Memilih Damai
Prof Arifin Ungkap Fakta Bukan SARA, Haruskah Presiden ke-8 Orang Jawa?
Talkshow series jelang Pemilu 2024 digelar Tribun Network di sembilan kota di Indonesia, salah satunya Kota Medan, Sumatera Utara.
TRIBUNKALTIM.CO - Talkshow series jelang Pemilu 2024 digelar Tribun Network di sembilan kota di Indonesia, salah satunya Kota Medan, Sumatera Utara.
Talkshow bertajuk Memilih Damai, membahas Presiden ke-8, di mana yang menjadi pokok pembahasan terkait sosok pemimpin Indonesia, Jawa atau Non Jawa.
Empat narasumber hadir, di antaranya, Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Arifin Saleh Siregar, Dosen Universitas Indonesia Panji Anugrah Permana, Pengamat Sosial Politik dan Direktur Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (nBasis) Shohibul Anshor Siregar, serta Founder Lingkar Madani Ray Rangkuti.
Baca juga: Siapa Presiden ke-8 Pengganti Jokowi? Shohibul Anshor: 3 Capres Terkunci Singgung Jawa dan Non-jawa
Wakil Rektor I UMSU Prof Dr Muhammad Arifin, dalam sambutannya menyampaikan topik pembahasan seputar presiden Jawa vs Non Jawa sangat sering dibicarakan banyak pihak.
"Sudah 76 tahun kita merdeka, sudah tujuh presiden. Namun baru satu presiden kita yang bukan orang Jawa, itu pun masih ada keturunan Jawanya, bapak BJ Habibie. Namun, kita bukan bermaksud untuk membicarakan secara SARA ya, kita hanya bercerita soal faktanya," ujar Arifin di Aula Gedung Rektor UMSU, Rabu (30/11/2022).
Ia menuturkan, secara konstitusional, tidak pernah disebutkan untuk berfokus pada suatu suku atau suatu agama untuk bisa menjadi seorang presiden.
Baca juga: Hadiri Diskusi Jawa adalah Kunci Pemilu 2024, Akademisi UI Singgung soal Politik Etnis
"Hanya saja semasa kita berada di bawah konstitusi sebelum amandemen, seingat saya itu memang ada satu frase mengatakan, presiden adalah orang Indonesia Asli. Kategori asli ini yang menjadi pertanyaan juga. Asli yang bagaimana ceritanya? Kalau saya melihat, hal ini tidak terlepas dari politik pemerintah Hindia Belanda dulu, yang membagi golongan penduduk Indonesia ini menjadi tiga, golongan Eropa, golongan Timur Asing atau Tionghoa, dan Bumi Putra," paparnya.
"Nah, saya pikir penduduk aslinya ini diambil dari bumi putranya itu. Kita tidak ingin bangsa kita ini dipimpin oleh orang yang tidak memahami Indonesia," sambung Arifin.
Namun, kisah di atas otomatis tak berlaku setelah konstitusi sudah diamandemen.
Jelang Pemilu 2024, relevansi kuat yang dibahas adalah terkait politik identitas.
Baca juga: Panwascam Sudah Terbentuk, Bawaslu Kubar Fokus Pengawasan Verifikasi Faktual Parpol Pemilu 2024
"Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Francis Fukuyama, bahwa nasionalisme dan agama akan tetap dibutuhkan untuk menjadi basis identitas. Jadi nasionalisme, kalau kita kembali ke pasal 6 itulah nasionalisme, Indonesia asli tadi. Jadi ada benang merah antara pernyataannya dengan apa yang tertuang di dalam konstitusi kita dulu. Kenapa kita melupakan sejarah tersebut, aneh sebenarnya," pungkasnya. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribun-Medan.com dengan judul Presiden ke-8 Indonesia Haruskah Jawa? Profesor Arifin: Bukan SARA, Kita Cerita Faktanya