Berita Samarinda Terkini

Aliansi Perempuan Peduli Moral Bangsa Samarinda Tolak Permendikbudristek RI Nomor 30 Tahun 2021

Perempuan Peduli Moral Bangsa menyampaikan aspirasi terkait Permendikbudristek RI.

Penulis: Nevrianto | Editor: Samir Paturusi
TRIBUNKALTIM.CO/HO
Ketua Aliansi Perempuan Peduli Moral Bangsa Indonesia Jumarni, S.Kom. TRIBUNKALTIM.CO/HO/IG Pribadi 

Hal ini tentu tidak sesuai dengan nilai-nilai moral yang terkandung dalam UUD NRI 1945
dan Pancasila, terutama sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila kedua
“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.

2. Menolak landasan filosofi dari Permendikbudristek 30/2021 yang dibangun di atas
paradigma sexual-consent. Paradigma ini memandang bahwa kekerasan tersebut terjadi
bukan diukur dari segi agama namun berdasarkan persetujuan. Sebagaimana pada pasal 5
ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l, m, dengan adanya frasa “tanpa persetujuan korban”.

Hal ini secara tidak langsung justru mendukung pelaku dalam melakukan aksinya karena
dianggap tidak melanggar peraturan yang berlaku dengan adanya persetujuan korban.
Dampak dari paradigma ini lambat laun akan membuat nilai-nilai moral di kampus mulai
pudar karena dianggap tidak memiliki batasan ‘tetap’ dalam melakukan aksi seksual di
kampus.

Baca juga: Apindo Samarinda soal UMK 2022, Harus Seusai Aturan tak Jauh dari Kenaikan UMP Kaltim

3. Menolak frasa kesetaraan gender jika mengacu pada WHO bahwa "Gender identity refers
to a person’s deeply felt, internal and individual experience of gender, which may or may
not correspond to the person’s physiology or designated sex at birth".

Identitas gender merujuk kepada perasaan terdalam seseorang, internal dan pengalaman gender secara
individual, yang boleh atau tidak boleh dikaitkan dengan keadaan psikologi atau jenis kelamin tertentu ketika lahir). Frasa ini jelas tidak sesuai dengan fitrahnya manusia yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wata’ala.

4. Mengingatkan tujuan pendidikan sebagaimana diamanahkan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Permendikbudristek perlu memberikan ruang kepada dosen/aktivis khususnya dalam pendidikan moral dan agama untuk membantu mengatasi kekerasan seksual di kampus. Terlebih lagi dalam mempelajari ilmu agama lebih dalam, sejatinya manusia akan menemukan tujuan hidupnya

5. Menolak penyampingan peran agama, keluarga, dan pendidikan dengan adanya satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam Permendikbudristek sebagaimana tertuang dalam pasal 24 ayat (4) yang berbunyi: “Anggota panitia seleksi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat : (a) pernah mendampingi korban kekerasan seksual (b) pernah mendengar kajian tentang kekerasan seksual, gender, dan/atau disabilitas (c ) pernah mengikuti organisasi dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu kekerasan seksual, gender, dan/atau disabilitas (d) tidak pernah
terbukti melakukan kekerasan termasuk kekerasan seksual .

6. Menolak Permendikbudristek yang berpotensi melegalkan kejahatan seksual dengan adanya Comprehensif Sexuality Education (CSE). Sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat (2) yang berbunyi : ”mewajibkan mahasiswa, pendidik dan tenaga kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan yang ditetapkan oleh Kementrian .”

CSE mengajarkan aktivitas seksual dilakukan secara aman dan melalui penggunaan kondom serta seks sehat sebagai suatu pendidikan seksualitas yang komprehensif. Hal ini koheren dengan model pencegahan dan penanganan kekerasan seksual paradigma barat.

7. Mendukung penuh peraturan yang dibuat untuk menghilangkan dampak buruk dari aktivitas seksual, akan tetapi tetap menggunakan landasan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sehingga kalimat “kekerasan seksual bisa diganti menjadi kejahatan seksual” yang lebih kompatibel dengan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang juga mencakup berbagai bentuk perzinaan yang telah dilarang oleh agama.

8. Mendukung Kemendikbudristek mengatasi kejahatan seksual dan tetap mengedepankan moral bangsa Indonesia. Maka dari itu, kami berharap agar Permendikbudristek dapat dibuat dengan mempertimbangkan banyaknya kebaikan dibandingkan keburukannya.

Dengan demikian, Aliansi Perempuan Peduli Moral Bangsa Indonesia meminta kepada Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk mencabut Permendikbudristek 30/2021 atau diganti dengan peraturan yang tetap sejalan dengan moralitas yang ada. Kemudian melibatkan ulama, organisasi keagamaan, pendidik di kampus dalam membuat aturan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 agar terjalankannya regulasi yang bersifat efektif. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved