Berita Internasional Terkini
Rusia Marah pada Singapura, Dubes Rusia: Invasi ke Ukraina Tak Ada Hubungannya dengan Asia Tenggara
Rusia geram pada Singapura karena menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia karena invasi ke Ukraina.
TRIBUNKALTIM.CO - Rusia geram pada Singapura atas tindakan yang dilakukannya.
Rusia geram pada Singapura karena menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia karena invasi ke Ukraina.
Imbas invasi Rusia ke Ukraina, negara yang dipimpin Vladimir Putin itu mendapat sanksi.
Baca juga: Ancaman Serius Amerika Serikat ke China, Beijing Dilarang Coba-Coba Bantu Rusia
Baca juga: Setelah Media Sosial Facebook, Giliran Instagram yang Bakal Diblokir Rusia Buntut Invasi ke Ukraina
Kemarahan Rusia ini disampaikan oleh Duta Besar Rusia untuk Singapura, Nikolay Kudashev.
“Sanksi ini adalah sebuah kesalahan, jelas-jelas bertentangan dengan semangat hubungan bilateral antara Singapura dan Rusia dan juga hubungan kerja sama regional.” kritik Nikolay Kudashev, Dubes Rusia untuk Singapura dilansir dari Kompas.com (13/3/2022).
Kudashev menyesalkan sanksi yang diberikan Singapura karena seharusnya hubungan Rusia dan Singapura berfokus pada isu-isu yang berhubungan dengan kawasan Asia Tenggara.
Dilansir dari Kompas.TV, Menurut Dubes Rusia untuk Singapura invasi Rusia ke Ukraina jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan Asia Tenggara.
Ancaman Serius Amerika Serikat ke China, Beijing Dilarang Coba-Coba Bantu Rusia
Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat Jake Sullivan memperingatkan bahwa China akan benar-benar menghadapi konsekuensi jika membantu Rusia menghindari sanksi besar-besaran atas perang di Ukraina.
Dilansir Reuters, Minggu (13/3/2022), Sullivan akan bertemu dengan diplomat top China Yang Jiechi di Roma, Italia, pada Senin (14/3/2022).
Dalam pertemuannya dengan Yang, Sullivan berencana memperjelas kekhawatiran Washington.
Dikutip dari Kompas.com, Sullivan juga akan menyampaikan konsekuensi dan meningkatnya isolasi yang akan dihadapi China secara global jika meningkatkan dukungannya terhadap Rusia, kata seorang pejabat AS kepada Reuters.
Baca juga: Makin Gawat! Pastikan Putin Sudah Kalah, NATO Dipastikan Turun Tangan Bila Rusia Pakai Senjata Kimia
Diberitakan sebelumnya, Rusia diwartakan oleh Financial Times dan The Washington Post meminta peralatan militer China setelah invasi ke Ukraina pada 24 Februari.
Hal tersebut memicu kekhawatiran di Gedung Putih bahwa Beijing dapat merusak upaya Barat untuk membantu pasukan Ukraina mempertahankan negara mereka.
Saat ditanya soal kabar tersebut, Juru Bicara Kedutaan Besar China di Washington Liu Pengyu mengaku belum mendengarnya.
Dia mengatakan, China melihat bahwa situasi saat ini di Ukraina membingungkan.
"Kami mendukung dan mendorong semua upaya yang kondusif untuk penyelesaian krisis secara damai," ujar Liu.
Liu menambahkan, upaya maksimal harus dilakukan untuk mendukung Rusia dan Ukraina dalam melanjutkan negosiasi meskipun situasi sulit untuk menghasilkan hasil yang damai.

Sementara itu, Sullivan mengatakan kepada CNN pada Minggu, Washington percaya bahwa China menyadari jika Rusia merencanakan beberapa aksi di Ukraina sebelum invasi terjadi.
Kendati demikian, Beijing mungkin tidak memahami sepenuhnya apa yang direncanakan Moskwa.
Sullivan mengatakan kepada CNN bahwa Washington mengawasi dengan cermat untuk melihat sejauh mana Beijing memberikan dukungan ekonomi atau material kepada Rusia.
Dia lantas menuturkan bahwa Washington akan memberikan konsekuensi jika itu terjadi.
"Kami berkomunikasi secara langsung, secara pribadi ke Beijing, bahwa pasti akan ada konsekuensi untuk upaya penghindaran sanksi skala besar atau dukungan kepada Rusia untuk mengisinya kembali," kata Sullivan.
"Kami tidak akan membiarkan itu berlanjut dan membiarkan ada jalur kehidupan ke Rusia dari sanksi ekonomi ini dari negara mana pun, di mana pun di dunia," imbuh Sullivan.
Pada Sabtu (13/3/2022), AS mengatakan akan mengirimkan senjata tambahan senilai 200 juta dollar AS untuk pasukan Ukraina untuk membantu mempertahankan diri dari serangan Rusia.
Baca juga: Serang Ukraina, Benarkah Vladimir Putin Mau Menghidupkan Kembali Rusia di Zaman Uni Soviet?
Mereka juga telah mengimbau China, negara-negara Teluk, dan negara-negara lain yang enggan mengutuk invasi Rusia dan ikut mengucilkan Moskwa dari ekonomi global.
Beijing, mitra dagang utama Rusia, telah menolak menyebut tindakan Rusia sebagai invasi.
Perdagangan menyumbang sekitar 46 persen dari ekonomi Rusia pada 2020 di mana sebagian besar adalah dengan China, tujuan ekspor terbesarnya.
Namun, Presiden China Xi Jinping pekan lalu memang menyerukan "pengekangan maksimum" di Ukraina setelah pertemuan virtual dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz dan Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Xi juga menyatakan keprihatinan tentang dampak sanksi terhadap keuangan global, pasokan energi, transportasi dan rantai pasokan, di tengah tanda-tanda yang berkembang bahwa sanksi Barat membatasi kemampuan China untuk membeli minyak Rusia. (*)
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join Grup Telegram Tribun Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/tribunkaltimcoupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.