Renungan Hari Raya Nyepi

Brata Nyepi, Meningkatkan Toleransi, Penemuan Jati Diri dan Etos Kerja

Problema terbesar yang dihadapi sesungguhnya bukanlah dunia luar, tetapi kemampuan diri kita untuk mengendalikan panca indriya.

Editor: Fransina Luhukay
HO/Dok Pribadi
Made Subamia, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Kalimantan Timur 

Oleh: I Made Subamia, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Kalimantan Timur

PUNCAK upacara Hari Raya Nyepi adalah pada tanggal 1 Vaisaka dalam penghitungan tahun bulan (Vaisaka), yang ditandai dengan mewujudkan Vindu atau Sunya atau keheningan hati yang kemudian dikenal dengan Nyepi. Umat Hindu merayakan tahun baru Saka tidak dengan pesta pora, melainkan mewujudkankeheningan hati sebagai usaha menemukan Sang Diri (Atma) hanya akan berhasil bila kita melakukan Brata, yakni janji atau tekad yang bulat untuk menghentikan atau mengendalikan aktivitas Indriya (duniawi).

Brata atau janji yang merupakan pantangan untuk dilakukan meliputi empat hal, yaitu: Amati Gni atau Pati Gni, tidak memasak dan menyalakan lampu/penerangan; Amati Karya, tidak melakukan pekerjaan apa pun; Amati Lalungayan, tidak menikmati hiburan apa pun; dan Amati -Lelungayan, tidak bepergian kemana pun. Saat itu kehidupan seakan- akan terhenti tanpa aktivitas fisik, semuanya hening dan sepi, seluruh cipta, rasa dan karsa dipusatkan untuk manunggal dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Di Bali, Brata Nyepi yang disebut Catur Brata Nyepi ini dapat dilakukan secara intensif seakan-akan Pulau Dewata dalam keadaan mati total, karena suasananya benar-benar sunyi senyap selama 24 jam sejak matahari terbit sampai matahari terbit keesokan harinya.

Umat Hindu yang telah memahami makna dari brata Nyepi, di samping melakukan Catur Brata Nyepi, bagi umat yang telah mendalami ajaran Agama (sang weruh ring tattwagama) juga melakukan Tapa Brata berupa Upavasa, yakni tidak menikmati makanan dan minuman yang diikuti dengan melaksanakan Monabrata, yakni Brata berupa menghentikan Wicara (tutup mulut/tidak berbicara) selama pelaksanaan hari raya Nyepi. Upavasa akan mudah dilakukan bila diikuti dengan maonabrata yang ketat. Melalui fatihan disiplin yang ketat ini pula, umat Hindu berusaha mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.

Melalui pelaksanaan Tapa Brata Nyepi ini, umat Hindu sekaligus melaksanakan introspeksi dan re-evaluasi terhadap perbuatan yang mereka telah lakukan selama tahun yang lalu untuk diproyeksikan di tahun yang akan datang. Nyepi sebagai hari penemuan Sang Diri, hal ini akan dapat diwujudkan bila kita benar-benar memiliki dan mengamalkan ajaran Sraddha dengan mantap, dan Bhakti yang tulus kepada-Nya. Dalam suasana hening, ketika perut kosong, emosi, ambisi dan nafsu terkendali, pikiran diarahkan hanya untuk memuja dan merenungkan keagungann-Nya, seperti diamanatkan dalam kakawin Arjuna Wiwaha, bahwa pada tempayan yang bersih berisi air yang jernih, bayangan bulan akan nampak jelas, demikian pula Tuhan Yang Maha Esa, Paramatman, Atman sebagai penghuni jasmani akan menampakkan diri. Penggambaran oleh Mpu Kanwa ini dapat kita analogkan dengan sebuah cermin yang bersih, maka wajah sejati kita akan nampak jelas.

Problema terbesar yang dihadapi sesungguhnya bukanlah dunia luar, tetapi kemampuan diri kita untuk mengendalikan panca indriya guna mencapai keseimbangan jiwa. Panca indriya yang tidak terkendali menyeret kita ke lembah penderitaan atau Samsara. Melalui Brata Nyepi kita melatih disiplin diri, mengendalikan hawa nafsu, seperti dikemukakan dalam bhagavadgita, sebagai berikut : "Kebahagiaan tertinggi datang pada seorang yogi yang pikirannya tentram, damai, yang hawa nafsunya terkendalikan, mereka yang tiada noda akan bersatu dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa".

Hemat kami, hari raya Nyepi dapat diibaratkan sebagai hari untuk membersihkan cermin diri sendiri dari kotoran dan debu-debu, baik berupa emosi, ambisi dan nafsu. Ketiga hal ini disebut sebagai tiga pintu gerbang yang mengantarkan atma menuju pintu gerbang neraka (kehancuran). Pada hari raya Nyepi, bila kita benar-benar melakukan Brata dan Tapa atau Yoga dengan mantap, kita akan berhasil untuk menghadap dan menemukan-Nya.

Berbagai ilustrasi kita temukan dalam Itihasa dan Purana, bahwa seseorang yang berhasil menemukan Sang Diri (atma), yang tidak lain adalah Brahman yang tunggal akan memperoleh kebahagiaan yang sejati, seperti diamanatkan dalam Bhagawadgita IX.22 yang menyatakan: Siapa saja yang senantiasa bhakti dan menghubungkan diri kepada-Nya, terpenuhilah keinginannya dan terlindungilah miliknya.

Jadi dengan pelaksanaan brata Nyepi yang mantap, kita akan menemukan berbagai gejala kerohanian, diantaranya mendengarkan suaranya sepi, menikmati kebahagiaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Hal inilah yang senantiasa dicari, dilakoni dan diwujudkan oleh seorang Yogi yang sejati. Bila seseorang telah berhasil melaksanakan berbagai brata Nyepi dengan mantap, maka setiap tahun ia ingin terus melaksanakan dan melakoni brata-brata Nyepi ini.

Sebagai telah disebutkan tadi, bahwa makna Hari Raya Nyepi adalah sebagai hari toleransi dan introspeksi atau hari mawas diri untuk memperkokoh kebersamaan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk demi mewujudkan persatuan dan kesatuan, kesejahteraan dan keadilan dengan melaksanakan segala karsa dan karya yang telah dan yang akan kita lakukan hanya sebagai persembahan dan bhakti kepada-Nya.

Demikian-lah pelaksanaan hari raya Nyepi yang dilakoni secara mantap, akan pula meningkatkan Sraddha dan Bhakti kepada-Nya. Pada keheningan hati, dalam suasana sunyi, kita akan mendengarkan hati nurani kita yang sesungguhnya. Hari ini kita berlatih untuk mendengarkan suara hening (swaraning sepi). Sebagai hari toleransi khususnya toleransi umat beragama dan umat Hindu menyadari bahwa terdapat perbedaan Uraddha, keimanan atau keyakinan di antara sesama umat manusia, namun perbedaan itu bukanlah untuk dipertentangkan, melainkan dijadikan perekat mengekalkan persatuan dan kesatuan kita sebangsa dan setanah air. Toleransi akan tumbuh dan berkembang wajar bila pada setiap mahluk bersemi cinta kasih dan penghargaan kepada sesama ciptaan-Nya.

Tentang toleransi dan penghargaan kepada setiap orang, kitab suci Veda secara tegas menyatakan: "Wahai umat manusia! Bekerjalah keras untuk kejayaan tumpah darah dan bangsamu yang menggunakan berbagai bahasa daerah. Berilah penghargaan yang sepatutnya kepada mereka yang menganut kepercayaan (agama) yang berbeda. Hargai mereka seluruhnya seperti halnya sebuah keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Curahkan kasih sayangmu bagaikan induk sapi yang tidak pernah meninggalkan anaknya, ribuan sungai mengalirkan kekayaan yang memberikan kesejahteraan kepada kamu". Atharvaveda XII.1.45.

Mantra Veda yang merupakan Wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang telah kami kutipkan tadi merupakan amanat yang mesti dipegang oleh setiap umat manusia. Toleransi dan saling hormat-menghormati antara sesama umat manusia, yang berbeda bahasa atau kebudayaan daerahnya, berbeda agama yang dianutnya adalah suatu kenyataan yang mesti dipelihara dan dipertahankan.

Terhadap toleransi hidup beragama, Swami Vivekananda, seratus tahun yang lalu dalam parlemen Agama-agama sedunia di Chicago (11 s/d 13 September 1893) menegaskan, hanyalah dengan toleransi yang sejati, persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dapat diwujudnyatakan. Perlu pula dicatat dalam sejarah kerukunan umat beragama di Bali, bahwa ketika raja dalem Ketut Ngulesir kembali dari Majapahit, beliau membawa 40 orang Jawa yang beragama Islam yang kemudian menetap di kampung Islam di Gelgel, Klungkung, dalam beberapa aktivitas keagamaan, mereka juga menyerap pengaruh dari unsur-unsur agama Hindu. Sikap Dalem Ketut Ngulesir ini juga menunjukkan betapa kerukunan umat beragama telah tertanam dan bersemi di bumi Nusantara tercinta, sejak beberapa abad yang silam, baik antara penganut Hindu dan Buddha, atau penganut Hindu dan Islam dan yang lain.

Halaman
12
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved