Elit Kaltim Belum Punya Kemauan Politik untuk Transformasi Ekonomi, Irwan: Lihat Saja Perda RTRW-nya
"Kalau benar ada kemauan politik, mestinya itu terlihat sejak mulai perencanaan. Tapi lihat saja Perda No 1/2016 tata ruang
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Keinginan pemerintah di Kalimantan Timur untuk melakukan transformasi ekonomi dari berbasis unrenewable resources ke renewable resources dinilai masih sebatas keinginan. Belum ada kemauan politik yang kuat untuk melakukan pergeseran itu.
Sudah lebih dari satu dekade, sejak keinginan itu dinyatakan, transformasi ekonomi masih sebatas jadi diskusi-diskusi dan sambutan di ruang-ruang pemerintahan. Itu terjadi karena belum adanya kemauan politik yan kuat. Pemerintah dari tahun ke tahun masih saja menggantungkan ekonominya pada bagaimana bisa mengeruk serta menggali sebesar mungkin sumberdaya alam (SDA).
Hal tersebut dikemukakan Irwan, anggota DPR RI Dapil Kaltim dalam webinar "Filsafat dan Etika Lingkungan Kasus Pengelolaan Sumberdaya Alam di Kalimantan Timur", Jumat (11/9/2020) malam. Irwan tampak blak-blakan menyampaikan masalah itu.
"Kalau benar ada kemauan politik, mestinya itu terlihat sejak mulai perencanaan. Tapi lihat saja Perda No 1/2016 tata ruang kita ternyata masih lebih banyak mengakomodir kepentingan tambang, perkebunan dan yang sifatnya ekstraktif lainnya," kata Irwan.
Irwan Fecho sapaannya. Sebelum berkantor di Senayan, Irwan adalah PNS di Kutai Timur. Ia mundur dari abdi negara tahun 2018 dan kemudian dilantik sebagai wakil rakyat pada 1 Oktober 2019.
Dalam seminar nasional yang digelar Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PW Kaltim itu, Irwan disandingkan bersama narasumber lain Rocky Gerung. Dosen filsafat UGM, Abdul Malik Usman didaulat sebagai pemantik diskusi. Sebagai penanggap adalah Ketua MLH PW Muhammadiyah Kaltim Taufan Tirkaamiana, dan Wakil Ketua MUI Kaltim KH Muhammad Haiban. Jalannya diskusi menjadi lebih menarik dengan dipandu Niel Makinuddin, pegiat senior lingkungan yang acap disapa "Ustadz".

Dikatakan, seberapa besar kemauan politik elite daerah juga akan tergambar dari strategi untuk mengurangi ketergantunganterhadap sektor ekstraktif itu. Antara lain berapa dan bagaimana mengalokasikan anggaran untuk pertanian, agroindustri, pariwisata, dan penelitian untuk energi terbarukan.
"Ini jadi tidak konsisten. Bicara mau lakukan transformasi ekonomi, tapi tidak terlihat dari sejak perencaaannya. Belumlagi bagaimana dengan pengawasan dan penegakan hukumnya. Siapapun yang melanggar mestinya bisa dipidana," katanya.
Jangan kemudian, lanjutnya kawasan lindung pun kemudian ditambang. Bentang alam karst dijadikan pabrik semen. Padahal karts itu (Sangkulirang-Mangkalihat) menjadi sumber air bagi masyatakat sekitar. Tiadanya kemauan politik inilah yang turut berkontribusi pada langgengnya ketergantungan daerah terhadap sektor ekstraktif.
Menggantungkan pada sektor ekstraktif sama artinya membuka pintu kehancuran alam terjadi. Apalagi dengan pola pengelolaan SDA yang masih cenderung oligarki. Karena itu Irwan mendorong elite politik di daerah harus berani. Berani pula melawan kehendak pusat yang eksploitatif.
Kalau tidak dimulai dari sekarang lantas kapan lagi? Jangan menunggu setelah semuanya habis atau timbulnya bencana baru. "Eksekusi kebijakan itu yang harus dilakukan daerah."
Daerah sambung Irwan, harus ingat bahwa SDA Kaltim yang selama beberapa dekade ini dihisap, dikeruk, dan terus diesksploitasi sangat tidak sebanding dengan uang yang dikembalikan ke daerah. Apalagi kalau dihadapkan pada nilai kerusakan alam. Sungai hancur, hutan habis, bumi terus digali dan menimbulkan lubang-lubang maut yang telah merenggut lebih dari 30 korban.
"Akan tetapi, yang dikembalikan ke daerah sangatlah sedikit. Pusat mengembaikannya dalam bentuk dana bagi hasil, sangat sedikit. Maka itu, daerah kita selama ini tertinggal jauh dibanding daerah-daerah lain," kata anggota Komisi V DPR RI ini.
Dana yan dikembalikan pusat sebagai hasil pengerukan SDA itu diatur melalui UU No 33/2004 soal perimbangan keuangan pusat daerah. Itu sekaligus dijadikan alat kontrol oleh pusat untuk mengendalikan daerah. Dan Kaltim sejauh ini selalu jadi daerah penurut.
Ia mengatakan, meski Kaltim kaya, faktanya pembagunan prasarana ekonominya jauh tertinggal dibanding daerah-daerah lain. Ini bisa dilihat dari yang sederhana saja, misalnya soal jalan nasional kita yang hanya 3,5 persen dari total panjang jalan nasional 47.530 Km.