Pentingnya Analisis Standar Belanja bagi Pemerintah Daerah Pasca Pilkada Serentak 2020
USAI sudah Pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Kini tiba waktunya bagi para pemenang pilkada berbenah, bekerja, mengabdi serta melayani masyarakat.
Oleh: Dr. Nurmadhani Fitri Suyuthi, SE,MSi
Akademisi/ Peneliti
TRIBUNKALTIM.CO - USAI sudah Pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Kini tiba waktunya bagi para pemenang pilkada untuk berbenah, fokus bekerja, mengabdi serta melayani masyarakat.
Sejak terlaksananya reformasi, salah satu sorotan utama yaitu reformasi keuangan daerah yaitu terwujudnya pengelolaan keuangan publik yang transparan berlandaskan konsep value for money.
Pemerintah daerah memiliki wewenang yang cukup besar terhadap pengelolaan keuangan daerah khususnya penganggaran.
Dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal atau otonomi dalam pengelolaan keuangan maka Pemerintah Daerah tentunya wajib menyusun anggaran sendiri secara transparansi dan akuntanbel serta dapat diukur capaian kinerjanya.
Salah satu aspek pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
Anggaran daerah/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah.
Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah.
Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja serta alat koordinasi bagi semua aktivitas berbagai unit kerja.
Sektor publik merupakan proyek tender pemerintah sering dinilai sebagai sarang inefisiensi, pemborosan, sumber kebocoran dana, dan institusi yang selalu merugi.
Masih rendahnya ketepatan dan kecermatan dalam perencanaan keuangan daerah juga menunjukkan bahwa beberapa Pemerintah Daerah dalam membuat perencanaan anggaran belanja daerah masih didominasi oleh paradigma lama “berorientasi pada anggaran tahun lalu kemudian dilakukan penambahan atau pengurangan saja tanpa melihat pada kinerja masing-masingnya”.
Hal ini semakin diperburuk oleh keterbatasan kemampuan Pemerintah Daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan, sementara pengeluaran semakin meningkat, tetapi tidak diikuti dengan penentuan skala prioritas dan besarnya plafon anggaran.
Keadaan tersebut pada akhirnya menyebabkan kemungkinan underfinancing atau overfinancing yang berdampak pada tingkat efisiensi dan efektifitas unit-unit kerja Pemerintah Daerah.
Berdasarkan beberapa regulasi yang terkait yaitu Undang-Undang No.32 Th.2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti dari Undang-Undang No.22 Th.1999 menyatakan perlunya Analisis Standar Belanja (ASB) dalam pengelolaan keuangan daerah.