Berita Bontang Terkini
Stasiun Isotank di Bontang Dituding Ilegal, Sewa Lahan di Kawasan Hutan Lindung
Aktivitas terminal mobil Isotank yang sudah beroperasi tiga tahun terakhir di Jalan Biak, Kelurahan Satimpo, Bontang Selatan, dipastikan ilegal
Penulis: Ismail Usman |
TRIBUNKALTIM.CO, BONTANG- Aktivitas terminal mobil Isotank yang sudah beroperasi tiga tahun terakhir di Jalan Biak, Kelurahan Satimpo, Bontang Selatan, dipastikan ilegal.
Hal itu ditegaskan Idrus, Kepala Seksi Perizinan dan Non Perizinan Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Bontang, Jumat (21/5/2021).
Bahkan aktivitas pengangkutan gas alam cair dari PT Badak NGL di sana tanpa izin dari pemerintah setempat dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Diketahui, perusahaan hanya berlindung di balik naungan koperasi pengelola lahan di sana.
"Tidak ada izin sama sekali, mereka ajukan izin karena bersentuhan dengan hutan lindung makanya kami tidak proses. Bisa dikatakan jasa transportasinya ilegal," ungkapnya.
Baca juga: Menolak Lupa 23 Tahun Reformasi, Aliansi Mahasiswa Pelajar Bontang Bakar Lilin dan Panggung Rakyat
Dikonfirmasi terpisah, SPV Operasional PT DPS Risco, Safaruddin menuturkan, penyedia jasa transportasi ini mengangkut gas alam dari PT Badak LNG untuk disuplai ke PLTMG di Sambera, Kutai Kartanegara.
Aktivitas jasa transportasi ini telah berjalan sejak 2018 silam.
Disinggung terkait perizinan lahan, Safaruddin menyebutkan jika PT DCS Risko bekerja sama dengan Koperasi Maju Jaya Mandiri (MJM) sebagai pemilik otoritas atas lahan yang digunakan.
Transaksinya hanya sebatas kontrak sewa lahan.
"Kita sewa lahannya saja pak ke koperasi," ujar Safaruddin saat dikonfirmasi.
Selama ini perusahaan mengaku sudah berupaya mengurus perizinan. Hanya saja gagal lantaran status tanah di Kawasan Hutan Lindung.
Selain itu, ia juga mengaku jika belum lama ini pihaknya didatangi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Santan, Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim.
"Iya kemarin kita urus ke Dinas PUPR (Bontang), cuman dialihkan ke Provinsi (Dinas Kehutanan)," ujarnya.
Sementara Kepala KPH Santan, Dinas Kehutanan Kalimantan Timur, Amid Abdullah menampik jika telah mendatangi perusahaan isotank yang beroperasi di sana.
Dia mengaku belum pernah memeriksa lokasi yang dimaksud.
Pihaknya harus mengecek titik koordinat untuk memastikan lahan yang diduduki perusahaan berada di kawasan hutan lindung.
Bahkan untuk perizinan, pihaknya juga belum menerbitkan izin kepada perusahaan penyedia jasa transportasi di Hutan Lindung Bontang.
Sebab aktivitas industri di dalam kawasan hutan lindung itu jelas melanggar.
Perusahaan harus mengantongi izin dari KLHK sebelum beroperasi.
"Kami belum mengecek jadi belum bisa menilai," ungkapnya
Diketahui sebelumnya, areal yang dipakai untuk parkir mobil isotank seluas 2 hektare.
Tanah ini disebut milik seorang pejabat daerah.
Ada dua perusahaan penyedia jasa transportasi beroperasi di sini.
Keduanya bergerak di bidang usaha yang sama.
Informasi yang dihimpun TribunKaltim.Co, belakangan ini pejabat yang dimaksud adalah Ketua Komisi III DPRD Bontang, Amir Tosina.
Media ini pun coba mengkonfirmasi yang bersangkutan.
Saat dimintai konfirmasin, Amir Tosina pun membenarkan jika lahan yang dipakai untuk stasiun isotank itu dikelola oleh Koperasi MJM miliknya.
Dikatakan Amir Tosina, mulanya tanah itu milik kelompok tani Sipatuo yang anggotanya nelayan dan petani di Bontang.
Namun pada proses perjalanannya, lahan itu diklaim menjadi kawasan lahan lindung.
Padahal jauh sebelumnya, keluarganya telah mengelola kebun untuk tanaman buah.
"Lebih duluan keluarga kami berkebun di sana dan sudah ada tanamannya," ungkapnya saat dikonfirmasi.
Tetapi pada 2018, tanaman buah itu dipotong untuk kepentingan industri.
"Iya saya ketuanya (Koperasi MJM), bahkan saya tebang pohon durianku itu," tutur Amir Tosina.
Amir Tosina beralasan jika pemanfaatan lahan stasiun isotank itu untuk kepentingan negara.
Mobil angkutan gas alam itu disebut melayani penyediaan bahan bakar untuk PLTMG di Sambera.
Perusahaan menyewa lahan ke koperasi MJM dengan kontrak 5 tahun.
Pimpinan koperasi, Amir Tosina mengaku setahun koperasi menerima Rp 40 juta atau Rp 200 juta untuk biaya sewa tanah selama 5 tahun.
Amir Tosina minta agar pemerintah segera mengubah status lahan atau enclave di sana, alasannya demi kepentingan bersama.
Penulis: Ismail Usman | Editor: Rahmad Taufiq