Berita Balikpapan Terkini

Pertamina Hulu Mahakam Hemat dan Kurangi Emisi Karbon Lewat Pemanfaatan Tenaga Surya di Balikpapan

Dengan rata-rata produksi energi solar cell sebesar 414,6 kW per hari, PHM menghasilkan energi sekitar 34,4 kWh.

TRIBUNKALTIM/MOHAMMAD ZEIN RAHMATULLAH
PLTS - Rangkaian panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang terinstal di atap salah satu gedung perkantoran milik PT Pertamina Hulu Mahakam, Balikpapan. 

TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) telah mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sejak t2014 atau sudah berjalan selama 9 tahun.

Upaya ini tidak hanya mengurangi biaya operasional hingga mencapai Rp 4,17 miliar, tetapi juga berkontribusi besar terhadap pengurangan emisi karbon sebanyak 861,1 ton.

Assistant Manager General Services PT PHM, Ruslan Rachim, menuturkan bahwa pihaknya telah memasang PLTS atap di wilayah perkantoran Balikpapan sebagai upaya mendukung pengurangan emisi karbon dan transisi energi.

"Dimana untuk PLTS atap ini memiliki kapasitas 100 kilo Watt peak (kWp) dengan 430 panel surya dan 5 inverter yang terpasang secara paralel," ungkapnya.

Dengan rata-rata produksi energi solar cell sebesar 414,6 kW per hari, lanjut Ruslan, PHM menghasilkan energi sekitar 34,4 kWh, sementara konsumsi rata-rata hanya mencapai 21 kWh.

Ruslan juga mencatat bahwa efisiensi emisi karbon yang telah dicapai sejak instalasi pada 2014 mencapai 861,1 ton, dengan produksi listrik sebanyak 1.238 mWh atau setara dengan 254.164 euro.

Baca juga: Kisah Kesuksesan Konservasi Pesut Mahakam di Kukar Besutan PHM

Baca juga: PHM Kembali Temukan Cadangan Migas di Lepas Pantai Balikpapan

Untuk memastikan kinerja PLTS atap yang optimal, Ruslan mengungkapkan bahwa perawatan rutin dilakukan secara berkala.

"Termasuk instalasi aliran air untuk menjaga panel tetap bersih dan berproduksi dengan stabil," imbuh Ruslan.

Namun, Ruslan mengakui bahwa hingga saat ini, PHM belum memiliki rencana untuk menambahkan PLTS atap di wilayah perkantorannya.

Salah satu alasan utamanya adalah biaya pemasangan yang cukup mahal, dengan Break Even Point (BEP) yang diperkirakan mencapai 5-8 tahun.

Selain itu, kondisi atap bangunan di wilayah perkantoran PHM juga menjadi kendala.

Analis IESR (Institute for Essential Services Reform), Alvin Sisdwinugraha, mengapresiasi inisiatif PHM dalam penggunaan energi ramah lingkungan melalui PLTS atap sejak 2014.

Meskipun begitu, ia terus mendorong PHM untuk mengadopsi penggunaan PLTS secara lebih luas, baik di atap bangunan maupun secara ground-mounted di lahan untuk skala yang lebih besar.

"Ini tidak hanya akan mengurangi biaya operasional dari konsumsi listrik, tetapi juga menegaskan komitmen PHM terhadap pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT)," ulas Alvin.

Dengan upaya terus-menerus dalam mengadopsi teknologi ramah lingkungan, PHM telah memberikan contoh positif dalam mendukung perubahan menuju energi yang lebih berkelanjutan di industri mereka. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved