Berita Nasional Terkini
Kisah Dokter Jebolan UGM, Bertahan Hidup Puluhan Tahun di Tengah-tengah Keluarga KKB Papua
Inilah kisah seorang dokter yang bertahan hidup di tengah teror dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua
Mungkin karena itu, sehingga dimana pun ia berada, masyarakat kecil pasti mencarinya untuk mendapatkan pelayanan.
Lantaran dekat dengan orang kecil dan sulitnya penduduk memperoleh obat-obatan, ia pun membuka Apotek Rahmat di Jalan Ayapo Nomor 11 Abepura, Kota Jayapura.
Apotek itu dibuka untuk menunjang pelayanan kesehatan yang diberikannya kepada warga Kota Jayapura.
Baca juga: Buru KKB Papua, Wapres Maruf Amin Kirim Pesan Khusus ke Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa
"Apotek saya ini sudah 40 tahun. Waktu membuka praktek saat itu, rata-rata yang datang masyarakat kelas bawah, seperti pekerja bangunan, dan lain sebagainya," jelasnya.
Kata dia, di tahun itu, harga pemeriksaan diberikan bagi masyarakat cukup murah.
"Sejak 1982 hingga 1985 biayanya Rp 500. Kemudian, saya lupa di tahun berapa itu naik menjadi Rp 2.000. Saya lupa karena sudah lama sekali. Sampai baru-baru ini sudah Rp 5.000,” katanya.
Biaya pengobatan naik lantaran masyarakat saat ini sudah cukup memiliki pendapatan yang baik, dan kebutuhan keluarganya juga semakin meningkat.
"Dulu anak baru satu, kebutuhan juga masih sedikit. Tapi lama-lama anak bertambah, yah kebutuhan hidup tambah naik, seperti ongkos sekolah dan lain sebagainya, makanya baru-baru ini naik Rp 5.000," ujarnya.
Namun, menurut Soedanto, walau harga pemeriksaannya bertambah beberapa ribu, pasien yang datang ke tempat prakteknya terus meningkat.
Baca juga: Bermula dari 3 Prajurit TNI Gugur Ditembak KKB Papua, Mahfud MD Janji Bakal Jewer Said Didu
"Setiap hari itu banyak pasien. Rata-rata 200 pasien saya periksa,” jelasnya.
Mulai pukul 9.00 WIT, sudah banyak pasien antre.
“Jadi saya harus periksa satu per satu sampai kadang saya pulang pukul 15.00 – 16.00 WIT. Tapi itupun masih ada yang datang,” terangnya.
Dengan kondisi tubuh yang kini semakin menua, Soadanto mengaku terkadang dirinya merasa lelah,
"Tapi mau bagaimana, untuk masyarakat, saya harus tetap melaksanakan kewajiban saya sebagai Dokter," pungkasnya.
Hingga saat ini, genap sudah 40 tahun Soedanto memberikan pelayanan kesehatan di Negeri Matahari Terbit, Port Numbay.
Baca juga: Teror KKB Papua Kian Mengkhawatrikan, Kelompok Teroris Putus Suplai Air & Bakar Rumah Adat
Kalimat bijak ini sering kita dengar tatkala mendengar kisah tentang orang-orang sukses.
“Setiap pria sukses, pasti ada wanita hebat di sampingnya”
Itulah sepenggal kalimat untuk melukiskan kisah 47 tahun Fransiskus Xaverius Soedanto, Dokter Seribu Rupiah melayani di Bumi Cenderawasih.
Bagaimana tidak, Soedanto memiliki Elisabeth Tangkere sebagai pendamping setianya.
Keduanya bertemu di Asmat pada 1976, berselang setahun kala Soedanto menapakkan kaki pertama kalinya pada 1975.
Elisabeth dengan setia menemani Soedanto masuk keluar hutan Asmat dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Soedanto yang tergolong orang baru dan masih buta peta Asmat, merasa aman saat didampingi Elisabeth.
Dari awal perkenalan pada 1976, lalu bekerja sama dalam pelayanan kesehatan, maka tak heran benih-benih cinta tumbuh di antara kedua insan ini.
Tak menunggu lama bagi Soedanto meminang Elisabeth.
Keduanya menikah pada 1979 di Asmat.
Menariknya, setelah menikah, kasih setia Elisabeth mendampingi Soedanto justru makin kuat.
Bahkan, tak pernah sekalipun mengeluhkan pekerjaan kemanusiaan yang dilakukan belahan jiwanya itu.
"Kami menikah pada 1979 di Asmat. Setelah menikah, setiap hari saya dampingi bapa untuk melayani masyarakat sampai ke kampung-kampung," ungkap Elisabeth Tangkere kepada Tribun-Papua.com, Selasa 1 Februari 2022.
Dari satu kampung ke kampung lainnya, Soedanto bersama Elisabeth melayani masyarakat.
Hingga di suatu kampung, mereka bahkan pernah dimarahi warga di Asmat.
"Kami pernah pergi ke satu kampung. Saya sudah lupa nama kampungnya. Waktu itu, pakai perahu kami masuk lewat kali, tapi ada tombak ditancap di situ,” kisahnya.
“Perahu kami tinggalkan begitu saja, dan rumah kepala suku juga kami tidak tahu. Makanya kami sempat dimarah warga di situ. Tapi untungnya kami ada bawa tembakau lempeng. Ya akhirnya kita bagi, dan semuanya aman,” sambungnya.
Setelah melayani di Agats, ibu kota Asmat, sejak 1975, Soedanto bersama belahan hatinya pindah ke Kampung Bayun pada 1981.
Kampung Bayun terletak di Distrik Safan, Asmat, Papua.
Jaraknya cukup jauh dari Agats, dengan estimasi waktu tempuh sekiranya 5 jam menggunakan perahu motor.
“Kami di sana kurang lebih hampir 2 tahun, melayani di rumah sakit Katolik Santa Obilia, Kampung Bayun. Saya memang senang ikut bapa,” terangnya.
Kegemaran, semangat, maupun jiwa melayani Elisabeth nampaknya diwariskan ayahnya yang merupakan seorang Polisi, pelayan dan pengayom masyarakat.
"Saya lahir di Merauke. Bapa saya dulu adalah Polisi di zaman Belanda. Lalu dari Merauke, keluarga pindah ke Asmat, dan saya besar di sana,” jelasnya. (*)
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join Grup Telegram Tribun Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/tribunkaltimcoupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.