juni 2020, di Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, yang dihadiri kuasa hukum pemohon, dalam hal ini RCTI dan iNews.
Sidang kedua dilakukan pada 9 Juli, dan berlanjut pada sidang ketiga pada 26 Agustus di tempat yang sama.
Pada sidang terakhir, turut hadir perwakilan pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Kementerian Hukum dan HAM.
Guagatan dan permohonan
Dalam gugatannya, RCTI dan iNews menyoalkan Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran yang berbunyi: "Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yag bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran."
"Dengan demikian, berbagai macam layanan OTT khususnya yang masuk kategori konten/video on demand/streaming pada dasarnya juga memproduksi konten-konten siaran, sehingga seharusnya masuk ke dalam rezim penyiaran.
Hanya saja, perbedaannya dengan aktivitas penyiaran konvensional terletak pada metode pemancarluasan/penyebarluasan yang digunakan," tulis gugatan tersebut.
RCTI dan iNews juga menilai Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran bersifat ambigu dan menciptakan ketidakpastian hukum. Dalam Pasal 1 angka 22 UU Penyiaran tertulis:
"Penyiaran adalah (kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran."
"Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet, seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,” kata kuasa hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Senin (22/6/2020) di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal. Misalnya, dalam melakukan kegiatan penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia, hingga memperoleh izin siaran.
• Belum Selesai Diuji, Erick Thohir Ungkap Harga Vaksin Corona dari China, Tak Cukup Sekali Disuntik
• AC Milan Musim Depan Makin Jos! Ibrahimovic Perpanjang Kontrak, Playmaker Real Madrid Menyusul
Sementara penyelenggara siaran berbasis internet (OTT) seperti Facebook, Instagram, dan YouTube tidak perlu memenuhi persyaratan tersebut.
Dalam penyelenggaraan aktivitas, pemohon juga tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS).
Jika terjadi pelanggaran, penyelenggara terancam mendapatkan sanksi yang diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sementara hal itu tidak berlaku bagi penyedia layanan OTT.
"Padahal faktanya banyak sekali konten-konten siaran yang disediakan layanan OTT yang tidak sesuai dengan P3SPS dimaksud," kata Imam.
Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tak berkekuatan hukum tetap sepanjang tidak mengatur penyelenggara penyiaran berbasis internet untuk tunduk pada pasal tersebut.
Pemohon meminta supaya MK mengubah bunyi Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran menjadi:
"Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum 12 frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran."
Pemerintah menolak
Dalam sidang ketiga yang dihadiri Kemenkominfo sebagai perwakilan pemerintah meminta agar MK menolak permohonan RCTI dan iNews.
Pemerintah menilai apabila permohonan itu dikabulkan, masyarakat tidak bisa mengakses media sosial secara bebas.
Sebab, perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan tayangan audio visual sebagai kegiatan penyiaran yang harus memiliki izin siar.
"Definisi perluasan penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin," kata Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo Ahmad M Ramli dalam persidangan di MK, Rabu (26/8/2020), seperti dihimpun KompasTekno dari Antara, Kamis (27/8/2020).
"Artinya, kita harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin," imbuh Ramli.
Apabila kegiatan tersebut masuk sebagai penyiaran, perorangan, badan usaha, dan lembaga lain, termasuk kreator konten yang memanfaatkan OTT, harus memiliki izin sebagai lembaga penyiaran.
Jika tidak mengantongi izin, mereka bisa dinyatakan melakukan penyiaran ilegal dan terancam sanksi pidana. Ramli juga mengatakan, penyedia layanan audio-visual umumnya melintasi batas negara, maka mustahil menerapkan hukum Indonesia di luar wilayah yurisdiksi dalam negeri.
Lebih lanjut, Ramli juga mengatakan, ada perbedaan yang jelas antara penyiaran yang dilakukan lembaga penyiaran dengan layanan OTT. Menurut Ramli, keliru apabila menyamakan layanan penyiaran dengan layanan OTT, meskipun konten yang dihasilkan sama-sama audio atau audio visual.
"Para pemohon tidak memahami secara menyeluruh definisi penyiaran dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran, dan tidak memahami pengaturan penyelenggaraan penyiaran dalam UU Penyiaran dan peraturan pelaksanaannya," kata dia.
Berada di bawah UU ITE
Ramli menjelaskan, semua media komunikasi massa di Indonesia memiliki aturannya masing-masing.
Layanan penyiaran diatur dalam UU Penyiaran.
Sementara OTT yang memanfaatkan internet melalui jaringan telekomunikasi, tunduk pada UU Telekomunikasi.
Dari sisi pengawasan, saat ini OTT yang ditransmisikan lewat sistem elektronik tunduk pada UU ITE.
Ramli pun menyarankan agar ada undang-undang baru yang dibuat DPR dan pemerintah untuk mengatur layanan siaran melalui internet.
Menurut Ramli, layanan OTT di Indonesia terus berkembang.
Apabila gugatan dikabulkan, bukan tidak mungkin akan turut menghambat laju ekonomi kreatif dan ekonomi digital.
• Belum Dapat BLT Rp 600 Ribu Karyawan Tahap Pertama? Jangan Khawatir, Cek Jadwal Pencairan Tahap II
• Sudah Dekat ke Man City, Bos Inter Milan Steven Zhang Punya Senjata Rahasia Rekrut Lionel Messi
• Prakiraan Cuaca di 33 Kota Sabtu 29 Agustus 2020, Yogyakarta Cerah Berawan, Bandung Hujan Ringan
• Ketua DPD Nasdem Kaltim Isran Noor Pesan kepada Kadernya, Jangan Bermain Money Politics
(Tribunnewsmaker.com/*)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Duduk Perkara Gugatan RCTI yang Ancam Kebebasan Siaran Live di Medsos
dan
Artikel ini telah tayang di Tribunnewsmaker.com dengan judul Kronologi Gugatan RCTI Terhadap UU Penyiaran yang Ancam Kebebasan Siaran Live di Media Sosial, https://newsmaker.tribunnews.com/2020/08/28/kronologi-gugatan-rcti-terhadap-uu-penyiaran-yang-ancam-kebebasan-siaran-live-di-media-sosial?page=all.
Editor: Talitha Desen