Pengakuan Pembelot Korea Utara, Sejak Kecil Didoktrin Kim Jong Un Dewa yang Bisa Baca Pikiran
Seorang pembelot Korea Utara mengaku sejak kecil telah mendapatkan doktrin bawah Kim Jong Un merupakan dewa yang bisa membaca pikiran rakyat.
TRIBUNKALTIM.CO - Seorang pembelot Korea Utara mengaku sejak kecil telah mendapatkan doktrin bawah Kim Jong Un merupakan dewa yang bisa membaca pikiran rakyat.
Hal itu jugalah yang membuat warga Korea Utara takut berbicara.
Pembelot Korea Utara yang saat ini menetap di Amerika Serikat (AS) mengungkapkan, dia mendapat cerita Kim Jong Un adalah dewa yang bisa membaca pikiran warganya.
Yeonmi Park mengungkapkan kisah itu, di mana juga mengisahkan bagaimana rasanya hidup di negara yang dikenal begitu rahasia itu.
Park, gadis 26 tahun yang kini aktivis HAM di Chicago, menuturkan dia tidak mengenal konsep cinta, atau apa itu persahabatan.
Semuanya adalah "kamerad", di mana mereka begitu membanggakan rezim Korea Utara.
Baca juga: Bukan Sosok Sembarangan, Kim Pyong Il Ambil Alih Kekuasaan Korea Utara, Kim Jong Un Dikabarkan Koma
Baca juga: NEWS VIDEO Kim Jong Un Disebut Media Korsel Sedang Koma, Pemerintahan Korea Utara Dipegang Sang Adik
Baca juga: Kim Jong Un Disebut Media Korsel Sedang Koma, Pemerintahan Korea Utara Dipegang Sang Adik
Baca juga: 4 Pejabat Korea Utara Tertangkap Basah Terlibat Prostitusi, Kim Jong Un Perintahkan Eksekusi
Bahkan orangtuanya sendiri tidak pernah mengungkapkan mereka mencintainya.
Yeonmi Park menerangkan ketika berbicara tentang Korea Utara, negara itu jauh berbeda dengan negara lain yang dianggap tak aman seperti Iran atau Kuba.
Kepada New York Post pekan lalu, dia mengatakan bahwa masyarakatnya tentu mendapatkan pemahaman bahwa mereka diisolasi atau warga pendatang tidak aman.
"Tetapi Korea Utara seakan-akan adalah kerajaan terpencil. Saat saya kecil, saya tak tahu bahwa saya memuja diktator," kata Park.
Sebagai anak-anak, Park sering mendapat kisah bahwa Kim Jong Un dan ayahnya, Kim Jong Il, adalah dewa yang bisa membaca pikiran.
Propaganda tersebut membuat rakyat negara penganut ideologi Juche itu terlalu takut untuk berbicara, bahkan memikirkan kebrutalan keluarga Kim.
Di sekolah, dia mengklaim mendapatkan pelajaran berhitung menggunakan metrik "Amerika siaan", atau ada sesi yang disebut "sesi kritik".
Di sana, para siswa diajarkan untuk saling menyerang atau menemukan kesalahan teman sekelasnya.
Baca juga: Berencana Akan Liburan Saat Pandemi Selesai, Prosedur & Syarat Lengkapnya Membuat Visa Korea Selatan
Baca juga: Menjadi Tempat Wisata yang Instagramable di Korea Selatan, Inilah Keunikan Pulau Ungu
Baca juga: Jadi Komoditas Baru, Rumput Laut Kaltim Tembus Pasar Ekspor Korea Selatan
Baca juga: Fakta Lain Walikota Seoul Meninggal Usai Sempat Dikabarkan Hilang, Calon Kuat Presiden Korea Selatan
Membuat mereka menjadi saling curiga dan terpecah belah.
"Kami tidak punya teman di Korea Utara, yang kami punya hanyalah kamerad. Kami tidak mengenal apa itu hubungan pertemanan," ungkap Park.
Park kemudian mengungkapkan bagaimana dia harus makan serangga untuk hidup, dan menyalahkan rezim Kim yang membiarkan rakyatnya kelaparan.
Baik paman dan neneknya tewas karena kelaparan.
Dia kemudian menuturkan adalah hal biasa melihat jenazah korban kelaparan di jalanan.
"Anda akan melihat banyak orang sekarat karena kelaparan. Saat itu, saya bahkan tidak tahu bahwa itu adalah hal tak normal," kata dia.
Dia pun menyesalkan keputusan Pyongyang yang menghabiskan hingga miliaran dollar AS hanya untuk menguji coba senjata nuklir.
Baca juga: Hukuman Berat Dijatuhkan Kim Jong Un Kepada Warga Korea Utara yang Ketahuan Nonton Drakor\
Baca juga: Akhirnya Korea Utara Diserang Covid-19, Kim Jong Un Tak Main-main Beri Hukuman ke Masyarakat
Baca juga: Kim Jong Un Marah, Duta Besar Rusia untuk Korea Utara Beberkan, Selebaran Ri Sol Ju Dibuat tak Etis
Baca juga: Ancaman Adik Kim Jong Un Tak Main-Main, Korea Utara Ledakkan Kantor Penghubung dengan Korea Selatan
Menurut Yeonmi Park, jika saja Korea Utara menganggarkan 20 persen saja untuk warganya, maka tidak akan ada ceritanya tewas kelaparan.
Dia juga membantah rumor yang menyatakan Kim Jong Un koma, di mana sumbernya di Pyongyang menyebut sang diktator baik-baik saja.
Meski begitu, dia mengaku bersyukur bisa lahir di Korea Utara, karena dia merasakan sendiri kesukaran sebelum kemudian membelot dan berpindah ke AS.
"Jika saya tak lahir di negara penuh penindasan dan gelap sepenuhnya, saya mungkin tak bakal melihat cahaya. Saya rasa warga di sana belum melihat cahaya seperti saya," jelasnya. (*)