Berita Nasional Terkini
Hasil Sidang MK Hari Ini, Uji Formil Ditolak, Inilah Isi UU Cipta Kerja 2023 dan Dampak bagi Buruh
Inilah hasil sidang MK hari ini, uji formil Omnibus Law UU Cipta Kerja ditolak, inilah isi UU Cipta Kerja 2023 dan Dampak bagi buruh.
TRIBUNKALTIM.CO - Berdasarkan hasil sidang MK hari ini, uji formil Omnibus Law UU Cipta Kerja ditolak, inilah isi UU Cipta Kerja 2023 dan Dampak bagi buruh.
Ulasan seputar apa sebenarnya isi UU Cipta Kerja 2023 dan Dampak bagi buruh sedang menjadi sorotan.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan pemohon mengenai gugatan uji materi Undang-undang (UU) Cipta Kerja.
Sidang putusan itu berlangsung hari ini, Senin (2/10/2023) di Gedung MK, Jakarta.
Baca juga: Putusan Judicial Review UU Cipta Kerja Diumumkan Hari Ini, Ribuan Personel Gabungan Dikerahkan
"Amar putusan mengadili menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ungkap Hakim Ketua MK Anwar Usman, dikutip dari YouTube Mahkamah Konstitusi, Senin.
Keputusan tersebut diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi.
Namun, dalam memutuskan hal ini, diketahui terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari empat orang Hakim MK.
Mereka adalah Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Suhartono.
Sebelumnya, ribuan buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menggelar demo menuntut pencabutan UU Cipta Kerja dan kenaikan upah minimum buruh di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat.
"Tuntutannya ada dua, pertama cabut Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja nomor 6 Tahun 2023 oleh MK. Kedua, naikkan upah minimum 2024 sebesar 15 persen."
"Bilamana MK tidak mengabulkan tuntutan Partai Buruh dan organisasi serikat buruh, serikat petani dan serikat pekerja lainnya," kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal di sela aksi.

"Bisa dipastikan dalam istilah kami api tersiram bensin. Apinya itu Omnimbus Law UU Cipta Kerja, bensinnya kenaikan upah minimum yang kami minta naik 15 persen," sambungnya.
Said Iqbal sebelumnya pun meyakini 50 persen gugatan uji materi akan dikabulkan.
"Dari berbagai sumber informasi, keputusannya tidak terlalu menyedihkan bagi buruh. Keputusannya tidak terlalu menyedihkan. Tidak menyedihkan bagi buruh, saya menganggap jalan tengah, misalnya seperti dulu, diputus inkonstitusional bersyarat,” ujar Said dalam keterangannya.
Sebagai informasi, Partai Buruh merupakan salah satu dari beberapa kelompok yang melakukan uji materi UU Cipta Kerja.
Dalam gugatan ini, Partai Buruh berharap agar Hakim MK membatalkan atau mencabut UU Cipta Kerja.
Serta menyatakan sebagai inkonstitusional, dan tidak berlaku di wilayah hukum Republik Indonesia
Jika gugatan Partai Buruh tidak dikabulkan, tegas Said, maka akan terjadi aksi massa terus-menerus nantinya.
"Aksi tidak hanya dari Partai Buruh, namun juga dari elemen masyarakat lainnya, meluas dan bergelombang, bilamana tuntutan untuk mencabut UU Cipta Kerja tidak dikabulkan," tuturnya, seperti dilansir Tribunnews.com dengan judul BREAKING NEWS: MK Putuskan Menolak Uji Formil UU Cipta Kerja.
Baca juga: Aksi Jefri Nichol Demo Tolak UU Cipta Kerja Kena Sindir Nikita Mirzani, Nyai: Coba Dipelajari Dulu
Isi UU Cipta Kerja dan Dampaknya bagi Buruh
Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah disahkan lebih dari setahun.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang pada Senin (5/10/2020).
Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Pengesahan RUU Cipta Kerja ini bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, pada 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020.
Di sisi lain, pengesahan tersebut mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat.
Hal itu karena Omnibus Law UU Cipta Kerja, dinilai akan membawa dampak buruk bagi tenaga kerja atau buruh.
Istilah omnibus law pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu (20/10/2019).
Dalam pidatonya, Jokowi menyinggung sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut omnibus law.
Saat itu, Jokowi mengungkapkan rencananya mengajak DPR untuk membahas dua undang-undang yang akan menjadi omnibus law.
Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja, dan UU Pemberdayaan UMKM. Jokowi menyebutkan, masing-masing UU tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa, atau bahkan puluhan UU.
Diberitakan Kompas.com, Selasa (22/10/2019), Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri menjelaskan, omnibus law merupakan sebuah UU yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara.
Undang-undang ini dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah, dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran.
Isi Omnibus Law Cipta Kerja
Konsep omnibus law yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi banyak berkaitan dengan bidang kerja pemerintah di sektor ekonomi.
Diberitakan Kompas.com, 21 Januari 2020, pada Januari 2020, ada dua omnibus law yang diajukan pemerintah, yaitu Cipta Kerja dan Perpajakan. Secara keseluruhan, ada 11 klaster yang menjadi pembahasan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yaitu:
- Penyederhanaan perizinan tanah
- Persyaratan investasi
- Ketenagakerjaan
Baca juga: UU Cipta Kerja Dinyatakan Inkonstitusional tapi Mengapa Tetap Berlaku? Penjelasan MK & Respon DPR RI
- Kemudahan dan perlindungan UMKM
- Kemudahan berusaha
- Dukungan riset dan inovasi
- Administrasi pemerintahan
- Pengenaan sanksi
- Pengendalian lahan
- Kemudahan proyek pemerintah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Sementara itu, seperti diberitakan Kompas.com, Selasa (6/10/2020) UU Cipta Kerja, yang baru saja disahkan, terdiri atas 15 bab dan 174 pasal.
Di dalamnya mengatur berbagai hal, mulai dari ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.
Isi lengkap RUU Cipta Kerja (kini sudah disahkan menjadi UU Cipta Kerja) bisa diunduh di laman-laman berikut:
RUU Cipta Kerja (Baleg DPR PDF)
RUU Cipta Kerja (Google Drive PDF)
Surat Presiden Jokowi untuk pengajuan RUU Cipta Kerja (PDF)
Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM (PDF I)
Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM (PDF II)
Dampak bagi buruh
Kompas.com mencatat beberapa pasal-pasal bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Kontrak tanpa batas (Pasal 59)
UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
2. Hari libur dipangkas (Pasal 79)
Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas.
Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.
Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.
Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3. Aturan soal pengupahan diganti (Pasal 88)
UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja. Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.
Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
4. Sanksi tidak bayar upah dihapus (Pasal 91)
Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja.
Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.
Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.
5. Hak memohon PHK dihapus (Pasal 169)
UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.
Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.
Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.
Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.
Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.
Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Itulah tadi hasil sidang MK hari ini di mana uji formil Omnibus Law UU Cipta Kerja ditolak, isi UU Cipta Kerja 2023 dan Dampak bagi buruh.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.