Opini
Kartini Masa Kini dan Godaan Matrealistis serta Hedonis
Emansipasi yang dilakukan oleh R.A Kartini ialah wanita mendapatkan hak atas Pendidikan yang seluas-luasnya dan setinggi-tingginya.
Oleh: Rahel Arung Pabangke, Sekretaris Cabang GMKI Balikpapan
TAK dipungkiri masih ada anggapan bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki.
Perempuan cukup dengan mengerjakan tugas-tugas dapur saja, perempuan tidak perlu untuk sekolah yang tinggi-tinggi serta berbagai anggapan lainnya yang mendiskreditkan perempuan.
Pandangan-pandangan seperti ini telah berkembang dan hidup dalam masyarakat sejak lama.
Tak terkecuali di Indonesia bahkan kemudian itu masih tetap dipertahankan oleh banyak orang sampai hari ini.
Kartini merupakan seorang perempuan yang sangat gigih untuk melawan penindasan terhadap kaumnya.
Meskipun tidak mengenyam pendidikan yang tinggi, namun dia memiliki usaha dan kerja keras untuk belajar sendiri agar bisa memiliki pengetahuan yang tinggi.
Dengan pengetahuan itu, dia gunakan untuk mencerdaskan sesamanya guna terbebas dari kebodohan dan tidak mengikut saja terhadap situasi yang tidak menguntungkan perempuan.
Atas dedikasinya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan maka Kartini diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
Hari lahirnya yang jatuh pada 21 April 1879 diperingati sebagai hari Kartini setiap tahunnya.
Semangat Kartini untuk memperjuangkan kesetaraan dan kesamaan kelas sosial lahir dari pandangannya terhadap kemampuan dan kebebasan berpikir perempuan.
Baginya perempuan juga berhak untuk merasakan Pendidikan yang tinggi dan tidak hanya terkekang dalam rumah saja.
Dia sangat mendambakan suatu kehidupan yang bebas bagi perempuan.
Dan juga melihat perempuan di masa kini mengenyam Pendidikan, hal ini memperlihatkan perjuangan Kartini di masa itu, di mana terjadi diskriminasi antara pria dan wanita, beberapa perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengenyam Pendidikan.
Contohnya, masih banyak perempuan yang ragu untuk berpendidikan tinggi karena adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi menyaingi peran laki-laki serta menghilangkan marwahnya.
Sebenarnya, keduanya dapat berjalan beriringan tanpa menanggalkan salah satu peran.
Karena itu, Emansipasi yang dilakukan oleh R.A Kartini ialah wanita mendapatkan hak atas Pendidikan yang seluas-luasnya dan setinggi-tingginya.
Sehingga wanita diakui kecerdasannya dan diberikan kesempatan yang sama untuk mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya.
Menjadi Kartini masa kini, harus dilakukan kalangan perempuan, bagaimana berjuang, memberdayakan diri dan berkontribusi bagi keluarga maupun masyarakat di sekitar.
Latar belakang sejarah Indonesia menunjukkan bahwa perempuan ialah jenis kelamin yang berada pada strata kedua dalam masyarakat yang hanya berperan di "Dapur, Sumur dan Kasur".
Kemudian dengan tuntutan perempuan yang merasa dibatasi ruang geraknya, masih menuntut kesetaraan, menuntut keadilan gender dan sebagainya.
Ketika dibandingkan dengan kondisi saat ini lebih baik dari pada masa lalu. Di mana masa kini perempuan sudah memiliki kesempatan dalam bersaing di kalangan public maupun domestic, sudah banyak wanita karir masa kini.
Hal ini seharusnya dilakukan perempuan masa kini untuk bersaing dalam berbagai bidang.
Bukan sebaliknya, perempuan lebih memilih menghabiskan waktu untuk bersenang-senang hingga lupa belajar dan mengarah pada kehidupan yang matrealistis serta hedonis.
Karena itu era sekarang yang semakin maju dan tidak sedikit perempuan yang terlena oleh kemewahan dan kecanggihan.
Hal itu dapat mempengaruhi keterwakilan perempuan dalam membangun bangsa.
Apabila dibiarkan terus menerus maka perempuan akan menjadi generasi yang bimbang.
Kartini ialah kita perempuan masa kini.
Sosok R.A Kartini yang telah tiada, tidak menjadikan apa yang telah diperjuangkannya menjadi mati.
Namun, kita yang sebagai Kartini masa kini, tidak lagi memlihara stigma buruk masa lalu dan meningkatkan kapasitas dan kualitas diri.
Agar tidak ada lagi ucapan bahwa "Perempuan untuk tampil sebagai pemimpin diibaratkan sebagai fenomena atap kaca yaitu adanya hambatan yang seolah-olah tidak terlihat, tembus pandang, tetapi dalam kenyataannya merintangi akses perempuan dalam kaum minoritas lain dalam menuju kepemimpinan" (*)