Berita Kaltim Terkini
Dua Terdakwa Kasus Dugaan Korupsi Perusda PT AKU Dituntut 15 Tahun Penjara dan Bayar UP Rp 14,8 M
Sidang kasus dugaan korupsi Perusahaan Daerah (Perusda) PT Agro Kaltim Utama (PT AKU) berlanjut hari ini dengan agenda tuntutan pada dua terdakwa yakn
Penulis: Mohammad Fairoussaniy |
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA- Sidang kasus dugaan korupsi Perusahaan Daerah (Perusda) PT Agro Kaltim Utama (AKU) berlanjut hari ini dengan agenda tuntutan pada dua terdakwa yakni Yanuar, mantan Direktur Utama (Dirut) PT AKU, serta Nuriyanto, mantan Direktur Umum (Dirum) PT AKU.
Sidang secara virtual ini (daring) ini digelar di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi ( PN Tipikor Samarinda ), Jalan M. Yamin, Kelurahan Gunung Kelua, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur Selasa (23/3/2021) sore.
Hongkun Ottoh selaku Ketua Majelis Hakim didampingi Lucius Winarno dan Arwin Kusmanta sebagai hakim anggota, membuka sidang dengan agenda pembacaan tuntutan.
Hakim mengetuk palu tanda sidang dimulai, lalu menyampaikan penundaan sidang sebelumnya lantaran tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (Kejati Kaltim) belum siap.
Baca juga: Dua Tersangka Penambang Ilegal di Makam Covid-19 Samarinda Masuk Tahap Pemberkasan
Baca juga: Samarinda akan Terapkan Tilang Elektronik, Tunggu Koordinasi Titik CCTV ke Korlantas Polri
"Kemarin (minggu lalu) tuntutan dari JPU belum siap," kata Ketua Majelis Hakim, Hongkun Ottoh pada persidangan, Selasa (24/3/2021) kemarin.
Ketua Majelis Hakim pun mempersilakan JPU membacakan tuntutannya.
"Apakah tuntutan sudah siap?" tanya Ketua Majelis Hakim.
"Siap yang mulia," timpal JPU.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Kaltim, Zaenurofiq dan Agus Sumanto menuntut agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini, memutuskan serta menyatakan terdakwa Yanuar dan Nuriyanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Seperti diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) Junto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan primer, yang didakwakan pada kedua terdakwa.
Kemudian tuntutan dibacakan oleh JPU secara bergantian, dimulai tuntutan untuk terdakwa Yanuar.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Yanuar dengan pidana penjara selama 15 tahun dikurangi selama terdakwa menjalani masa tahanan sementara, dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan di Rutan Samarinda," jelas JPU Agus Susanto.
"Dan denda sebesar Rp 500 juta, apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” sambungnya.
Tuntutan JPU tidak hanya sampai di situ, terdakwa Yanuar juga dituntut untuk membayar uang pengganti (UP) sebesar Rp 14,8 miliar atau Rp 14.873.322.564.
"Jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lambat satu bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang tersebut," ujar JPU.
Jika terdakwa tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 7 tahun dan 6 bulan.
Artinya terdakwa Yanuar dituntut dengan 15 tahun penjara dikurangi masa tahanan, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan dengan uang pengganti sebesar Rp 14,8 miliar atau Rp 14.873.322.564 subsider 7 tahun 6 bulan.
"Apabila terdakwa membayar uang pengganti yang jumlahnya kurang dari seluruh kewajiban membayar, maka jumlah uang yang dibayarkan tersebut diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang tersebut," jelas JPU.
Kemudian JPU beralih kepada terdakwa Nuriyanto dan langsung membacakan tuntutannya.
Tak jauh berbeda dengan rekannya yang pernah sama-sama duduk di direksi PT AKU, terdakwa Nuriyanto mendapat tuntutan yang sama.
Terdakwa Nuriyanto dituntut dengan 15 tahun penjara dikurangi masa tahanan, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan dengan uang pengganti Rp 14.873.322.564 subsider 7 tahun 6 bulan.
Usai JPU menyerahkan soft copy tuntutan kepada Majelis Hakim dan Penasihat Hukum kedua terdakwa, Ketua Majelis Hakim menegaskan kembali tuntutan yang tadi dibacakan oleh JPU pada terdakwa Yanuar dan Nuriyanto.
"Saudara Yanuar mendengar tuntutan ini?" tanya Ketua Majelis Hakim.
"Iya yang mulia," ucap Yanuar.
Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada terdakwa Nuriyanto, sebelum persidangan ditutup oleh Ketua Majelis Hakim Hongkun Ottoh.
Ketua Majelis Hakim juga menyampaikan, atas tuntutan yang telah dibacakan JPU, terdakwa mempunyai hak untuk melakukan pembelaan (pledoi) tertulis maupun lisan.
"Jika ada bukti-bukti silakan dilampirkan pada nota pembelaan, silakan dibuat sendiri atau diserahkan kepada masing-masing penasihat hukumnya," ujar Ketua Majelis Hakim Hongkun Ottoh.
"Tuntutannya sudah diserahkan kepada kami dan penasihat hukum kedua terdakwa, nanti silakan dibaca secara detail," imbuhnya.
Ketua Majelis Hakim Hongkun Ottoh pun memberikan tenggat waktu sepekan untuk menanggapi tuntutan dari JPU ini.
Sidang kemudian ditutup dan akan digelar kembali pada Selasa (30/3/2021) pekan depan dengan agenda pembacaan pledoi dari kedua terdakwa.
Diberitakan sebelumnya, kedua terdakwa yang mengaku sejak 2003 menjabat sebagai Direktur Utama (Dirut) PT AKU, dan Direktur Umum (Dirum) PT AKU, kala itu menjelaskan bahwa Perusda PT AKU yang bergerak di bidang usaha pertanian, perdagangan, perindustrian dan pengangkutan darat, mendapatkan penyertaan modal dari Pemprov Kaltim sebesar Rp 27 miliar pada medio 2003 hingga 2010.
Anggaran itu disetorkan dalam tiga tahap.
Pada tahap awal, pemerintah menyetor Rp 5 miliar.
Empat tahun kemudian, di 2007 kembali diserahkan Rp 7 miliar.
Terakhir pada 2010, pemerintah kembali menyuntik PT AKU sebesar Rp 15 miliar.
Yanuar yang kala itu sebagai pucuk pimpinan Perusda PT AKU, bersama dengan rekannya Nuriyanto, selaku Direktur Umum PT AKU, menyalahgunakan penyertaan modal yang dikucurkan Pemprov Kaltim.
Keduanya melakukan praktik korupsi dengan modus investasi bodong.
Kedua terdakwa membuat PT AKU seolah-olah melakukan kerja sama dengan sembilan perusahaan lain.
Namun kesembilan perusahaan tersebut adalah fiktif, yang tak lain adalah buatan mereka sendiri.
Investasi bodong yang dimaksud ialah, terdakwa dengan sengaja melakukan kerja sama perjanjian terhadap sembilan perusahaan buatannya tersebut, tanpa persetujuan Badan Pengawas dan tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Anggaran yang didapatkan dari Pemprov Kaltim, diinvestasikan ke sembilan perusahaan.
Kemudian mereka gunakan untuk kepentingan pribadi.
Sedangkan perusahaan buatan mereka dibuat seolah-olah bangkrut.
Dari sembilan perusahaan yang diajak kerja sama, dalam praktiknya, enam perusahaan palsu.
Perusahaan fiktif yang mereka buat salah satunya PT Dwi Palma Lestari.
Di perusahaan ini, total modal usaha yang mengalir sebanyak Rp 24 miliar.
Terungkap, Nuriyanto tercatat sebagai Direktur PT Dwi Palma Lestari, sedangkan Yanuar selaku komisaris.
Dalam jangka waktu empat tahun, keduanya selalu bergantian menjadi direktur dan komisaris.
Tujuannya agar perusahaan yang mereka dirikan tersebut dianggap memang ada dan masih aktif.
Akibatnya, modal usaha itu tidak jelas keberadaannya dan dilaporkan sebagai piutang dengan total modal sekitar Rp 31 miliar.
Cara mark up seperti itu dilakukan agar dana jumlah besar yang dikucurkan Pemprov Kaltim dapat dengan mudah mereka kuasai bersama-sama.
PT AKU yang diharapkan Pemprov Kaltim agar dapat memberikan sumbangsih pada pendapatan asli daerah, justru ikut berakhir bangkrut.
Akibat perbuatan terdakwa maupun rekannya itu, Pemprov Kaltim harus menderita kerugian sebesar Rp 29 miliar.
Kerugian itu sesuai perhitungan dari pihak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kerugian negara sebesar Rp 29 miliar, dengan perincian penyertaan modal Rp 27 miliar ditambah laba operasional PT AKU yang digunakan kembali dalam kerja sama dengan pihak ketiga, kurang lebih sebesar Rp 2 miliar.
Kedua terdakwa pun dijerat oleh JPU Kejati Kaltim dengan Pasal 2 ayat (1) Juncto pasal 18 Undang-Undang (UU) nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI nomor 31 tahun 1999, Juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Penulis: Mohammad Fairoussaniy | Editor: Rahmad Taufiq