RESMI, UU Cipta Kerja Dinomori UU Nomor 11 Tahun 2020, Soal PHK, Bedanya dengan UU Ketenagakerjaan
Sudah resmi diteken Presiden Joko Widodo, UU Cipta Kerja dinomori UU Nomor 11 Tahun 2020, soal ketentuan PHK, ini bedanya dengan UU Ketenagakerjaan
Sehari kemudian, 13 Oktober 2020, DPR kembali mengonfirmasi mengenai versi 802 halaman, dengan isi yang disebut tidak berbeda dengan versi 1.035 halaman.
Draf setebal 1.187 halaman beredar setelah pimpinan Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) dan Muhammadiyah mengungkapkannya ke publik.
Ketentuan PHK
UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 mengubah ketentuan tentang pemutusan hubungan kerja ( PHK) antara pengusaha dan pekerja.
Pengubahan ketentuan itu diatur dalam Pasal 81 angka 37.
Aturan ini mengubah ketentuan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Pasal 151 Ayat (1) menyebutkan bahwa PHK sebisa mungkin tidak terjadi.
Baca juga: VIRAL, Beredar Video Mesum Diduga Libatkan Anggota DPRD Pangkep, Gambar Diambil Perempuan Misterius
Baca juga: Pengakuan Melaney Ricardo Sebulan Dirawat Karena Covid-19 Salah Satu hari Terberat di Hidupku
Baca juga: NEWS VIDEO Ashanty Tunjukkan Test Pack Positif, Anang Hermansyah Kegirangan: Arsya Punya Adek
Namun, Pasal 151 Ayat (2) menyebut, jika PHK tidak dapat dihindari, pengusaha harus memberitahukan alasannya kepada pekerja/buruh.
Kemudian, Pasal 151 Ayat (3) menyebutkan bahwa pekerja/buruh menolak alasan tersebut, wajib ada perundingan bipartit dan jika tidak ada kesepakatan baru bisa terjadi PHK ketika ada penetapan perselisihan hubungan industrial (PHI).
Hal ini mengubah Pasal 151 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa PHK tidak dihindari, perusahaan wajib merundingkan dengan pekerja, atau bukan sekadar memberi tahu alasan ia di-PHK.
Selanjutnya, Pasal 151 Ayat (3) berbunyi, jika tidak ada persetujuan, PHK hanya bisa dilakukan jika ada penetapan dari lembaga PHI.
Pengajar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ( UGM ) Nabiyla Izzati menilai, klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja disusun dengan logika hukum yang keliru.
Hal ini tercermin dari pengubahan ketentuan PHK ini.
Menurut Nabiyla, pengubahan pasal tersebut menunjukkan kekeliruan pemerintah dalam memandang relasi antara pekerja dan pengusaha.
Dengan pengubahan pasal ini, maka pengusaha dapat melakukan PHK secara sepihak.